Kelangkaan bahan bakar yang terjadi di negeri ini membuat harga minyak tanah juga semakin meroket, padahal sebagain warga masih sangat membutuhkannya untuk memasak, bahkan masih digunakan sebagai bahan bakar penerangan jika lampu padam.
Subuh sudah berlalu, pagi pun sudah cukup lama tertandang. Selesai mencuci satu ember penuh pakaian kotor ia pun beranjak ke bagian belakang rumahnya. Menyusun beberapa kayu bakar diperapian dengan panci besar berisi air bening yang belum matang disampingnya. Terkadang harus berjalan sejauh 10 meter lagi dari tempatnya memasak untuk mengambil kayu bakar yang disimpannya di gudang.
Subuh sudah berlalu, pagi pun sudah cukup lama tertandang. Selesai mencuci satu ember penuh pakaian kotor ia pun beranjak ke bagian belakang rumahnya. Menyusun beberapa kayu bakar diperapian dengan panci besar berisi air bening yang belum matang disampingnya. Terkadang harus berjalan sejauh 10 meter lagi dari tempatnya memasak untuk mengambil kayu bakar yang disimpannya di gudang.
Ialah bu Husnidar (57) yang lebih kerap disapa butet oleh warga sekitar tempat tinggalnya, desa Pekan Tanjung Beringin. Ia terpaksa harus kembali ke kayu sebagai bahan bakar untuk memasak karena melonjaknya harga minyak tanah. Harga minyak tanah yang sekarang ini mencapai Rp. 8500 per liternya terasa cukup berat baginya. “Mana tecukup-cukup awak duitnya, sehari minimal satu liter lebih” ungkapnya
Semua bermula sejak satu tahun yang lalu, Januari 2010 tepatnya. Saat itu Ia masih menjual bensin eceran di depan rumahnya, ia hendak mengisi kembali jeregen bensin di bagian belakang rumahnya tapi ia tidak sadar sebuah lilin sedang menyala tepat disebelahnya. Tiba-tiba bahan bakar yang sensitif itu langsung menyambar api hingga menyala cukup besar. Dengan dua orang anaknya mereka berusaha memadamkan api akan tetapi api tersebut sangat dekat dengan tempat penyimpanan bensin, membuat api itu menjadi lebih cepat menyala.
Api dipadamkan setelah dua jam kemudian, dan menghanguskan separo rumahnya hingga hanya menyisakan tembok saja. Dari sisa-sisa kebakaran itulah ia memungut kembali kayu bekas yang telah menghitam yang memunculkan ide untuk menjadikannya kayu bakar sebagai cara penghematan.
Saat itu ia seakan putus asa, ia sangat khawatir tidak bisa menuntaskan pendidikan anaknya. Tapi ia masih tetap bersyukur karena bagian depan rumahnya tidak terbakar, sebab disitulah mata pencaharian utamanya. “Untung aja barang jualan masih banyak sisa, kalau habis terbakar pas itu cemana mau memodalkanya lagi,”.
Mata pencaharian utama bu Husnidar memang terletak didepan rumahnya, ia menjual barang-barang keperluan menjahit seperti kancing, resleting, benang, dll. Toko kecilnya ia dirikan sejak 25 tahun silam. Dahulunya cukup laris sebab hanya dirinya yang membuka toko seperti itu, tapi seiring dengan perkembangan desa, pertokoan juga semakin menjamur. Tidak hanya itu, Desa Pekan Tanjung Beringin juga sangat dipengaruhi oleh mata pencaharian utama desa itu. Desa yang merupakan pesisir ini sangat bergantung pada hasil laut, jika hasil laut sedikit akan sangat berpengaruh pada semua pendapat warga kecuali yang bekerja sebagai pegawai negeri. “Tak ada ikan, mana ada orang beli,” ungkapnya miris.
Jika dulu dengan toko kecilnya ia bisa membangun rumah permanen dengan lantai keramik, sekarang rasanya hanya cukup untuk keperluan sehari-hari. Perharinya hanya dapat meraup kurang dari Rp 150.000. itu masih hasil kotor, sebab dagangannya menggunakan modal, ia hanya mengambil untung dalam jumlah kecil untuk setiap jenis daganganya. Misalnya untuk tiap 1 buah penjualan benang, ia hanya mendapat untung Rp. 400.
Seorang single parent
Husnidar sendiri seorang single parent, suaminya meninggal 7 tahun silam dan meninggalkan delapan orang anak. Empat anaknya sudah berumah tangga, oleh sebab itu sekarang ia tinggal dengan empat orang anaknya. Dua anak perempuan dan dua anak laki-laki.
Awalnya ia juga sangat terpukul atas kematian suaminya, ia merasa tidak sanggup untuk membiayai anak-anaknya yang saat itu dua diantaranya masih bersekolah. Tapi berkat usaha kerasnya, akhirnya ia mampu menyelesaikan pendidikan anaknya yang nomor tujuh, hingga tamat kuliah. “pikir dulu tak sanggup mengkuliahkannya, semua anak tak ada yang kuliah pas ada ayah, pas gak ada lagi Alhamdulillah bisa pula,” tambahnya.
Disamping kembali ke kayu bakar untuk menghemat pengeluaran, untuk mensiasati biaya pendidikan anaknya yang kian mahal, ia menabung setiap harinya. Perharinya ia sisihkan RP. 20.000 dan disimpan dalam celengan. Sampai saat ini pun masih dilakukannya. Saat bencana yang tidak diinginkan itu datang, sayangnya uang simpanannya ikut terbakar. Entah berapa jumlah uang yang terbakar saai itu, tapi menurutnya cukup banyak sebab sudah hampir sebulan ia menyimpannya. Karena tiap bulannya uang itu diambil.
Saat sisa kebakaran itu habis terasa betul baginya menggunakan kayu bakar lebih hemat dari minyak tanah. Ia bahkan rela menebang pohon besar yang ada di kebunnya, meskipun harus membayar jasa penebang pohon, karena pohon itu cukup besar untuk ditebang sendiri. Setelah pohon ditebang, Husnidar membelah sendiri bagian batang pohon itu dengan parang yang kemudian untuk dijadikan kayu bakar. Sampai sekarangpun ia masih tetap menggunakannya.
Husnidar adalah satu dari sebagian besar rakyat kecil negeri ini yang harus bersusah payah untuk memutar otak demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Masih banyak lagi rakyat kecil yang harus melakukan berbagai cara untuk melangsungkan kehidupan mereka, meski banyak media mengatakan jumlah penduduk miskin merosot, namun kenyataannya Indonesia masih belum mampu mencukupi kebutuhan masyarakatnya secara keseluruhan.***