Skip to main content

Hujan, Bintang, dan Kau

Aku kira malam ini akan turun hujan, melihat sore harinya cuaca begitu dingin hingga rasanya semilir angin yang seperti es meresap hingga ke tulang. Tentu saja aku berharap akan turun hujan malam ini, sebab malam ini malam minggu. Bahkan kalau bisa bukan hanya gerimis, tapi hujan lebat yang akan menggagalkanmu menghampiriku. Padahal aku tak suka hujan, aku takut petir. Mana bisa aku tidur dengan tenang jikalau petir terus menyapaku. Mem-blizt-ku dengan kilatnya yang menyeramkan. Ditambah dengan suara menggelegar yang rasanya gendang telingaku tak sanggup menahan frekuensinya. Tapi tahukah kau, kalau kebencianku padamu jauh lebih besar daripada kebencianku pada hujan?
Ba’da magrib angin tak sedingin sore tadi, barangkali es yang sebelumnya menerpa wajah dan menjelahi kulitku sudah mencair. Awan cumulusnimbus yang dari tadi bertengger menutupi jingganya matahari sore juga sudah pergi. Eh, kalau tidak hujan berarti bukan cumulunimbus namanya, mungkin awan cirrus, tapi bentuknya sangat mirip dengan cumulusnimbus yang menghasilkan hujan. Entahlah, yang jelas awan itu sudah pergi dan jadilah awan biru gelap yang bertandang.  
Aku ambil handuk dan langsung menuju kamar mandi. Perasaan tidak enak hati kembali bertamu, sama seperti malam-malam minggu sebelumnya. Kau akan datang. Bagi sebagian orang malam minggu malam yang mereka nanti. Tapi rasanya tidak bagiku, malam minggu indah memang bagi mereka yang memiliki pasangan, namun bukan sembarang pasangan. pasangan yang memiliki cinta dalam hubungan mereka.
“Apa itu artinya aku tidak memiliki cinta terhadap pasanganku yang akan datang kurang dari satu jam lagi ini?” aku membatin. Pikiranku terus berputar dengan perasaan itu selama aku membersihkan diri.
Pukul setengah delapan, aku menunggumu di beranda rumah. Aku memang tidak pernah mengizinkanmu masuk jika tujuanmu hanya untuk bertemu denganku. Paling hanya untuk memberi salam pada orangtuaku jika sudah habis masa jengukmu malam itu.
“Untung malam ini tak hujan ya, jika ia aku gak bisa ke rumahmu,” katamu. Entah itu sebuah pertanyaan atau pernyataan aku tak tahu. Ku putuskan untuk tidak menjawab saja.
“Lihat ada bintang!” kau berkata lagi, kali ini berhasil. Kau dapat perhatianku. Aku memang suka bintang. Inilah yang semakin membuatku pusing jika malam ini tiba. Aku selalu berharap malam ini hujan agar kau tak datang padaku, padahal aku benci hujan dan petir-petirnya. Sementara aku begitu mencintai bintang. Sejak kecil aku selalu melihat bintang. Setitik cahaya di langit yang juga membuat hatiku bercahaya. Aku sering bercerita pada bintang, kemarin aku baru saja bercerita pada mereka tentangmu.
Berbicara tentang bintang membuatku teringat kisah dua tahun yang lalu. Sekelebat kenangan itu hadir dipelupuk mataku, seolah aku kembali ke masa lalu. Saat kau mencoba mendekatiku. Kau gunakan bintang untuk memancing pembicaraan. Apa saat itu kau sudah tahu aku suka pada bintang atau itu hanya kebetulan, lagi-lagi aku tidak tahu. Otakku terlalu lelah untuk berpikir. Seolah sudah menghapalnya kau menjelaskan semua rasi bintang yang kau tahu. aries, Aquilla, Canis Minor, Scorpio dll.
“Apa kau tahu itu rasi bintang apa Putri?” tanyamu.
“Tidak, aku hanya suka bintang karena ia bisa menentramkan hatiku. Dari mana kau tahu aku suka bintang?” aku heran. 

