Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2015

Memperkenalkan Sekolah Ramah Anak

Mungkin bagi sebagian banyak orang, khususnya generasi tahun 2000-an ke bawah, yang paling diingat ketika sekolah adalah betapa sekolah itu terasa ‘menakutkan’, menakutkan dalam berbagai hal yang kerap kali membuat kita malas untuk beranjak dari tempat tidur pada pagi hari untuk bersiap ke sekolah. Selalu saja ada alasan agar tak pergi kesekolah. Tidak semua orang memang, dan tidak pada semua sekolah. Tapi itulah yang penulis ingat, yakni ketika harus buru-buru ke sekolah untuk piket, karena kalau tidak akan ditampar oleh seorang guru yang killer. Sekolah yang membuat anak tertekan secara fisik baik itu karena takut pada guru, tidak nyaman dalam pembelajaran, suasana sekolah yang tidak asri, yang membuat siswa tidak nyaman boleh jadi penyebab siswa malas untuk datang ke sekolah. Lebih dikenal dengan sekolah yang tidak ramah anak. Artinya sekolah tidak mampu memberikan rasa nyaman kepada siswa sebagai warga sekolah. Belum lagi kasus pelecehan dan kekerasan yang menimpa s

Transformasi Guru di Era Baru

Perkembangan teknologi dan informasi yang sangat pesat membawa perubahan di segala aspek kehidupan. Abad di mana informasi dapat diperoleh dengan sangat mudah dan cepat, perangkat-perangkat pintar yang setia menemani siapa saja dan di mana saja, abad di mana semua orang lebih sibuk dengan smartphone­ dari pada teman di sebelahnya, ini tentu banyak membawa pengaruh yang besar. Semua aspek harus berkembang dan bertransformasi menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dan informasi tersebut. Misalnya sebuah Bank harus menyediakan jasa E-banking, Media massa harus membuat portal, toko-toko online, pendaftaran kuliah via online, hingga isi pulsa pun saat bisa melalui Internet. Namun ada satu hal yang masih sulit untuk mengikuti perkembangan zaman, sulit untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dan informasi, sulit untuk berubah atau merubahnya. Yakni Pendidikan .             Berkembangnya teknologi dan informasi ternyata tidak berbanding lurus dengan perkemba

Siswa SD tak Boleh Tinggal Kelas

Tak akan ada habis-habisnya jika membicarakan sistem pendidikan, baik yang telah diterapkan, yang sedang, maupun yang akan diterapkan. Sebab sistem pendidikan itu selamanya akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, dan pola perilaku siswa. Untuk itulah kemudian berbagai macam kebijakan pemerintah terkait upaya peningkatan mutu pendidikan negeri ini terus bermunculan. Mulai dari perubahan kurikulum, perubahan sistem ujian nasional, hingga yang terkini penetapan kebijakan semua siswa harus naik kelas. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan ini sebenarnya dikhususkan pada siswa sekolah dasar. Hal ini dimaksudkan (oleh Kemendikbud) agar siswa bisa berkembang sesuai potensinya masing-masing. Kebijakan ini, seperti kebijakan-kebijakan sebelumnya, tentu menuai pro dan kontra pula. Berbagai kalangan memunculkan pertanyaan tentang seberapa efektif kah kebijakan tersebut. Lantas apakah siswa kelas I SD yang belum bisa membaca dan berhitung

Sedetik Hijau, Seribu Klakson

Membaca tulisan Bhakti Dharma MT di Harian Ini (Harian Analisa, 17 Februari 2014) yang berjudul “Sudahkan Kita Disiplin Berlalu Lintas?” mengingatkan saya betapa berlalu lintas di kota Medan i ni terasa tidak nyaman. Betapa tidak, kemacetan dimana-mana, jalan yang ditutup karena penggalian pipa, kedisiplinan pengendara yang tidak memperdulikan keselamatan orang lain, angkutan umum yang berhenti di tengah jalan, hingga banyaknya jalan berlubang membuat kenyamanan berkendara di kota Medan kian menghilang. Padahal kondisi lalu lintas berpengaruh besar pada emosi dan mood kita baik ketika berangkat bekerja, atau pulang kerja juga bagi anak sekolah. Ketidaknyamanan yang mempengaruhi emosi itu tentu akan berdampak pula pada kualitas kerja ketika sampai di kantor misalnya. Belum lagi berbicara tentang kecelakaan lalu lintas yang disebut Bhakti Dharma sebagai ‘Mesin Pembunuh’ yang menyumbang korban yang tidak sedikit. Tentu hal-hal semacam ini bisa kita kurangi sehingga akan terc

