Skip to main content

Tak Ada Lagi Topi Kerucut dan Kalung Petai

Oleh: Nur Akmal
IKUTI MPLS: Peserta didik baru SMK Negeri 1 Medan mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Seluruh peserta didik baru tak lagi memakai atribut berbau perploncoan sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa (Foto : Nur Akmal)
Hujan sejak subuh masih menyisakan awan gelap dan udara yang dingin, namun tak menggoyahkan semangat siswa-siswa baru untuk hadir pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Pakaian mereka putih bersih, rapi dan tampak masih baru. Mereka berbaris rapi menantikan satu persatu aktivitas Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang tahun ini dikendalikan sepenuhnya oleh guru.
"Selamat datang di SMK Negeri 1 Medan, dalam sesi ini kita akan membahas budaya dan tata terbit sekolah," demikian SJ Simamora, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat dan Industri menyapa para peserta didik baru di lapangan SMK Negeri 1 Medan yang diberi tenda agar siswa tak terkena hujan.

Tak ada lagi topi kerucut, tak ada lagi kalung petai, tak ada lagi tas dari goni dan tak ada lagi sepatu yang talinya berbeda warna seperti yang biasa sering terlihat pada masa-masa hari pertama masuk sekolah. Siswa hanya tampak berseragam layaknya pelajar SMA/SMK dengan buku panduan MPLS di tangan mereka, yang berisikan tentang visi misi sekolah, tata tertib, budaya dan peraturan sekolah.
Tahun ini menjadi catatan baru dunia pendidikan setelah sekian lama terjebak dalam rutinitas MOS yang identik dengan perploncoan. Berdasarkan peraturan menteri pendidikan, tahun ini MOS diganti dengan MPLS dengan pantia pelaksana yang tak lagi melibatkan siswa senior.
"Dalam MPLS kali ini siswa diberikan materi tentang situasi sekolah baik tata tertib mata pelajaran, larangan, sekolah berkarakter dan jurusan. Namun bukan berarti siswa tidak dilibatkan di dalamnya, siswa boleh mendampingi guru. Kalau dulu 90 persen di tangan siswa kalau sekarang 90 persen dikendalikan guru. Siswa hanya mengikuti dan mengawasi adik-adiknya," ujar Asli br Sembiring, Kepala Sekolah SMK Negeri 1 Medan.
Ia merasa MPLS model begitu lebih baik dalam penanaman moral  terhadap siswa baru khususnya.  Tak ada lagi hal-hal sia-sia seperti atribut yang berbau perploncoan. Kedekatan guru dan siswa lebih terasa, pendekatan emosional antara guru dan siswa juga lebih tertanam. Semua kegiatan pada MPLS dirancang oleh tim khusus panitia MPLS yang terdiri dari wakil kepala sekolah dan guru.
Meskipun kegiatan dibebaskan kepada sekolah untuk merancangnya, namun Asli mengatakan tetap ada rambu-rambu yang harus diperhatikan. Hal ini tertuang dalam silabus yang disediakan Kemendikbud melalui websitenya yang dapat diunduh oleh sekolah-sekolah. Segala bentuk kegiatan dalam MPLS dilangsungkan dalam 3 hari ke depan, hingga Rabu, (20/7).
Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan SMK Negeri 1 Medan, Cipta Tarigan mengatakan, meskipun sepenuhnya dikendalikan guru, sekolah tidak boleh kaku dalam menyikapi kebijakan tersebut. Keterlibatan siswa senior tetap perlu diberikan, sebagai sarana pembelajaran.
"Tetap ada ruang bagi siswa senior untuk berpartisipasi dalam acara selingan seperti permainan dan perkenalan ekstrakurikuler dengan menampilkan beragam atraksi sehingga memberikan motivasi pada siswa sebagai penambah semangat untuk mengembangkan diri. Ini juga memicu adanya interaksi siswa baru dengan kakak kelas," ungkapnya.
Di jalan-jalan pun tak tampak siswa baru yang menggotong tas dari goni atau memakai topi kerucut di jam pulang sekolah. Semua seragam yang dikenakan tampak normal.
Seperti yang terlihat di Jalan Timor Medan, di kawasan tersebut banyak sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta. Namun hanya tampak siswa dengan seragam sekolah biasa, tanpa atribut khusus khas MOS. 
Mutsyuhito Solin, pengamat pendidikan Sumatera Utara mendukung kebijakan Menteri Pendidikan tersebut, menurutnya siswa belum matang dalam mengelola aktivitas seperti MOS sehingga cenderung terjadi eksploitasi keinginan kesenioran mereka terhadap para junior.
"Kalau tidak matang mengelola kegiatan tersebut sering terjadi tingkah laku berlebihan, merasa hebat dan merasa dominan. Itu yang sering terjadi jika MOS dikelola OSIS. Dalam lingkungan mahasiswa saja itu bisa terjadi, apalagi lingkungan sekolah. Sehingga ditafsirkan MOS sebagai ajang balas dendam atau hal lain yang kurang edukatif dan yang tidak menguntungkan bagi pembinaan di awal masuk sekolah," ujarnya.
Diterbitkan di Harian Analisa Edisi Selasa, 19 Juli 2016

Popular posts from this blog

Apa yang Dihasilkan Politik Kampus?

Bicara soal politik, rasanya ta k sedikit orang yang ingin terjun. Entah apa sebabnya, namun hal ini sudah menjadi rahasia umum. Meskipun persentase kemenangan kecil, tetap saja banyak calon legislatif yang rela mengeluarkan sedikit uang untuk kampanye. Tak hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau kalah dalam hal berpolitik. Politik masuk ke Universitas-Universitas. Spanduk bertebaran di gedung-gedung, mengajak masyarakat kampus untuk memilih dan mencoblos tuannya. Mahasiswa yang menilai dirinya sebagai aktifis cenderung terjun kedalam politik kampus. Dan berbondong-bondong mendirikan serta menjalankan partai politik mereka sendiri. Alasan yang dikemukakan tentunya alasan yang sama seperti yang kita dengar dari politikus-politikus handal di televisi. "Memperjuangkan aspirasi rakyat (dalam hal ini mahasiswa) ". 

Pagar Api dan Berita Titipan Media Massa

Jika dulu sering kita lihat dalam suatu scene sebuah film yang menampilkan gambar blur pada suatu merek dagang yang tanpa sengaja tertangkap kamera. Kini agaknya tak banyak lagi kita temui, malah secara terang-terangan pelbagai merek dagang terpampang jelas di hampir setiap scene film, bahkan merambah pada media massa seperti suratkabat. Iklan memang dibolehkan, tapi pagar api perlu diperhatikan.