“Aku tahu banyak tentangmu,” hanya itu yang kau jawab.
Hari demi hari kita semakin akrab. Kau tak malu lagi datang ke rumahku, padahal kemarin kau belum punya ikatan denganku. Giliranmu yang bercerita padaku tentang hidupmu. Dari situ aku tahu bahwa kita punya nasib yang sama. Kau bercerita bahwa dulu kau punya segalanya. Ayahmu bekerja di instansi negara tingkat propinsi dengan jabatan yang tinggi. tapi tiba-tiba hidupmu berubah drastis saat ayahmu dituduh sebagai koruptor. Kau kehilangan segalanya, dan menjadi orang kecil selama beberapa tahun sebelum akhirnya bangkit kembali. Saat kau bercerita aku merasa hatiku memanggil. Kau tahu kenapa? Karena aku juga punya cerita yang sama.
“Kau tahu, kita punya cerita yang sama,” balasku menjawab ceritanya.
Ya, aku memang punya cerita yang sama dengan        mu. Hanya sedikit berbeda di alasan kenapa keluargaku terjatuh. Aku tak ingin menceritakannya karena terlalu sakit bagiku mengingatnya. Orang memang tak selamanya ada diatas, roda pasti akan berputar. Aku pikir saat itu akulah satu-satunya orang yang mengalami hal seperti itu, ternyata tidak. Kau juga. Dan kesamaan ini membuatku bisa menerimamu meskipun perlahan-lahan. Ku rasa aku mulai mencintaimu. Eh, berarti aku pernah punya cinta untuknya.
“Namun kenapa sekarang  berbeda?” aku berpikir di dalam hati. Sementara ia masih saja mencerocos di sebelah tempat dudukku. Entahlah, pikiranku sedang tidak untukmu. Beberapa kali kau mengulang pertanyaanku karena aku salah menjawab dan tak mengerti maksudmu. Aku hanya berharap malam ini cepat berakhir dan aku bisa segera istirahat. Agar esok hari perasaan tidak enak hati ini hilang.
Dentang lonceng jam kuno di sebelah pintu masuk agaknya cukup membuatmu sadar diri, ini sudah malam.  Jam berdentang 10 kali. Artinya sudah jam 10. Ayah biasanya tidak mengizinkanku untuk diluar lebih dari jam segini. Lagi- lagi ini salah satu hal paling aku benci. Aku seperti bonekamu yang tak mampu bergerak dan mengendalikan diriku sendiri. Detik terakhir yang membuat ku merasa bersalah setiap kalinya. Bagaimana mungkin aku bisa mencium pria yang tidak aku cintai dan tidak halal bagiku. Padahal aku sudah diajarkan moral-moral sejak seumur jagung. Setelah kau pulang, tahukah kau kalau aku semakin membencimu saja?
“Kapan semua ini berakhir,” Aku rasanya hampir menangis.
Aku teringat kembali kenapa aku begitu membencimu sekarang. Aku telah menerima keberadaanmu, tapi kau tak pernah tahu alasannya. Aku menerimamu bukan karena kau tampan, bukan karena kau kaya raya, bukan karena kau cerdas, bukan karena kau besar hingga aku rasanya terlindungi dari bahaya. Kau bahkan tidak memiliki itu semua. Baiklah mungkin hanya beberapa persen saja. Aku menerimamu karena aku berpikir kau punya nasib yang sama denganku dan kau juga pemuja bintang sepertiku.
Tapi mungkin karena ketidaktahuanmu itu kau malah bertindak semena-mena. Seolah kau memilikiku seutuhnya. Possesive, kata banyak orang modern. Kau membatasi ruang lingkupku seenaknya. Kau membatasi pergaulan dan komunikasiku dengan teman-teman yang kau anggap membahayakan posisimu sebagai pemilik sejati diriku seenak perutmu yang besar itu. Aku benci itu. Arogansimu serta kepalamu yang besar itu juga aku benci. Pernah kau berkata kasar pada tanteku yang rupanya adalah teman sekelasmu waktu SMA hanya gara-gara ia menyarankan aku mencari yang lebih baik untukku.
“Maafkan aku sayang, aku tidak tahu kalau dia tantemu,” kau berkata manis.
“Lantas kalau dia bukan tanteku kau berhak berkata kasar padanya?” lagi-lagi aku hanya membatin. Kenapa aku tak bisa berbuat apa-apa?.
Kau pastilah sudah merasa hebat, karena aku begitu menerimamu. Bahkan aku sudah menjadi bonekamu. Kau pasti merasa kau sudah berada diatas angin saat ini. Dan aku tetap berada di tanah yang tandus. Kenapa aku tidak bisa berbuat apa, hanya itu saja yang aku pikirkan.
Setelah tamat dengan program S1. Aku berangkat ke Jakarta, rencananya untuk melanjutkan program Master sekaligus melarikan diri darimu. Hanya itu yang bisa aku lakukan, memutuskan hubungan dengan orang yang semena-mena terhadapku.
Syukur sekarang kau sudah jarang menghubungiku, dan tidak mungkin lagi bagimu menjengukku di malam-malam itu. Tak perlu lagi kini ku berharap pada tuhan agar hujan turun di malam minggu. Hanya berharap agar bintang selalu bersinar setiap malam. Meskipun belum ada kisah kita telah memutuskan hubungan yang complicated ini tapi setidaknya aku merasa sedikit lega. Aku hanya ingin menyampaikan perasaanku bahwa “Cintaku pada bintang jauh lebih besar dari pada cintaku padamu, dan benciku padamu lebih besar dari pada benciku pada hujan”.***


