Skip to main content

Aksi Brutal Mahasiswa, Demonstrasi dan Gagasan Tulis

Foto: Net (revolusisuci.blogspot.com)
Sebuah potret miris kembali ditunjukkan generasi muda bangsa. Padahal banyak yang berharap pada mereka agar kelak dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Sebuah judul berita yang memaksa mata untuk langsung membacanya. “Puluhan Mahasiswa IMM Minta Penganiaya Mahasiswa Ditangkap” –baca analisa minggu (25/9).
Dalam berita tersebut diterangkan bahwa seorang mahasiswa yang dengan anggota-anggotanya menganiaya seorang  kader dari organisasi oposisi. Sebuah alasan yang sebenarnya sangat remeh, namun idealisme salah kaprah yang membuat alasan itu menjadi benar. Ini lagi-lagi menjadi moment yang mencoreng dunia pendidikan Nasional. Padahal baru saja kemarin berita seputar keberhasilan pelajar indonesia memenangkan olimpiade internasional tercetak di berbagai media yang mengharumkan nama “pendidikan” kita.
Dalam berita tersebut juga dijelaskan para mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) meminta agar kasus penganiayaan yang terjadi di kampus harus dituntaskan sebab kasus penganiayaan terhadap mahasiswa akhir-akhir ini tengah marak-maraknya.
Memang belakangan ini kericuhan sering terjadi di kawasan kampus, tidak hanya di kawasan kampus UMSU yang terakhir diberitakan beberapa media cetak di Medan. Sebelumnya pelaksanaan Ospek yang di adakan oleh Institut Agama Islam Negeri-Sumatera Utara (IAIN-SU) juga sempat mengalami kericuhan. Tercetak dengan Judul “OPAK IAIN-SU Rusuh—baca Waspada (13/8).
Tampaknya aksi brutal dan anarkis sudah begitu melekat pada generasi masa depan kita. Setelah sebelumnya juga santer diberitakan tentang perilaku anarkis yang dilakukan pelajar SMA Negeri 6 Jakarta terhadap wartawan media cetak dan elektronik beberapa hari yang lalu. Yang menimbukan berbagai reaksi pula dari para aliansi wartawan se-indonesia. Kita kembali bicara soal aksi brutal mahasiswa masa kini, Kenapa Saya tekankan kata “masa kini” dalam judul diatas?. Seperti hal lain yang biasanya dalam kurun waktu beberapa dekade pasti terjadi yang dinamakan pergeseran. Artinya tidak sesuai lagi dengan yang lalu. Mari kita telisik kembali fungsi mahasiswa. Apakah juga terjadi pergeseran dalam hal ini?.
Slogan mahasiswa sebagai agent of change tampaknya masih digunakan hingga sekarang. Mahasiswa—terutama yang menyebut diri mereka aktivis—kerap kali melabel atau mendeklarasikan diri sebagai pembawa perubahan. Perubahan yang mereka bawa dilakukan dengan berbagai macam cara. Jika teringat apa yang dicetak sejarah bahwa gerakan mahasiswa pernah mencatat diri mereka yang telah bersikap heroisme melawan tirani yang kokoh pada masa orde lama dan baru, yakni Kejatuhan Soekarno dan Soeharto. Terasa betul peran mahasiswa kala itu, peran sebagai kaum intelektual tinggi yang membawa perubahan dengan hanya bermodalkan keinginan kuat untuk menwujudkan cita-cita kerakyatan dan kesadaran diri sebagai kesatuan yang memiliki tujuan yang sama. Sebagaimana di tulis Sayfa Auliya Achidsti, Pemimpin Redaksi Jurnal Mahasiswa Tradem UGM.
Sebagian tentu berpikir apa kita masih perlu turun ke jalan untuk melakukan long march untuk menurunkan penguasa saat ini. Ya, sebagian mahasiswa yang tergabung dalam serikat mahasiswa masih banyak yang melakukan demonstrasi di jalan dengan berbagai tuntutan yang alih-alih di penuhi pemerintah, pejabat yang dituntut bahkan tidak mau menggubris. Ini tidak hanya terjadi pada demonstrasi besar di jalan raya dengan ribuan masa dan tuntutan yang berat. Demonstrasi yang kerap terjadi di lingkungan kampus juga kerap tidak digubris.
Pertanyaannya kenapa? karena gerakan kritis mahasiswa masa kini seperti bertumpu pada kepentingan segelintir orang. Hingga jika terjadi demonstrasi tinggal panggil saja perwakilannya dan berbicara secara “Damai” maka “Damai”lah urusan. Teman penulis bahkan ada yang menjadikan demonstrasi sebagai mata pencarian atau perkerjaan sampingan untuk mengisi kantong. “Lumayanlah” katanya.
