Skip to main content

Pagar Api dan Berita Titipan Media Massa

Jika dulu sering kita lihat dalam suatu scene sebuah film yang menampilkan gambar blur pada suatu merek dagang yang tanpa sengaja tertangkap kamera. Kini agaknya tak banyak lagi kita temui, malah secara terang-terangan pelbagai merek dagang terpampang jelas di hampir setiap scene film, bahkan merambah pada media massa seperti suratkabat. Iklan memang dibolehkan, tapi pagar api perlu diperhatikan.
Saat ini banyak sekali iklan yang pasang tampang di media massa, tak sekadar mempromosikan barang dagangan dengan memasang gambar beranimasi di bawah tayangan saja, namun juga ikut “berakting” dengan para aktor dan aktris. Sebuah gambar yang sering kita jumpai dalam industri perfilman atau sinetron bahkan infotaiment. Seorang pemuda membawa kotak yang berisi minuman botolan yang ketika sipemuda membuka kotak terpampang jelas merek dagang minuman tersebut, atau sebuah keluarga yang tengah duduk di beranda rumah dengan cemilan yang dimakan beramai-ramai dengan merek menghadap kamera.

Belum lagi sisipan lambang-lambang bahkan hingga terang-terangan menyebut nama merek tersebut dengan maksud promosi yang jelas sekali. Atau dalam tayangan infotaiment yang seolah-olah memberitakan seorang selebritis yang bugar dan sehat namun ujung-ujungnya si seleb menawarkan sebuah obat bak salesman yang berakting sebelum menawarkan barangnya.

Hal ini memang tak diatur ketat dalam Undang-undang periklanan terutama iklan pada industri film maupun sinetron yang sifatnya komersil. Hanya saja saya rasa sebagian penonton akan bersikap sarkastis terhadap hal semacam itu. Sebuah film yang jelas-jelas mempromosikan sponsornya dengan mengikutsertakan produk sponsor “berakting” agaknya kurang etis untuk ditampilkan.

Terlepas dari masalah sebuah film atau sinetron, hal yang demikian juga agaknya sudah menjamur di dunia pers terutama suratkabar—harian biasanya. Tak jarang kita jumpai sebuah iklan berukuran besar bersanding langsung dengan judul sebuah berita headline. Malah lebih berwarna dan massive. Begitu judul atau nama surat kabar dan tanggal terbit tepat dibawahnya bertengger sebuah iklan baris yang memenuhi lebih dari setengah kolom, baru kemudian tepat dibawahnya bertandang judul berita halaman depan yang gagah. Seolah bergantung pada iklan tersebut.

Dalam buku Agama Saya Adalah Jurnalisme, yang ditulis seorang jurnalis jebolan Nieman Fellowship on Journalism Universitas Harvard, Andreas Harsono. Desain suratkabar harus memiliki filsafat tersendiri, ia mengatakan tak semua halaman harus berisikan huruf melulu yang akan membuat pembaca bosan dan mata jenuh. Perlu ada iklan dalam beberapa halaman, namun harus dibarengi dengan adanya pagar api (firewall), yakni garis tipis yang memisahkan iklan dengan berita. “Iklan adalah Iklan, berita adalah berita” (2010:45)

Di beberapa negara, harian-harian terkenal seperti Financial Times, International Herald Tribune, The New York Times, The Bangkok Post, Asahi Shimbun hingga majalah seperti Asiaweek juga menggunakan garis tersebut. Namun agaknya harian-harian—termasuk harian besar—di negeri kita tak menghormati garis sakral ini.

Pagar api pada umumnya digunakan untuk memisahkan antara berita dan iklan, mengingatkan orang redaksi yang tak boleh ikut campur tangan dengan periklanan, Andreas Harsono yang merupakan anak didik dari Bill Kovach seorang wartawan veteran yang menulis buku 9 Element Jurnalisme salah satu wartawan terbaik dunia itu meletakkan hasil diskusinya dengan sang guru dalam bukunya. Bill Kovach bilang “Tak perlu dipertanyakan lagi,” maksudnya pagar api wajib diletakkan dalam setiap media terutama suratkabar.

Kini agaknya tanpa pagar api seorang wartawan bisa saja menerima “berita titipan” dari sipemilik kepentingan dengan kompensasi yang besar. Seperti berita kegiatan sosial, peresmian, pelantikan, pemberian sedekah oleh organisasi ini itu yang minta diberitakan, atau pencitraan sebuah instansi. Jadilah berita Advertorial.

Itu dalam suratkabar, bagaimana dengan berita televisi? Akhir-akhir ini, saat-saat liburan lebaran tahun lalu, banyak  Live Report yang memberitakan tentang arus mudik langsung dari jalan raya. Sekali-sekali coba anda perhatikan apa yang ada dan tertempel di jaket si pembaca berita. Sebuah standing banner besar berdiri tegak tepat di belakang si reporter. Dan atribut sponsor bertempelan di beberapa tempat “stratergis” jaket/rompi si reporter. Bagai tak ada batas mana berita dan iklan. Bukankah iklan dapat ditayangkan sesaat setelah Live Report selesai dibacakan?