Popular posts from this blog

Apa yang Dihasilkan Politik Kampus?

Bicara soal politik, rasanya ta k sedikit orang yang ingin terjun. Entah apa sebabnya, namun hal ini sudah menjadi rahasia umum. Meskipun persentase kemenangan kecil, tetap saja banyak calon legislatif yang rela mengeluarkan sedikit uang untuk kampanye. Tak hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau kalah dalam hal berpolitik. Politik masuk ke Universitas-Universitas. Spanduk bertebaran di gedung-gedung, mengajak masyarakat kampus untuk memilih dan mencoblos tuannya. Mahasiswa yang menilai dirinya sebagai aktifis cenderung terjun kedalam politik kampus. Dan berbondong-bondong mendirikan serta menjalankan partai politik mereka sendiri. Alasan yang dikemukakan tentunya alasan yang sama seperti yang kita dengar dari politikus-politikus handal di televisi. "Memperjuangkan aspirasi rakyat (dalam hal ini mahasiswa) ". 

Tak Ada Lagi Topi Kerucut dan Kalung Petai

Oleh: Nur Akmal IKUTI MPLS: Peserta didik baru SMK Negeri 1 Medan mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Seluruh peserta didik baru tak lagi memakai atribut berbau perploncoan sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa (Foto : Nur Akmal) Hujan  sejak subuh masih menyisakan awan gelap dan udara yang dingin, namun tak menggoyahkan semangat siswa-siswa baru untuk hadir pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Pakaian mereka putih bersih, rapi dan tampak masih baru. Mereka berbaris rapi menantikan satu persatu aktivitas Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang tahun ini dikendalikan sepenuhnya oleh guru. "Selamat datang di SMK Negeri 1 Medan, dalam sesi ini kita akan membahas budaya dan tata terbit sekolah," demikian SJ Simamora, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat dan Industri menyapa para peserta didik baru di lapangan SMK Negeri 1 Medan yang diberi tenda agar siswa tak terkena hujan.

Pagar Api dan Berita Titipan Media Massa

Jika dulu sering kita lihat dalam suatu scene sebuah film yang menampilkan gambar blur pada suatu merek dagang yang tanpa sengaja tertangkap kamera. Kini agaknya tak banyak lagi kita temui, malah secara terang-terangan pelbagai merek dagang terpampang jelas di hampir setiap scene film, bahkan merambah pada media massa seperti suratkabat. Iklan memang dibolehkan, tapi pagar api perlu diperhatikan.