Skip to main content

Sekolah di Jepang Berperan Atur Nutrisi Siswa

Seorang siswi Sekolah Dasar Seinan Elementary School di Minato Tokyo mempersiapkan makan siang untuk temannya di sekolah
Oleh: Nur Akmal.
Sekolah-sekolah di Jepang khu­susnya pada jen­jang pendidikan dasar dan menengah pertama menye­dia­kan makan siang untuk siswa. Ma­kan siang di seko­lah ini bertujuan untuk mem­berikan pemahaman yang baik tentang makanan sehat dan kapasitas me­milih ma­kan­an yang sesuai dengan per­kembangan siswa.
Kepala Sekolah Seinan Ele­mentary School, Minato, Tokyo, Yukiharu Seki, me­nga­takan program makan siang di se­kolah ini dimulai sejak Jepang me­ngalami ke­sulitan setelah masa perang, tujuan dari disediakannya ma­kan siang di sekolah awal­nya untuk menyediakan nut­risi pendukung bagi siswa.

"Namun saat ini tujuannya berubah untuk memberikan kontribusi terhadap perkem­bangan kesehatan mental dan fisik siswa. Di Minato, demi memenuhi tujuan itu, seko­lah-sekolah menyedia­kan ma­kanan dengan nutrisi se­imbang, mempromosikan Shokuiku (pendi­di­kan nutrisi dan makanan), serta berko­la­­bo­rasi dengan orangtua dan masya­rakat," ujarnya saat ber­bicara di depan peserta Journalist Tour 2016 yang di­gelar Yakult di Tokyo, be­be­rapa waktu lalu.

Dalam kunjungan jurnalis dari ber­bagai negara ke Sei­nan Elementary School itu, Yukiharu juga menjelaskan semua sekolah SD dan SMP negeri di Jepang memiliki ruangan memasak. Sekolah juga memiliki ahli gizi yang merancang menu makan siang dengan memperhatikan keamanan makanan, nutrisi, karakteristik lokal dan biaya.
Siswa mengantre untuk mendapatkan makan siang di sekolah
"Menu yang disediakan juga di­kaitkan dengan buda­ya makan tra­di­sional Jepang, makanan khas dari dae­rah dan menu khusus per musim, se­hingga anak-anak menjadi lebih terta­rik. Sekolah juga memberikan maka­nan popu­ler dari negara lain untuk mem­­perkenalkan budaya asing pada siswa," ujar Yagu­chi-san, ahli gizi Sei­nan Elementary School.
Biaya makan siang seba­gian ditang­gung orangtua atau wali, sebagian lagi di­­biayai pemerintah daerah setempat dengan menyedia­kan produk pertanian yang dibudidayakan dan nasi demi menjaga kualitas dan ke­aman­an makanan.
Shokuiku
Shokuiku atau pendidikan nutrisi dan makanan menjadi dasar program makan siang di sekolah. Siswa tidak hanya di­berikan makanan yang se­hat dan ber­nut­risi, tetapi juga diberikan pe­mahaman dalam mengatur dan men­jaga kese­hatan diri melalui makan­an. Siswa juga diharapkan me­ma­hami dengan baik pola ma­kan mereka sehari-hari.
"Siswa juga diharapkan mampu me­milih pola makan yang sehat, untuk ala­san itu kami memposisikan makan siang di sekolah sebagai Sho­kuiku. Gu­­ru bekerjasama de­ngan ahli gizi se­ko­lah untuk memasak dan menye­dia­kan panduan makan jadi siswa be­lajar dasar-dasar aturan makan," tam­bahnya.
Siswa juga diikut sertakan dalam prog­ram tersebut se­suai kapasitasnya ke­mampu­annya. Mulai dari mengupas bahan makanan sebelum di masak, me­nyediakan makan­an bagai teman se­ke­lasnya secara bergantian setiap hari.
“Siswa turut serta dalam pelayanan untuk menumbuh­kan karakter saling memban­tu sama lain,” tambah Yuki­ha­ru.
Siswa kelas lima juga me­miliki kelas khusus tentang nutrisi makanan dan kese­hat­an. Serta membuat menu ma­kan siang dengan gizi se­imbang. "Me­nu-menu yang di­rancang masing-ma­sing kelas akan dijadikan menu makan pada bulan Maret," ungkapnya.
Tulisan ini dimuat di Harian Analisa, rubrik Kesehatan 27 Juni 2016

Popular posts from this blog

Apa yang Dihasilkan Politik Kampus?

Bicara soal politik, rasanya ta k sedikit orang yang ingin terjun. Entah apa sebabnya, namun hal ini sudah menjadi rahasia umum. Meskipun persentase kemenangan kecil, tetap saja banyak calon legislatif yang rela mengeluarkan sedikit uang untuk kampanye. Tak hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau kalah dalam hal berpolitik. Politik masuk ke Universitas-Universitas. Spanduk bertebaran di gedung-gedung, mengajak masyarakat kampus untuk memilih dan mencoblos tuannya. Mahasiswa yang menilai dirinya sebagai aktifis cenderung terjun kedalam politik kampus. Dan berbondong-bondong mendirikan serta menjalankan partai politik mereka sendiri. Alasan yang dikemukakan tentunya alasan yang sama seperti yang kita dengar dari politikus-politikus handal di televisi. "Memperjuangkan aspirasi rakyat (dalam hal ini mahasiswa) ". 

Tak Ada Lagi Topi Kerucut dan Kalung Petai

Oleh: Nur Akmal IKUTI MPLS: Peserta didik baru SMK Negeri 1 Medan mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Seluruh peserta didik baru tak lagi memakai atribut berbau perploncoan sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa (Foto : Nur Akmal) Hujan  sejak subuh masih menyisakan awan gelap dan udara yang dingin, namun tak menggoyahkan semangat siswa-siswa baru untuk hadir pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Pakaian mereka putih bersih, rapi dan tampak masih baru. Mereka berbaris rapi menantikan satu persatu aktivitas Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang tahun ini dikendalikan sepenuhnya oleh guru. "Selamat datang di SMK Negeri 1 Medan, dalam sesi ini kita akan membahas budaya dan tata terbit sekolah," demikian SJ Simamora, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat dan Industri menyapa para peserta didik baru di lapangan SMK Negeri 1 Medan yang diberi tenda agar siswa tak terkena hujan.

Pagar Api dan Berita Titipan Media Massa

Jika dulu sering kita lihat dalam suatu scene sebuah film yang menampilkan gambar blur pada suatu merek dagang yang tanpa sengaja tertangkap kamera. Kini agaknya tak banyak lagi kita temui, malah secara terang-terangan pelbagai merek dagang terpampang jelas di hampir setiap scene film, bahkan merambah pada media massa seperti suratkabat. Iklan memang dibolehkan, tapi pagar api perlu diperhatikan.