Bicara soal politik, rasanya tak sedikit orang yang ingin terjun. Entah apa sebabnya, namun hal ini sudah menjadi rahasia umum. Meskipun persentase kemenangan kecil, tetap saja banyak calon legislatif yang rela mengeluarkan sedikit uang untuk kampanye.
Tak hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau kalah dalam hal berpolitik. Politik masuk ke Universitas-Universitas. Spanduk bertebaran di gedung-gedung, mengajak masyarakat kampus untuk memilih dan mencoblos tuannya. Mahasiswa yang menilai dirinya sebagai aktifis cenderung terjun kedalam politik kampus. Dan berbondong-bondong mendirikan serta menjalankan partai politik mereka sendiri. Alasan yang dikemukakan tentunya alasan yang sama seperti yang kita dengar dari politikus-politikus handal di televisi. "Memperjuangkan aspirasi rakyat (dalam hal ini mahasiswa) ".
Seorang kader partai politik yang telah menunjukkan eksistensinya diutus untuk maju menjadi calon Presiden Mahasiswa (Persma). Sedangkan pejabat dibawahnya adalah ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau Gubernur dari tiap fakultas. Persis seperti pemilu nasional yang kita laksanakan lima tahun sekali. Bedanya, Pemilu Raya (Pemira) dilakukan satu tahun sekali. Tentu saja, jika diadakan lima tahun sekali presiden mahasiswa terpilih bisa saja sudah wisuda dan tak lagi menyandang status mahasiswa sehingga tidak sesuai dengan idealnya.
Tak hanya itu, Universitas juga dilengkapi dengan lembaga-lembaga yang menyerupai lembaga nasional seperti Majelis Permusyawaratan Mahasiswa sampai Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bertugas melaksanakan Pemira di kampus. Tapi sebenarnya apa tugas yang mereka emban? Bahkan dalam beberapa kasus, para pejabat kampus yang terpilih malah tidak memperlihatkan program kerjanya sama sekali.
Dilihat dari untung ruginya, keuntungan menjadi presiden mahasiswa adalah menjadi terkenal dikalangan kampus, presiden mahasiswa juga memperoleh keuntungan dari kucuran dana yang dicairkan oleh pihak rektorat. Tapi bagi masyarakat kampus sendiri terutama bagi mahasiswa yang tidak tergabung dalam organisasi seperti BEM atau UKM, keuntungan yang diperoleh tidak begitu terlihat atau tidak terlihat sama sekali. Ada atau tidaknya presiden mahasiswa sama saja rasanya.
Pesta demokrasi dikampus hanya dimeriahkan oleh mereka yang tergabung dalam organisasi. Tak sedikit mahasiswa yang lebih memilih untuk golput karena menganggap Pemira sama sekali bukan hal yang penting bagi mereka. Mahasiswa suatu Universitas, 70 persennya adalah mahasiswa yang tidak peduli dengan aktivitas kampus. Kebanyakan mahasiswa berpikir tugas mereka sebagai mahasiswa hanya belajar agar mudah memperoleh pekerjaan. Apatis.
Mahasiswa dan Politik
Berpolitik saat menjadi mahasiswa tentunya juga mempunyai keuntungan bagi mahasiswa yang bersangkutan. Mahasiswa yang bercita-cita menjadi politikus dapat belajar atau mempraktikkan politik dan memperoleh pengalaman langsung dari pelaksanaannya. Sehingga akan mempermudah kelak jika sudah menjadi politikus.
Akan tetapi bagaimana dengan sisi negatif yang sering terjadi dalam pelaksanaan politik dan pemilu dikalangan mahasiswa. Hal ini dapat mengajarkan hal negatif yang tidak berguna bagi mereka. Suasana politik yang panas menjadi lebih panas karena ketidak stabilan diri dari para pelaku politik kampus. Para pelaku berstatus mahasiswa yang rata-rata berumur 20 tahun-an yang masih dalam tahap pra dewasa dan masih sulit menerima kekalahan, sehingga acap kali aksi anarkis mewarnai Pemira setiap tahunnya.
Permainan politik dan kecurangan-kecurangan itu akan tersimpan dalam memori mereka dan malah mengkhawatirkan jika mereka menjadi politikus masa depan. Mungkin saja praktek kecurangan serta permainan politik yang mereka laksanakan saat menjadi mahasiswa akan dipraktekkan kembali saat mereka menjabat sebagai perwakilan masyarakat yang sebenarnya.
Meski diusung partai politik, massa sebenarnya adalah organisasi. Suatu organisasi akan menghendaki anggotanya untuk mendukung calon Presma atau gubernur yang berasal dari anggotanya. Satu organisasi akan menjadi satu suara, semakin banyak anggota semakin banyak pula suara untuk mendukung si calon. Untuk itu penarikan massa sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan Pemira.
Tidak hanya itu, partai politik yang lulus verifikasi versi KPU sebagian besar hanya mendapat suara dari satu fakultas yang merupakan basis dari partai politik itu sendiri. Misalnya partai yang lahir dari fakultas hukum, tentu suara untuk partai tersebut terbanyak di fakultas hukum saja, sementara di fakultas lain hanya seperti suara yang terselip, artinya jumlah suara hanya sedikit sekali.
Mengapa bisa demikian, alasannya sederhana saja, partai politik kampus tentu lebih mengutamakan masyarakat atau mahasiswa yang paling dekat dengannya. Sehingga lebih memudahkan mereka dalam membujuk untuk ikut memilih. Hanya bermodal sering mendengar nama partai itu, mahasiswa yang tidak berorganisasi sekali pun akan memilih partai fakultasnya sendiri.
Namun jelas sekali ada kelemahan jika hanya mengandalkan suara mahasiswa berdasarkan fakultas. Dengan sistem seperti ini fakultas dengan jumlah mahasiswa terbanyak pasti akan memenangkan pemira dengan mudah. Karena seperti yang penulis sebutkan sebelumnya, satu organisasi atau kelompok memiliki satu suara. Untuk menanggulanginya, para elite politik kampus mengadakan koalisi dengan partai-partai lain yang dianggap mampu menaikkan rating serta suara untuk mereka.
Satu hal yang patut diapresiasi dari praktek politik kampus, tidak adanya praktek money politic dalam pelaksanaan kampanye. Mungkin disebabkan capresma dan cagub masih berstatus mahasiswa atau rasa idealisme yang tinggi dari seorang mahasiswa. Idealisme hanya dimiliki saat menjadi mahasiswa tapi tidak semua mahasiswa, melainkan mahasiswa yang sadar akan dirinya sebagai agent of change. Hendaknya hal ini dimiliki oleh semua orang di dunia khususnya di Indonesia.***
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Keguruan Dan Ilmu pendidikan UMSU. Wartawan Koran Kampus Teropong.
Dimuat di Harian Analisa, Rabu, 8 Juni 2011 (juga kelewatan korannya, T.T)