Skip to main content

Menangislah Hanif....

foto : net
Abu Nassir, seorang pria tua yang tinggal di daerah dekat pasar Ramallah, Palestina itu tampak sangat ketakutan, berulang kali ia bertasbih dan berdo’a. Wajahnya sembab seperti orang tak tidur selama berhari-hari. Ia sedang menunggu di sebelah pintu kamar anak perempuannya. Wajahnya yang keriput begitu berkeringat, bibirnya terus bergetar sembari menyebut nama Allah. Bayang-bayang darah serta suara tembakan AK47 masih terus terngiang-ngiang di telinganya.
“Ya Allah, tolong selamatkan dia.”
Abu Nassir mengunggu anaknya Safa Ummu Nazwa yang tengah berusaha untuk tetap hidup di balik sebuah kamar yang gelap. Seorang dokter relawan dari Mesir, Ahmed Nifsin, sedang merawat luka yang menganga di sekujur tubuh Safa. Darahnya terus mengalir begitu pula do’a Abu Nassir di balik pintu. Abu Nassir merasa sangat kesal karena dirinya tak bisa melindungi anak kesayangannya. Dan tak habis pikir betapa kejam dan laknatnya orang-orang Yahudi dari negara Zionis Israel yang kini menduduki wilayah mereka.
“Argh....., sakit.” Terdengar suara Safa mengerang.
“Tahan sedikit Safa, darahmu tidak bisa berhenti.” Dokter Nifsin mencoba menenangkan.
Abu Nassir tak sanggup mendengarnya, ia hampir putus asa. Kaki Safa nyaris putus karena di tembaki tentara-tentara biadab Israel secara membabi buta. Hingga darahnya berselemak di ruang tamu mereka. Abu Nassir menangis mendengar jeritan kesakitan anaknya. Lebih sakit lagi jika ia mengingat Hanif, anak satu-satunya dari Safa yang tersisa.
“Cepatlah kembali nak,” ratapnya.
Tiba-tiba suara kamar menjadi hening, mendengarnya sontak Abu Nassir membuka telapak tangan yang tadinya dikatupkan ke mukanya. Ia berharap anaknya baik-baik saja. Dokter Nifsin keluar kamar dengan seragam yang berlumuran darah. Wajahnya tidak senang, pertanda tidak baik. Perasaan Abu Nassir bergolak. Firasatnya satu jam yang lalu sepertinya benar.
“Innalilahhiwainnailaihirojiun,” Abu Nassir menangis.
Tidak butuh jawaban verbal dari Dokter Nifsin, ia hanya menggeleng dan meneteskan air mata di depan Abu Nassir. Abu Nassir langsung mengerti hasilnya. Safa Ummu Nazwa meninggal dunia.
“Tentara biadab, akan aku bunuh mereka,” Abu Nassir geram.
“Sabar wahai Abu Nassir, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Serahkan semuanya pada Allah,” teriak Dokter Nifsin melihat Abu Nassir yang kehilangan kendali.
“Mana Hanif?” tanya Nifsin.
“Ia pasti sedang berlari kesini, temannya Azzam pasti sudah memberitahunya,”
Tak lama kemudian suara engahan nafas anak kecil terdengar di depan pintu. Sepertinya ia habis berlari sekuat tenaganya.
“Ibu.......mana ibu kek, dia baik-baik saja kan?” ternyata Hanif sudah tiba.
“Kenapa kakek menangis, mana ibu?” teriak Hanif.
“Ibu mu sudah pergi nak,”
***
Dua jam yang lalu Abu Nassir, Safa dan Hanif tengah menonton siaran berita yang disiarkan Al-Jazeera seputar perkembangan Arab Spring yang sedang dihadapi Mesir. Pergolakan timur tengah itu kian menjamur. Mereka menyaksikan orang-orang berdemonstrasi di jalan sementara aparat terus menangkapi demonstran lainnya bahkan dipukul.
 “Aku bersyukur di tempat kita tidak ada demonstrasi yang mengacaukan itu,” kata Hanif.
“Kenapa seperti itu?” ibunya bertanya.
“Karena kalau ada aku pasti tidak tahan untuk tidak ikut dan kalau aku ikut aku pasti akan dipukul tentara-tentara itu,”
Safa tersenyum.