Wirausaha Pendorong Pertumbuhan Ekonomi

Badan pusat statistik pada Januari 2014 lalu menyebutkan, per September 2013 ada 28,55 juta warga miskin di negeri ini. Bertambah 480.000 orang dibandingkan Maret 2013. Angkat penggangguran mencapai 6,25 persen dari angkaran kerja.  Sementara Data dari Bank Indonesia menyebutkan jumlah wirausaha di Indonesia hanya 1,56 persen dari jumlah penduduk atau kurang dari 5 juta orang. Angka jumlah penduduk yang berwirausaha tersebut jika dibandingkan dengan angka pada negara maju atau bahkan negara tetangga saja ternyata masih minim. Padahal fakta menunjukkan bahwa negara dengan jumlah pengusaha yang besar berbanding lurus dengan kesejahteraan negara tersebut. Betapa tidak, semakin banyak warga yang berwirausaha maka akan semakin sedikit kebutuhan akan lapangan pekerjaan, dan bahkan semakin banyak pula yang menyediakan lapangan perkerjaan. Berbanding terbalik. Persentasi jumlah penduduk dan jumlah penduduk yang berwirausaha di Indonesia sendiri masih belum mumpuni untuk disebut id

Banjir Bukan Lelucon

Banjir yang melanda Ibukota Jakarta dan Manado kemarin menjadi berita yang dikonsumsi oleh seluruh dunia. Betapa mirisnya menyaksikan rangkaian video yang disiarkan oleh berita-berita dari stasiun TV swasta yang menampilkan ganasnya alam ketika sedang marah. Ibu kota negara kita seperti ditampilkan dalam video, lumpuh, direndam air. Belum lagi menyaksikan beberapa orang yang berjuang melawan banjir untuk proses evakuasi, serta yang ingin tetap bertahan di rumahnya karena takut barang-barang berharga dijarah oleh orang tak bertanggung jawab. Bencana banjir di Jakarta dan Manado setidaknya sudah memakan korban jiwa. Belum cukup sampai di situ, masalah tentu akan berdatangan lagi, mengingat ratusan warga Jakarta yang tengah mengungsi menghindari banjir tentu harus mengalami berbagai hambatan seperti kurangnya bahan makanan dan selimut. Aktifitas warga benar-benar lumpuh karena banyaknya jalan yang tidak bisa dilalui. Beberapa Moda Transportasi pun terpaksa harus berhenti tida

Tayangan TV : Antara Pendidikan dan “Hiburan”

Jenuh. Mungkin itulah yang dirasakan sebagian masyarakat, termasuk penulis sendiri, setiap menatap layar televisi khususnya akhir-akhir ini. Betapa tidak, hari-hari dan bahkan pada saat bersantai televisi yang senantiasa menemani kita, belakangan ini menyuguhkan tayangan yang ‘kosong’. Bahkan di jam-jam Prime Time , yaitu saat di mana masyarakat paling banyak menyalakan televisi—antara pukul 18.30 – 22.00—hampir seluruh stasiun televisi menyuguhkan tayangan yang tidak mendidik dan jauh dari unsur inspiratif. Kejenuhan semakin memuncak ketika beberapa tayangan yang inspiratif (menurut penulis paling tidak) terpaksa dipindah tayangkan karena ‘kalah saing’ dengan tayangan yang hanya memprioritaskan haha-hihi belaka. Tidak sedikit pula tayangan inspriratif dan mendidik ditutup karena rating yang terus menurun. Belakangan ini, publik khususnya warga media sosial twitter ramai berkicau tentang tayangan televisi yang kini dianggap sudah benar-benar bablas . Bablas dalam artian t

Vonis PISA untuk Siapa?

