Setiap hari kita disuguhkan dengan berita-berita seputar hiruk pikuk promblematika dunia politik, jarang sekali ditemui berita politik berjudul “ bagus” akhir-akhir ini. Berita jelek dunia politik kita kian menjadi-jadi. Bahkan menemani sarapan pagi kita—bagi yang membaca Koran atau menonton berita sambil sarapan. Hal ini “menggelitik” saya untuk menulis artikel ini dengan segala keterbatasan pengetahuan saya.
Tak ada satupun media yang tak mengangkat kasus yang tengah menggoncang Partai Demokrat baru-baru ini dengan munculnya kasus dugaan suap wisma atlet yang menyeret petinggi partai penguasa itu. Nazruddin –bendahara umum Partai Demokrat menjadi aktornya. Kasus terbaru muncul pula golongan mafia baru di bumi pertiwi ini selain mafia pajak yang dibintangi Gayus Tambunan. Kata mafia pemilu muncul kepermukaan atas adanya dugaan surat palsu MK. Sebelumnya juga mencuat kasus penyuapan pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia yang menyeret tak sedikit anggota DPR.
Tak ada satupun media yang tak mengangkat kasus yang tengah menggoncang Partai Demokrat baru-baru ini dengan munculnya kasus dugaan suap wisma atlet yang menyeret petinggi partai penguasa itu. Nazruddin –bendahara umum Partai Demokrat menjadi aktornya. Kasus terbaru muncul pula golongan mafia baru di bumi pertiwi ini selain mafia pajak yang dibintangi Gayus Tambunan. Kata mafia pemilu muncul kepermukaan atas adanya dugaan surat palsu MK. Sebelumnya juga mencuat kasus penyuapan pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia yang menyeret tak sedikit anggota DPR.
Tentu saja banyak dari mereka—para Caleg—yang ketika terpilih menjadi tersangka korupsi, logikanya para Calon Legislatif (Caleg) yang ikut dalam ajang pemilu dalam hal ini “berjudi”. “Berjudi” yang kelak akan menjadi boomerang sendiri bagi mereka. Mempromosikan diri membutuhkan baliho dan spanduk yang besar. Dan semua membutuhkan uang. Dengan “berjudi” mereka harus bersiap-siap, jika gagal berarti akan terjerat hutang, dan jika berhasil harus mempersiapkan diri untuk membayar hutang dan pemilu tahun depan. Lantas uang siapa yang dipakai? Tentulah uang kita semua.
Tapi seakan semua itu angin lalu, tak ada kasus yang benar-benar tuntas. Semua hilang begitu saja. Hingga banyak dari kita yang bertanya-tanya tentang kelanjutannya. Peran media harusnya menjadi sangat penting dalam hal memberi informasi, mengingat fungsinya sebagai social control dan kekuatan keempat selain Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif.
Citra Buruk
Hiruk pikuk problematika politik yang kian menjamur dan menjadi “tren” saat ini menciptakan citra buruk dari politik itu sendiri. Padahal Negara kita dikuasai oleh politik, terjun dalam pemeritahan Indonesia berarti terjun ke dunia politik—meskipun ada jalur independent. Karena partai politik merupakan sarana yang sangat penting arti, fungsi, dan perannya sebagai perwujudan kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dalam mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
Agaknya pemahaman masyarakat yang mencuat saat ini tentang partai politik adalah sebagai sarana dalam menyikat uang negara atau uang rakyat, sangat berbeda dengan tujuan partai politik yang ditegaskan dalam Undang‑Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 Bab III pasal 2 Tentang Tujuan Umum Partai Politik yang menyebutkan bahwa tujuan partai politik adalah mewujudkan cita‑cita nasional Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang‑Undang Dasar 1945, mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kembali kepermasalahan “berjudi” tadi, masyarakat kita kini rela menjual suara mereka. Tak dapat dipungkiri lagi, money politic sangat sering terjadi. Hanya orang yang memiliki idealisme yang tinggi yang rela menolak itu, nyatanya masih adakah kata idealis pada diri setiap orang saat ini?