Menurut Jhon Rivel Purba,ada banyak faktor penyebab tumpulnya gerakan kritis mahasiswa akhir-akhir ini, antara lain ; sistem pendidikan yang membatasi masa studi, gerakan yang tidak terkonsolidasi, organisasi mahasiswa yang bertumpu pada kepentingan segelintir orang, terkontaminasi dengan kepentingan politik internal maupun eksternal kampus, tekanan dari pihak kampus dan terjebak pada kemajuan teknologi informasi.
Kini mahasiswa lebih suka berdemonstrasi di kawasan kampus. Jarang terbaca ataupun tertonton oleh kita berita yang mengatakan aksi yang dilakukan mahasiswa di depan gedung instansi pemerintah. Jikalau pun ada tentunya diakhiri dengan penangkapan beberapa mahasiswa karena telah bertindak anarkis dengan membakar mobil dll. Demonstrasi berskala lebih kecil namun berfrekuensi lebih besar lebih sering terjadi di kampus/universitas mereka masing-masing. Jika saja semua demonstrasi yang dilakukan mahasiswa di kampusnya terendus media dan di-publish tentu berita harian kita dipenuhi oleh berita mereka. Mahasiswa kini lebih tertarik menuntut hak mereka secara pribadi kepada pihak Universitas ketimbang memperhatikan problem sosial yang kini tengah dihadapi bangsa.
Sebagaimana diungkapkan Jhon di atas, hal ini disebabkan karena mereka telah terkontaminasi dengan kepentingan politik internal kampus yang kerap kali juga berakhir anarkis, seperti contoh berita di atas. Selain itu, karena gerakan yang mereka buat bukan berdasarkan cita-cita rakyat dan kesadaran sebagai suatu kesatuan, malah terpecah belah karena partai politik mereka masing-masing dan  berkonfrontasi dengan partai oposisi. Layaknya partai besar negara ini—partai berkuasa dan oposisi.
 Demo Anarkis Dan Menulis
Brahma Aji Syahputra, seorang penulis yang kerap gagasannya di-publish di media massa, dalam bukunya “Menembus Koran” dengan berani mengatakan bahwa saat ini aksi demonstrasi sudah kehilangan ruhnya. Seringnya tindakan anarkis digabungkan dalam aksi membuat sebagian masyarakat menjadi sarkastis terhadap mahasiswa. Bukannya mendukung mahasiswa atas tindakan beraninya menuntut kebijakan pemerintah malah merasa resah.
Tentu saja, siapa yang tidak kesal jika tiba-tiba mereka harus mengganti jalur perjalanan pergi atau pulang dikarenakan adanya demonstrasi yang dilakukan mahasiswa. Apalagi sampai bertindak anarkis, bisa-bisa mobil barunya rusak terkena lemparan batu.
Jangankan masyarakat, sebagian mahasiswa lain malah bersikap apatis terhadap gerakan yang seperti itu. Karena dianggap hanya suatu tindakan yang mengagungkan hedonisme semata. Berteriak dengan TOA (pengeras suara) di jalan takkan banyak yang mendengar. Sama halnya seperti suara lain yang begitu mudah hilang terbawa angin. Esoknya sudah lupa apa yang dikatakan orator dalam demonstrasinya. Lain halnya dengan menyampaikan gagasan dengan tulisan. Tulisan yang dimuat di media massa akan dibaca banyak orang. Untuk koran daerah saja setiap harinya mencetak entah berapa exemplar. 10-20 persen saja dari mereka yang membeli koran dan membaca gagasan yang kita tulis. Dengan cepat gagasan itu dapat tersampaikan.
Belum lagi jika tulisan kita dimuat di koran nasional yang pembacanya adalah seluruh penduduk Indonesia, alangkah bangganya kita sebagai mahasiswa kampung yang ide dan gagasanya dibaca oleh banyak orang seantero negeri. Dan tulisan itu masih bisa dilihat kalau-kalau mereka merasa perlu dan lupa sementara informasi yang diberikan penting bagi mereka.
Nah, mari sekarang kita berubah dari mahasiswa yang berotot menjadi mahasiswa konseptor sebagaimana awalnya dengan menyampaikan gagasan dan ide melalui tulisan baik itu artikel maupun karangan ilmiah. Itu namanya berkarya, boleh berdemonstrasi asal dengan alasan yang tepat tanpa ada campur tangan kepentingan dan sikap hedonis, pragmatis serta berakhir anarkis. Hingga semua ide kritis yang ingin kita sampaikan benar-benar tepat sasaran. Hidup mahasiswa kritis!!