Pagar Api Pers Mahasiswa

Dalam dunia pers mahasiswa atau lebih dikenal dengan persma, garis sakral pagar api juga agaknya perlu diperhatikan. Hegemoni rektorat yang sangat besar tentu sedikit banyaknya berpengaruh. Tekanan demi tekanan tentu akan merubah pola pikir si wartawan. Dalam hal ini, fungsi pagar api tak hanya berlaku pada iklan yang minta untuk dipublikasikan, namun terlebih pada berita titipan yang lebih mengarah pada pencitraan.

Pada dasarnya, cara kerja persma sudah memisahkan antara keredaksian dan perusahaan yang mengatur iklan. Jadi redaktur tak perlu ambil pusing soal iklan dan manajer iklan tak perlu ambil pusing soal kelayakan berita. Akan tetapi kekurangan sumber daya manusia boleh jadi sebuah akar permasahan. Redaktur ya wartawan, manajer iklan juga wartawan. Terkadang menimbulkan rasa segan bagi seorang manajer iklan yang hendak menulis berita soal salah satu dekan yang pernah pasang iklan padanya. Padahal meminjam apa yang dikatakan Bill Kovach wartawan tidak mencari lawan ataupun kawan dalam proses peliputan beritanya.

Sebagai pers yang digaungi oleh mahasiswa, dengan oplah produk baik tabloid, majalah atau suratkabar yang tak begitu massive, soal klien yang ingin memasang iklan boleh jadi minim. Dengan usaha yang harus ekstra untuk mencari iklan, berbeda dengan media Mainstream dimana sipemilik produk yang meminta agar iklannya ditayangkan. Kendala dana menjadi sangat riskan. Ujung-ujungnya soal dana terpaksa harus menerbangkan proposal ke rektorat.

Dengan keseharian seperti itu tentu sedikit banyaknya mempengaruhi pemberitaan, banyak wartawan media kampus yang boleh jadi secara “sadar” atau tidak menerima “berita titipan” dari para penguasa. Hingga terkesan persma sebagai media pencitraan universitasnya. Hal ini lebih sering terjadi pada universitas swasta dimana gerak si wartawan terbatas. Tak boleh mencubit ayahnya sendiri.

Untuk itu, sebuah garis tipis yang memisahkan berita dan iklan sangat perlu diterapkan agar wartawan dan manajer iklan lebih memahami tugas mereka dan tidak bercampur baur antara berita dan iklan, hingga tak ada lagi berita titipan atau pencitraan belaka. Kembali saya kutip, “Iklan ya iklan, berita ya berita,!”***

Penulis adalah Mahasiswa FKIP UMSU, Pimpinan Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa Teropong
Dimuat di Harian Analisa, Kamis, 9 Februari 2012

Popular posts from this blog

Apa yang Dihasilkan Politik Kampus?

Bicara soal politik, rasanya ta k sedikit orang yang ingin terjun. Entah apa sebabnya, namun hal ini sudah menjadi rahasia umum. Meskipun persentase kemenangan kecil, tetap saja banyak calon legislatif yang rela mengeluarkan sedikit uang untuk kampanye. Tak hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau kalah dalam hal berpolitik. Politik masuk ke Universitas-Universitas. Spanduk bertebaran di gedung-gedung, mengajak masyarakat kampus untuk memilih dan mencoblos tuannya. Mahasiswa yang menilai dirinya sebagai aktifis cenderung terjun kedalam politik kampus. Dan berbondong-bondong mendirikan serta menjalankan partai politik mereka sendiri. Alasan yang dikemukakan tentunya alasan yang sama seperti yang kita dengar dari politikus-politikus handal di televisi. "Memperjuangkan aspirasi rakyat (dalam hal ini mahasiswa) ". 

Tak Ada Lagi Topi Kerucut dan Kalung Petai

Oleh: Nur Akmal IKUTI MPLS: Peserta didik baru SMK Negeri 1 Medan mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Seluruh peserta didik baru tak lagi memakai atribut berbau perploncoan sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa (Foto : Nur Akmal) Hujan  sejak subuh masih menyisakan awan gelap dan udara yang dingin, namun tak menggoyahkan semangat siswa-siswa baru untuk hadir pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Pakaian mereka putih bersih, rapi dan tampak masih baru. Mereka berbaris rapi menantikan satu persatu aktivitas Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang tahun ini dikendalikan sepenuhnya oleh guru. "Selamat datang di SMK Negeri 1 Medan, dalam sesi ini kita akan membahas budaya dan tata terbit sekolah," demikian SJ Simamora, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat dan Industri menyapa para peserta didik baru di lapangan SMK Negeri 1 Medan yang diberi tenda agar siswa tak terkena hujan.