Skip to main content

Jangan Panggil Ayah lagi Dik...

Sudah 3 minggu ayahnya berbaring di rumah sakit, meski beberapa hari yang lalu sempat pulang karena kondisinya sudah sedikit membaik. Keluarganya bilang ayahnya sudah sembuh, padahal menurut Lidya orang No 1 menurutnya itu belum sembuh benar.

“Kenapa ayah dibawa pulang bunda? Kan ayah masih demam, badannya masih panas.” Kata Lidya pada bundanya, yang ia tahu ayahnya hanya “demam”.

Namun Bundanya tak menjawab
.

Dua hari berikutnya, Bocah berumur 5 tahun itu sedang tidur dibawah selimut bersama neneknya. Ya, sejak ayahnya pulang dari rumah sakit, bunda tidak mengizinkannya tidur bersama mereka. Bundanya tidak ingin Lidya melihat keadaan ayahnya yang semakin parah saja, tapi bagi Lidya bukan masalah, ia memang lebih suka tidur di kamar neneknya. Ia bocah baik hati yang tak seperti kebanyakan anak kecil lain yang selalu memaksa kehendaknya. Ia pintar mengalah.

Tiba-tiba dalam buaian mimpinya yang indah, ia tersentak kaget ketika pintu kamar terbuka dengan teriakan bundanya. Mimpinya segera berakhir dan berganti dengan wajah bunda yang ketakutan. ‘ada apa’ pikirnya.

 “Ma, abang muntah darah, tolong telepon rumah sakit,” teriak ibunya panik.

Ia masih mengantuk tapi bunda menggendongnya sambil berlari menuju mobil ambulance yang datang beberapa saat kemudian.

“Ayah kenapa lagi bunda?” tanya lidya.

Tapi kembali ibunya tak menjawab. Hanya kali ini Lidya mengerti bahwa penyakit Ayahnya menjadi lebih parah. Di pangkuan ibunya ia merasa kepala serta pipinya basah oleh air mata sang bunda. Bundanya selama ini tak pernah menangis, bahkan sejak 3 minggu ayahnya dirawat ia merasa bundanya sangat tegar. Tak pernah sekalipun ia melihat bundanya menangis, meskipun raut wajah susah akan keadaan suaminya terpampang jelas di wajah. Artinya bunda berusaha menunjukkan kepadanya bahwa ayahnya baik-baik saja.

Ayah Lidya punya penyakit yang parah, salah satu ginjalnya rusak, serta Tubercolosisnya yang menahun menambah rasa sakit pada dirinya. Ditambah lagi selama ini keseharian ayahnya begadang hingga pukul 2-3 dinihari bermain catur, atau halma di depan rumah mereka yang merupakan pusat kedai kopi 24 jam non stop. Baru pulang pukul 4 pagi, padahal paginya ayah selalu bekerja, berjualan berbagai macam makanan dalam jumlah besar, atau lebih dikenal dengan ‘Kedai Sampah’ di daerah situ. Itu usaha yang dirintis ayahnya sendiri. Ayahnya tidak mempekerjakan banyak orang, ayahnya lebih suka melayani pelanggannya sendiri. Padahal pelanggan mereka cukup banyak perharinya. Kedainya hanya mempekerjakan 2 pemuda yang membantunya mengambilkan barang.
***
Pagi itu, Lidya dengan sumringah kembali ke rumah,  ia senang karena hari ini ia akan mengunjungi ayahnya dirumah sakit. Setelah 2 hari yang lalu ia mengantar ayah dengan ambulance esoknya ia pulang kerumah, sebab ia harus bersekolah.

“Assalamualaikum, “ tak pernah ia lupa mengucapkan salam dengan mulut mungilnya yang terkadang dengan sengaja ia celat kan, wajah Lidya memang imut, kulitnya yang putih serta suara cemprengnya yang jika “dicampur” dengan sifat manjanya yang sesekali ditunjukkannya tentu membuat semua orang tersenyum melihatnya, tak ada orang yang tega memarahi anak kecil berambut lurus itu. Matanya sangat lihai memainkan suasana hati setiap orang yang ditemuinya.