Hanif bukan anak Palestina biasa, ia paham betul arti perjuangan. Sejak kecil ia sudah biasa mendengar letusan senapan dan dentuman meriam dari tank-tank Israel yang sengaja ditembakkan di negaranya. Ia juga sering melihat pembantaian-pembantaian keji yang dipraktekkan tentara Israel pada warganya. Mereka sungguh biadab. Tak peduli tua atau muda, pria atau wanita, bahkan anak-anak sekalipun. Pernah ia melihat temannya diseret tentara Israel dan hingga kini ia tak pernah bertemu lagi dengan temannya itu. Darah pejuang kemerdekaan Palestina mengalir dalam dirinya. Ia percaya akan tiba masanya menjadi pejuang yang sebenarnya. Meskipun dirinya hanyalah seorang bocah yang tidak bisa apa-apa saat ini.
“Ibu, Demi buah zaitun. Suatu saat aku akan bergabung dengan pasukan pembebas di tepi jalur Gaza untuk merebut kemerdekaan kita,” Hanif serius mengucapkannya.
“Apa yang kau katakan nak, kau masih berumur dua belas tahun,”
“Tak apa bu, aku ingin melanjutkan perjuangan ayah,” tegas Hanif.
Ayah Hanif adalah pejuang HAMAS yang gugur saat terjadi baku tembak dengan tentara Israel di dekat kawasan Al-Quds. Ayah Hanif dan 7 pejuang lainnya tewas dengan cara yang mengenaskan. Tentu saja persenjataan HAMAS kalah telak dengan tentara Israel yang memilik artileri-artileri kokoh itu.
“Itulah bu, demi Allah berjihadlah. Jihad Fi Sabillillah, relakan semuanya demi harga diri kita sebagai umat Islam yang pernah berjaya selama berabad-abad sebelumnya,”  Hanif ngotot. Ia tahu itu dari buku-buku sejarah yang dibacanya di kamar Abu Nasser.
“Terserah kamu saja nak, lakukan apa yang seharusnya kamu lakukan,” Jawab Safa mantap.
Safa begitu siap menghadapi apapun yang terjadi pada keluarganya. Keikhlasannya begitu kokoh sekokoh artileri perang yang dimiliki Israel. Sejak kehilangan suaminya dua tahun yang lalu semangat jihadnya semakin berkorbar, ia percaya pengorbanan Yusuf Aswad sang suami pasti berbuah manis. Ia percaya matinya seorang pejuang kemerdekaan adalah mati syahid yang dinanti semua umat muslim yang beriman. Ia pun berharap seluruh keluarganya mati syahid hingga kemudian kelak mereka bertemu di syurga Allah yang indah, merajut cinta kasih yang tertunda di dunia karena kebiadaban bangsa terkutuk itu. Sementara mereka kelak terbakar di neraka Allah yang begitu panas apinya. Mereka kekal selamanya disana.
Bukan hanya ayah Hanif yang mati terbunuh di keluarga mereka, Safa sebenarnya punya tiga anak. Hanif, Safira dan Nazwa. Safira dan Nazwa keduanya mati tertembak saat bermain di belakang pasar Ramallah. Tuntutan Safa tak pernah digubris, tentara-tentara itu hanya beralasan salah sasaran tembak, mereka mengaku ingin menembak pejuang HAMAS yang saat itu tengah berkumpul di daerah Ramallah tersebut. Namun Safa tak pernah menangis, ia ingat apa yang dikatakan Yusuf Aswad bahwa mati dalam keadaan syahid adalah sebuah cita-cita mulia.
“Sekarang pergilah Ke rumah Syeikh Abdul Thoyib, kaukan harus mengaji sore ini,” Safa menyuruh Hanif.
“Baik Bu, Assalamualaikum,” Hanif pergi.
Abu Nassir Yang dari tadi menonton berita Angkat bicara.
“Pergolakan Arab Ini sebenarnya juga merugikan kita, saat seluruh dunia menyoroti yang terjadi di Suriah dan Mesir, pemberitaan seputar kondisi Palestina pun berkurang drastis. Akibatnya tentara Israel bebas mengelar pasukannya di seluruh wilayah Palestina. Dan berbuat sesuka hati mereka, Aku curiga ada keterlibatan Amerika dengan CIA di dalamnya,”
Belum sempat Abu Nasser melanjutkan ceritanya, tiba-tiba......
GDEBUK, PRAKK!!
“Apa itu Safa?”
“Aku tidak tahu Abi,” mereka bergegas keluar.