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) melalui Programme for International Students Assessment (PISA) baru baru ini merilis hasil pemeringkatan kemampuan siswa dari berbagai negara,  penilaian siswa internasional tersebut mengukur siswa dari kemampuan siswa yang berusia 15 tahun dalam matematika, sains, dan membaca serta dalam mengimplementasikan pengetauan yang dimiliki siswa untuk menyelesaikan masalah-masalah dunia nyata. Pada tahun ini, program ini diikuti oleh 65 negara, dan hasilnya sangat mengejutkan. Bahwa Indonesia berada pada peringkat ke 64, setingkat di atas Peru yang menjadi juru kunci penilaian siswa internasional tersebut. Betapa mengejutkan “vonis” PISA untuk siswa Indonesia ini, sebab dari 65 negara, kita berada pada posisi kedua paling akhir. Melansir berita Okezone.com, penilaian ini terbagi dalam 3 literasi, yakni literasi Matematika, literasi Sains, dan literasi membaca. Ketiganya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam

Dilema “Prestasi” PISA

Hasil Programme for International Students’ Assessment (PISA) 2012 yang dirilis Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) beberapa waktu lalu menunjukkan kita sebuah fakta bahwa peringkat penilaian siswa-siswa kita berada pada urutan ke-2 dari bawah (ke-64 dari 65 negara yang ikut serta). Hal ini seperti cambuk yang menyayat dunia pendidikan kita, mengingat bahwa kita tertinggal jauh dari negara-negara tetangga se ASEAN. Singapura sendiri menduduki peringkat ke-2 terbaik di bawah China. Namun ada satu hal yang juga patut diperhitungkan, boleh dibilang kabar gembira, sebab siswa-siswa Indonesia menduduki peringkat pertama dalam hal kebahagiaan. Anak-anak Indonesia merasa paling bahagia berada di sekolah mereka, diikuti Albania, Peru dan Thailand. Sedang yang paling tidak bahagia ditempati Korea selatan. Kedua penilaian ini pun menjadi perbincangan, di satu sisi kebahagian siswa di sekolah menunjukkan adanya perubahan pendidikan Indonesia dari tahun-tahun

Ketika Listrik harus Impor

Saya tercengang begitu membaca berita yang dimuat Harian Kompas edisi 11 November 2013 lalu, dengan judul “Indonesia Impor Listrik” yang dicetak dengan ukuran huruf judul yang besar, seketika mata saya tertuju pada berita tersebut. Entah itu tergolong berita baik atau buruk, tapi rasanya berita tersebut menyayat hati. Sungguh ironi Negara sebesar Indonesia, dengan sumber daya alamnya yang melimpah ini, yang diakui oleh seluruh dunia pula harus mengimpor pasokan listrik dari Negara tetangga, Malaysia. Di satu sisi, kita khususnya warga Sumatera Utara yang merasakan langsung krisis listrik seperti merasakan angin segar bahwa pasokan listrik akan segera aman tapi di sisi lain hal ini menunjukkan betapa Negara kita ini terlalu lemah sampai-sampai segala sesuatunya tidak bisa dihasilkan sendiri dan untuk dipakai sendiri. Menghadapi kurangnya daya listrik khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan belakangan ini, PT PLN Persero berupaya untuk menambah pasokan energi listrik me

Siapa Mau Jadi Guru?

Menarik sekali membaca tulisan Saudara Eka Azwin Lubis yang terbit di media ini (Harian Analisa) pada 21 Oktober 2013 lalu, yang mengulas tentang murahnya harga jasa tenaga didik di Indonesia hingga saat ini. Terlebih lagi, ia berani membandingkan jasa seorang tenaga didik (Baca: Guru) dengan penarik becak yang lebih sejahtera ketimbang guru honor di sekolah-sekolah. Pernyataan Azwin tersebut membuat saya berpikir betapa menjadi guru itu rasanya tidak enak. Lantas siapa mau jadi guru? Menjadi guru mungkin memang bukan impian setiap orang, tapi setiap tahunnya angka pelajar yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi baik itu PT yang khusus melahirkan calon guru maupun yang memilih fakultas keguruan terus membludak. Di universitas tempat penulis belajar misalnya, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) setiap tahunnya selalu menampung calon mahasiswa terbanyak dibandingkan dengan Fakultas lain. Dan tentu menghasilkan alumni yang lebih banyak pula. Setelah setiap tahunnya ba