“Adik, kita mau ketemu ayah kamu mandi sana,” ia bercerita pada adiknya.

Lidya punya adik laki-laki berumur 1 tahun 5 bulan. Yang juga sama imutnya dengan dia. Segera ia berbenah dan menggunakan pakaiannya sendiri sebab sang bunda sedang menemani ayahnya di rumah sakit. Ia memang anak yang mandiri, ia mengerti kondisinya, setelah memiliki adik ia bahkan tidak pernah meminta untuk dimandikan, tapi sesekali bunda memandikannya juga. Lidya mencari neneknya, yang saat itu tengah di ruang tamu. Ia dengar bisik-bisik neneknya dari kamar.

“Nek......” panggil Lidya.

“Sebentar ya nak,” sahut neneknya.

Ternyata nenek sedang menelpon, wajah neneknya gusar. Mungkin nenek sedang menelpon atau ditelpon bunda, menanyakan apakah mereka jadi ke rumah sakit. Pikir Lidya. Ia mendatangi adiknya, Alfa yang dari tadi sudah berpakaian rapi. Sudah jadi tradisi bagi keluarga mereka untuk tidak berpakaian lusuh atau berpakaian layaknya sehari-hari jika hendak berpergian, meskipun akan menjenguk orang sakit. Tidak seperti tetangga mereka di kampung yang bisa pergi ke kota walaupun hanya dengan baju tidur.

“Ayah ana? Ayaaaah.......mau nek edda (ayah mana? Ayah.....mau naik sepeda,),” Alfa memanggil ayahnya.
Alfa sangat dekat dengan ayahnya. Ia sering di bawa ayahnya naik sepeda atau becak kecil yang memang untuk anak seumurnya.

“Ayah lagi sakit dik...nanti kita jumpa ayah koq,” Lidya menenangkan adiknya.

“ayah......ayahh.....,” Alfa menangis.

Lidya kecil menggendongnya dengan maksud membawa Alfa ke tempat nenek, barangkali nenek sudah selesai menelpon. Ya nenek memang sudah selesai menelpon, dan langsung mengambil Alfa dari genggaman Lidya. Tampak sedih.

“Kita gak jadi ke tempat ayah ya nak,” kata nenek.

“kenapa nek?,” tanya lidya bingung.

“Gak apa-apa, besok saja,” jawab neneknya.

Lidya sebenarnya sedih karena batal bertemu dengan ayah dan bundanya. Ia tidak mengerti kenapa nenek membatalkan janjinya, padahal nenek sudah berjanji sejak 5 hari yang lalu, dan ia juga tidak mengerti kenapa nenek menangis. Ia hanya sedih karena tidak bisa bertemu ayahnya.
***
Pukul 3 pagi, nenek membangunkannya. Lidya bangun dengan wajah kusut karena lelah bermain satu harian, padahal tidurnya sedang nyenyak.

“Ayo nak, kita ke tempat ayah,” ajak nenek.

Lidya bingung kenapa harus sepagi ini. Tapi karena kerinduannya akan ayah dan bundanya ia pun ikut saja. Nenek tampak lebih muram subuh itu, beberapa saudara lainnya juga ikut, tantenya juga menangis dari tadi, keadaan itu membuatnya sedikit merasa janggal. Ia merasa jantungnya berdebar.

Bunyi telepon genggang tante berdering, membangunkan lidya dari lamunannya tentang ayah, ia baru sadar bahwa pipinya basah karena air matanya sendiri, tapi ia masih tak mengerti. Mendengar suara dari telepon genggam tantenya, ia tau itu suara tantenya yang lain, yang juga menjaga ayah dirumah sakit. Tiba-tiba tangis tante pencah, dan langsung memeluk Alfa sekuat tenaganya. Hingga Alfa yang tertidurpun menangis, sementara ia dalam semua kebingungannya terdekap dalam pelukan hangat neneknya. Ayahnya meninggal dunia.