Meskipun demikian, problematika politik kita tetap menjadi pembicaraan hangat oleh beberapa orang kalangan bawah. Meski Sekadar mengobrol di kedai kopi, masih sering penulis jumpai debat kusir sampai cemoohan soal politik kita. Bahkan dikatakan kasus-kasus politik kita sudah sama seperti sinetron saja. Argumen itu membuat saya ikut berpikir, “apa yang dikatakan uwak ini ada benarnya juga,”. Setidaknya kasus yang semakin hari semakin rumit dan semakin panjang sama dengan sinetron yang juga dibuat dengan konflik yang rumit dan mengada-ngada.
Bersyukur masih ada yang peduli, meski sudah uwak-uwak tetap mengikuti perkembangan kasus politik—meski dengan cara mereka sendiri. Tapi sekarang timbul masalah yang perlu diperhatikan, jika diatas penulis gambarkan orang tua yang “perhatian” terhadap kasus yang tengah melanda negara, bagaimana kenyataannya dengan generasi muda kita? sangat disayangkan pemuda kita kini lebih memilih sikap acuh tak acuh pada kasus-kasus yang terjadi di bumi pertiwi. “Peduli amat,” kata mereka.
Tak salah juga jika mereka bersikap demikian, banyaknya kasus yang ditontonkan kepada mereka menciptakan sikap apatis terhadap politik. Selain itu, berita yang disiarkan atau dimuat di Surat Kabar Harian terkesan hanya sekadar memberi informasi, tak cukup untuk menjelaskan masalah itu dengan terang. Coba saja tanyakan suatu kasus politik secara rinci pada satu kelas yang berisi mahasiswa kita. Miris, hanya beberapa dari mereka yang mengerti kasus itu.
Sikap apatis yang terlahir dari citra buruk yang tercantum dalam benak mereka dalam jangka panjang akan melahirkan sikap enggap pula dalam berpolitik. Bagi mahasiswa, disediakan suatu ranah untuk praktik berpolitik. Setiap tahunnya, diadakan pemilihan Presiden Mahasiswa, Majelis Permusyawarahan Mahasiswa (MPM), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) hingga Gubernur mahasiswa. Dapat dihitung berapa persen mahasiswa yang terjun kedalamnya. Bahkan memberikan suara saja enggan.
Hal ini juga terus terjadi karena pengaruh “tak ada pemilu raya kampus yang tak rusuh,”. Polemik kerap kali terjadi dalam praktik politik kampus yang kemudian menimbulkan demonstrasi yang tak jarang berakhir anarkis. Tak tahu dari mana asalnya, apakah meniru politik negara kita, atau memang karena sikap mereka yang belum siap kalah dan berdemokrasi.
Penutup
Jika mahasiswa yang dikatakan sebagai pemimpin masa depan saja sudah enggan dan apatis dalam berpolitik (dalam arti luas), bagaimana nasib bangsa ini kelak, padahal negara kita—tentu saja—“dikuasai” partai politik. Jika tidak ada usaha dalam memperbaiki citra politik yang sudah kadung buruk ini, kelak kedepan tidak ada regenerasi politikus-politikus handal dan jujur yang akan memimpin negara.
Untuk itu hendaknya pemerintah, politikus, dan pejabat negara yang saat ini tengah terbuai dengan urusan mereka sendiri hendaknya memperhatikan sikap yang diambil generasi muda. Jika tetap tidak ada perubahan dari tubuh pemerintahan, perubahan yang menunjukkan bahwasannya berkecimpung dalam urusan negara merupakan tugas mulia. Dengan menunjukkan sikap-sikap yang bersih dan terhindar dari kasus suap, korupsi dan nepotisme. Maka bersiaplah menghadapi masa depan bangsa yang tak menentu.***