Tak akan ada
habis-habisnya jika membicarakan sistem pendidikan, baik yang telah diterapkan,
yang sedang, maupun yang akan diterapkan. Sebab sistem pendidikan itu selamanya
akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, dan pola perilaku
siswa. Untuk itulah kemudian berbagai macam kebijakan pemerintah terkait upaya
peningkatan mutu pendidikan negeri ini terus bermunculan. Mulai dari perubahan
kurikulum, perubahan sistem ujian nasional, hingga yang terkini penetapan
kebijakan semua siswa harus naik kelas.
Kebijakan
yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan ini sebenarnya
dikhususkan pada siswa sekolah dasar. Hal ini dimaksudkan (oleh Kemendikbud)
agar siswa bisa berkembang sesuai potensinya masing-masing. Kebijakan ini, seperti
kebijakan-kebijakan sebelumnya, tentu menuai pro dan kontra pula. Berbagai
kalangan memunculkan pertanyaan tentang seberapa efektif kah kebijakan
tersebut.
Lantas
apakah siswa kelas I SD yang belum bisa membaca dan berhitung harus naik kelas
juga? Jelas pertanyaan itu akan muncul jika membahas masalah ini. Kebijakan ini
jika dilihat dari satu sisi mengesankan bahwa pemerintah melangkahi tugas guru
dalam mengevaluasi hasil belajar siswa. Tentu guru lebih tahu kondisi setiap
anak didiknya, apakah pantas naik kelas atau tidak. Setidaknya itulah
pernyataan yang muncul dalam diskusi penulis dengan beberapa teman guru. Pertanyaan
lain yang muncul adalah apakah kebijakan ini nantinya tidak menyuliskan siswa
sendiri, sebab kemampuan yang belum memadai namun dipaksakan naik kelas?
Tuntutan Bagi Guru
Sebenarnya
kebijakan seperti ini sudah diterapkan di negara-negara yang pendidikannya
masuk dalam jajaran terbaik di dunia, tidak ada siswa yang tinggal kelas. Di
sekolah-sekolah swasta di Indonesia, khususnya yang mengusung konsep pendidikan
berbasis Multiple Intelligences, adapula yang menyebutnya konsep
Sekolahnya Manusia, yang diperkenalkan oleh Munif Chatib.
Model
pendidikan seperti ini awalnya diperkenalkan oleh Bobbi De Porter dalam bukunya
Quantum Learning. De Porter mengharuskan bahwa dalam setiap aktivitas
belajar mengajar guru harus melakukannya dengan cara yang menyenangkan dan
kreatif. Guru pun harus betul-betul memahami dan mendalami karakter dan potensi
siswa.
Untuk
kebijakan tiada siswa yang tinggal kelas ini pun guru dituntut untuk
melakukannya, melalui kebijakan ini harus lebih intensif dalam memperhatikan
siswa. Memperhatikan pemahaman siswa. Jadi tidak ada lagi guru yang acuh tak
acuh terhadap hasil belajar siswa, entah siswa itu mengerti atau tidak, yang
penting ia menjalankan tugasnya sebagai pengajar.
Ini yang
biasa terjadi di sekolah-sekolah, guru asik mengajar, sementara siswa entah
memperhatikan atau tidak, kegiatan belajar mengajar terus berjalan hingga bel
pertanda pelajaran telah berakhir berbunyi dan kelas dibubarkan. Namun siswa
yang justru disalahkan atas rendahnya nilai akademik yang diperoleh berdasarkan
hasil evaluasi.
Munif
Chatib, konsultan pendidikan anyar di Indonesia, menuliskan dalam bukunya
berjudul Sekolahnya Manusia, tidak ada siswa yang bodoh, maka tidak ada
pula siswa yang harus tinggal kelas. Dalam menghadapi perbedaan kelemahan siswa
dalam pembelajaran ia menyarankan agar guru membentuk satuan “Guru Bayangan”
yang bertugas mengawasi beberapa anak memiliki kelemahan dalam bidang tertentu
dan menuntunnya agar memiliki kemampuan yang setara atau mendekati siswa lain
agar tidak tertinggal.
Idealnya siswa
yang memiliki ‘kekurangan’ punya guru bayangan yang membantu mereka memperbaiki
nilai akademik, atau seorang guru harus benar-benar memahami semua muridnya di
kelas. Sayangnya di sekolah-sekolah kita selama ini dalam satu kelas ada
sekitar 40 siswa. Jadi ada perbedaan komposisi guru dan siswa. Hal ini yang
harus dipertimbangkan. Jika penerapan kebijakan tersebut benar dilaksanakan
maka guru tidak bisa mengajar banyak siswa dalam 1 kelas, karena guru akan
tidak mengenali karakter siswa dengan baik, jangankan karakter, bahkan nama
saja mungkin tidak kenal.
Kembali pada
persoalan, kenapa siswa tidak boleh ada yang tinggal kelas. Sebab di masa
sekolah dasar, yang paling baik bekerja di otaknya adalah longterm memori. Pada
fase ini anak akan mengingat dengan jelas apa yang terjadi padanya. Termasuk
ketika ia harus tinggal kelas. Hal itu akan menjadi beban pikirannya dan
menimbulkan dampak psikologis yang berkepanjangan hingga dewasa.
Tugas Berat
Dengan
adanya kebijakan ini sepertinya menjadi guru itu semakin berat saja, disamping
mengajari bidang ilmu tertentu, guru juga harus mendidik dan membangun karakter
anak ke arah yang baik dan harus pula memastikan tidak ada anak yang mengalami
ketertinggalan pelajaran.
Tentu ini
menjadi beban dan tanggung jawab guru sebagai ujung tombak dunia pendidikan, di
tengah kondisi kesejahteraan yang masih timpang di antara profesi professional
lain, keikhlasan guru sebagai penyala pelita dalam kegelapan benar-benar
teruji. Belum lagi bila terjadi hal yang tidak diinginkan seperti tawuran
siswa, pembajakan bus, video seks siswa sekolah, seantero negeri seolah
menyalahkan guru karena dianggap tidak becus mendidik siswa-siswanya. Malang
nian nasib guru-guru.
Sejatinya tugas
dalam mendidik dan membimbing anak di sekolah sudah dilakukan oleh guru, namun
elemen pendidikan karakter tidak hanya guru semata, keluarga dan lingkungan
juga harus bertanggung jawab atas perkembangan anak. Saya kira semua dari kita
prihatin atas beberapa kenakalan remaja yang belakangan ini marak terjadi, tapi
bukan berarti kita turut pula mengkambing hitam kan guru. Masih mending belum
ada guru yang mogok mengajar, jika terjadi demikian, tentu akan semakin
memperburuk keadaan.
Sebagai
penutup, apabila kebijakan ini dianggap sebagai kebijakan yang mendesak untuk
disosialisasikan, maka seperti biasa, pelatihan guru ‘instant’ pasti menjadi
pilihan pemerintah dalam mengatasinya. Pelatihan model demikian tidak
memberikan hasil yang signfikan terhadap peningkatan kualitas guru. Seharusnya
pelatihan guru diadakan rutin oleh sekolah dan pemerintah harusnya membantu hal
ini. Beberapa sekolah swasta sudah melakukannya, tapi hanya sekolah swasta yang
dianggap sudah “mapan”. Kedepan semua sekolah harusnya melaksanakan pelatihan
seperti ini. Semoga saja pendidikan kita terus mengalami kemajuan. ***
Penulis adalah Alumnus FKIP UMSU, Pemerhati
Masalah Pendidikan
Dimuat di Harian Medan Bisnis