Setelah melihat ayahnya dikebumikan, barulah ia mengerti bahwa ayahnya sudah tiada lagi, ia sekarang menjadi anak yatim. Ia melihat Ibunya yang lesu, karena terus menangis, melihat adiknya yang seakan mencari sesuatu, tapi bingung sedang mencari apa, Lidya sadar pastilah Alfa sedang mencari ayahnya.

Lidya anak yang tegar, ia bahkan menenangkan perasaan ibunya. Semua orang merasa kasihan pada anak itu, anak manis yang kini telah kehilangan ayahnya di usia yang sangat hijau. Rasanya semua orang akan tersayat setiap kali melihat ia menenangkan ibu dan adiknya.

“Ayah ana? Ayah......nek edda....,” Alfa kembali merengek.

“Jangan panggil ayah lagi dik....ayah kita sudah meninggal, jangan buat bunda bertambah sedih,” Lidya mencoba menenangkan adiknya pula.

Sementara dirinya tak pernah mencari lagi ayahnya, ia tak mau membuat bundanya bertambah sedih. Padahal ia sendiri juga sangat sedih atas kepergian ayahnya. Tak satu pun tega berbicara atau bertanya soal ayahnya pada Lidya, bocah lucu yang menggemaskan itu  ***

Popular posts from this blog

Apa yang Dihasilkan Politik Kampus?

Bicara soal politik, rasanya ta k sedikit orang yang ingin terjun. Entah apa sebabnya, namun hal ini sudah menjadi rahasia umum. Meskipun persentase kemenangan kecil, tetap saja banyak calon legislatif yang rela mengeluarkan sedikit uang untuk kampanye. Tak hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau kalah dalam hal berpolitik. Politik masuk ke Universitas-Universitas. Spanduk bertebaran di gedung-gedung, mengajak masyarakat kampus untuk memilih dan mencoblos tuannya. Mahasiswa yang menilai dirinya sebagai aktifis cenderung terjun kedalam politik kampus. Dan berbondong-bondong mendirikan serta menjalankan partai politik mereka sendiri. Alasan yang dikemukakan tentunya alasan yang sama seperti yang kita dengar dari politikus-politikus handal di televisi. "Memperjuangkan aspirasi rakyat (dalam hal ini mahasiswa) ". 

Tak Ada Lagi Topi Kerucut dan Kalung Petai

Oleh: Nur Akmal IKUTI MPLS: Peserta didik baru SMK Negeri 1 Medan mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Seluruh peserta didik baru tak lagi memakai atribut berbau perploncoan sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa (Foto : Nur Akmal) Hujan  sejak subuh masih menyisakan awan gelap dan udara yang dingin, namun tak menggoyahkan semangat siswa-siswa baru untuk hadir pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Pakaian mereka putih bersih, rapi dan tampak masih baru. Mereka berbaris rapi menantikan satu persatu aktivitas Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang tahun ini dikendalikan sepenuhnya oleh guru. "Selamat datang di SMK Negeri 1 Medan, dalam sesi ini kita akan membahas budaya dan tata terbit sekolah," demikian SJ Simamora, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat dan Industri menyapa para peserta didik baru di lapangan SMK Negeri 1 Medan yang diberi tenda agar siswa tak terkena hujan.

Pagar Api dan Berita Titipan Media Massa

Jika dulu sering kita lihat dalam suatu scene sebuah film yang menampilkan gambar blur pada suatu merek dagang yang tanpa sengaja tertangkap kamera. Kini agaknya tak banyak lagi kita temui, malah secara terang-terangan pelbagai merek dagang terpampang jelas di hampir setiap scene film, bahkan merambah pada media massa seperti suratkabat. Iklan memang dibolehkan, tapi pagar api perlu diperhatikan.