Penulis adalaha mahasiswa UMSU bergiat di Koran kampus Teropong , pemerhati masalah mahasiswa
Dimuat di Harian Analisa, Jum'at 7 Oktober 2011

Popular posts from this blog

Apa yang Dihasilkan Politik Kampus?

Bicara soal politik, rasanya ta k sedikit orang yang ingin terjun. Entah apa sebabnya, namun hal ini sudah menjadi rahasia umum. Meskipun persentase kemenangan kecil, tetap saja banyak calon legislatif yang rela mengeluarkan sedikit uang untuk kampanye. Tak hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau kalah dalam hal berpolitik. Politik masuk ke Universitas-Universitas. Spanduk bertebaran di gedung-gedung, mengajak masyarakat kampus untuk memilih dan mencoblos tuannya. Mahasiswa yang menilai dirinya sebagai aktifis cenderung terjun kedalam politik kampus. Dan berbondong-bondong mendirikan serta menjalankan partai politik mereka sendiri. Alasan yang dikemukakan tentunya alasan yang sama seperti yang kita dengar dari politikus-politikus handal di televisi. "Memperjuangkan aspirasi rakyat (dalam hal ini mahasiswa) ". 

Tak Ada Lagi Topi Kerucut dan Kalung Petai

Oleh: Nur Akmal IKUTI MPLS: Peserta didik baru SMK Negeri 1 Medan mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Seluruh peserta didik baru tak lagi memakai atribut berbau perploncoan sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa (Foto : Nur Akmal) Hujan  sejak subuh masih menyisakan awan gelap dan udara yang dingin, namun tak menggoyahkan semangat siswa-siswa baru untuk hadir pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Pakaian mereka putih bersih, rapi dan tampak masih baru. Mereka berbaris rapi menantikan satu persatu aktivitas Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang tahun ini dikendalikan sepenuhnya oleh guru. "Selamat datang di SMK Negeri 1 Medan, dalam sesi ini kita akan membahas budaya dan tata terbit sekolah," demikian SJ Simamora, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat dan Industri menyapa para peserta didik baru di lapangan SMK Negeri 1 Medan yang diberi tenda agar siswa tak terkena hujan.

Pagar Api dan Berita Titipan Media Massa

Jika dulu sering kita lihat dalam suatu scene sebuah film yang menampilkan gambar blur pada suatu merek dagang yang tanpa sengaja tertangkap kamera. Kini agaknya tak banyak lagi kita temui, malah secara terang-terangan pelbagai merek dagang terpampang jelas di hampir setiap scene film, bahkan merambah pada media massa seperti suratkabat. Iklan memang dibolehkan, tapi pagar api perlu diperhatikan.