Ilusi Kesetaraan Pembangunan Daerah

Mencermati Indeks Tata Kelola  Pemerintahan Indonesia atau Indonesian Government Index (IGI) tahun 2012 yang dimuat Harian Kompas pada Kamis 29 Agustus lalu, memberitahukan kita bahwa paradox demokrasi dan kesenjagan kualitas pembangunan antarprovinsi di Negara ini semakin melebar. Beberapa provinsi malah menunjukkan rata-rata kinerja pemerintah masuk dalam kategori buruk, yakni mendapat angka dibawah 5 dari skala 10. Data yang dirilis tersebut merupakan kelanjutan dari Partnership Governance Index pada 2008 guna mengukur kinerja tata kelola pemerintahan daerah di tingkat provinsi. Di posisi teratas ditempati oleh provinsi Yogyakarta dengan indeks tergolong baik (6,80) disusul Jawa Timur (6,43), DKI Jakarta (6,37), Jambi (6,24) dan Bali (6,23). Sedangkan diurutan terbawah dari 33 provinsi ditempati oleh Maluku Utara (4,45), di atasnya Papua Barat (4.48), Bengkulu (4,81), NTT (4,87) dan Papua di posisi 29 (4,88). Penulis ambil posisi 5 teratas dan terbawah. Ada enam indikato

Parade Diskon Jelang Lebaran

Akhir bulan ramadhan sudah di depan mata, lebaran pun akan segera tiba. Giliran para pebisnis mal dan swalayan untuk melakukan perang diskon dan obral besar-besaran demi mengambil hati para pembeli. Diskon yang ditawarkan tidak tanggung-tanggung, dari 10 % hingga 50 %, bahkan tak cukup, hingga perlu ditambah  lagi dengan tulisan +30%. Tradisi ini sudah berlangsung sekian lama, tidak hanya menjelang lebaran, tapi juga perayaan natal, tahun baru dan perayaan hari besar lainnya. Demi menarik perhatian setiap orang yang lewat, perlu ada semacam strategi yang memberikan efek eyecatching , salah satunya ya dengan memberikan diskon yang begitu mempesona. Ada yang berbunyi, “Diskon besar-besaran”, “Banting harga”, bahkan ada “toko mau tutup, diskon segila-gilanya”. Siapa yang bakal tidak mampir jika membaca iklan macam di atas. Maraknya “perayaan” diskon ini perlu dicermati oleh pelanggan. Ini memang salah satu strategi jitu pebisnis untuk mendapatkan pelanggannya, namun berhati-h

Menjual Isu Moralitas dalam Pemilu

Ketika musim pemilihan tengah melanda seantero negeri, sudah menjadi kewajiban bagi para (calon) pemimpin untuk memilih ‘komoditas’ yang diramalkan akan laris manis dijual. Dijual dalam artian mampu menjadi mass getter dan vote getter, meminjam istilah Premita Fifi Widhiawati, aktivis Rumah Kebangsaan, untuk menjaring suara rakyat sebanyak-banyaknya agar memenangkan pemilihan. Untuk itu para caleg perlu memikirkan secara matang isu seperti apa yang tengah banyak dibicarakan dan diinginkan masyarakat luas, agar jangan sampai niat hati memikat rakyat malah menjadi hujatan. Misalnya, di negeri yang katanya beradat ini, sekali saja para politisi menjual isu sensitif seperti kebebasan dalam beragama dan berekspresi yang mendukung kaum minoritas dengan ramainya pandangan buruk masyarakat terhadap golongan minoritas tersebut, atau menjual kebebasan berekspresi dengan mendukung sekte lesbian ataupun gay serta pernikahan sesam a jenis, maka alamat bukan simpati yang akan didapat.