Ternyata para tentara Israel yang memaksa masuk dengan mendobrak pintu depan mereka yang terbuat dari kayu lapuk.
“Mana anakmu Hanif? Aku dengar ia belajar dengan Syeikh Abdul Thayyib. Kami harus membawanya,” kata Kapten Yigal Sharon, tentara Israel yang bertugas di sekitar Ramallah.
“Apa mau mu Sharon? Ada perlu apa dengan anakku?”
“Kami menduga Syeikh Abdul Thayyib sebagai teroris yang mengajarkan anak muridnya untuk memberontak dan melakukan bom bunuh diri. Kami sudah menangkapnya beberapa jam yang lalu begitu juga dengan semua pengikutnya,”
“Anakku bukan teroris, kalian yang teroris dasar biadab,” Safa tak bisa menahan diri.
DRERRRRTTTTTTT.........................
Sharon menembakkan senjatanya ke lantai rumah yang terbuat dari kayu tua itu tepat di bawah kaki ibu Hanif, ia tak terima dengan perkataan Safa. “Aku bisa bertindak lebih kejam dari ini,”
“Kalian memang kejam, aku tidak akan memberikan anakku, cuih....”
Tepat mengenai muka Sharon, mukanya memerah. Ia merasa dilecehkan oleh kaum yang baginya lebih rendah dari kaumnya itu. Ia mengangkat senjata dan menembakkannya bertubi-tubi pada Safa.
“Allahu Akbar,” Abu Nassir menjerit.
“Pergi kalian!!!”
“Kami tetap akan mencari cucumu orang tua, kami pergi dulu,” mereka cukup ramah memberi salam.
***
Pemakaman Safa dilaksanakan secepatnya, sesuai syari’at Islam. Rumah mereka yang lantainya bolong ramai di kunjungi orang melayat. Abu Nassir sudah memberi tahu Hanif bahwa tentara Israel mencarinya.
“Aku sudah tahu kek, semua teman-temanku di pengajian telah mereka bawa, begitu pula Syeikh Abdul. Azzam yang memberitahuku,”
Ia duduk di sudut lantai rumahnya yang bolong, memandangi bekas darah yang masih segar. Tidak menangis apalagi meratapi kepergian ibunya. Dalam hati ia berkata selamat bu, kau telah dapat kehormatan di sisi Allah.
“Apa kau tidak sedih Nif?” tanya Abu Nasser tiba-tiba.
“Tentu saja aku sedih kek, mereka meninggalkanku sendiri”
“Kenapa kau tidak menangis? Ini pasti berat bagimu,”
“Tidak kek, ini belum seberapa,” Hanif tegar.
“Menangislah nak, ibumu sudah tiada. Kau harus melanjutkan perjuangan mereka,”
“Aku juga akan syahid kelak kek,”
Abu Nasser pergi meninggalkan Hanif yang masih termenung melihat gelimangan darah mendiang ibunya. Perasaannya berubah, sesak mulai menohok jantungnya, sesunggukan terasa di tenggorokannya. Ia terbayang wajah ibunya sebelum dimakamkan. Ia ingat kata-kata terakhir itu. Lakukanlah apa yang seharusnya kamu lakukan nak. Jantungnya berdegup. Hatinya sakit, air mata mulai membendung di pucuk kelopak mata bawah.
“Ibu,” bisiknya.
Ia menangis. Ia goyang. Rasanya ia tak kuat menanggung kepedihan pahit yang sudah ditakdirkan untuknya ini.
“Menangislah Hanif, pejuang pun perlu menangis,” sambung Abu Nasser dari belakang.
“Menangislah agar kau tenang,” sembari menepuk bahu Hanif yang bergetar lalu pergi kembali.
Hanif tiba-tiba ingat pengajiannya dengan Syeikh Abdul Thayyib minggu lalu, tentang surah Al-Baqoroh ayat 153. Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.Hanif mengambil Wudhu dan shalat sunnah, lalu berdo’a.
        “Ya Allah, berilah hamba ketabahan yang sejati, seperti yang disampaikan rasulMu, ini aku anggap cobaan dari Mu ya Allah. Aku percaya janji Mu bahwa tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah, dan Barang siapa yang beriman kepada Allah, Niscahaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
***
Abu Nassir kembali ke dalam rumah, maksud ingin melihat keadaan cucu satu-satunya. Ia tadi sempat melihat Hanif shalat sunnah, rasa bangganya terhadap anak itu mengembang. Artinya Hanif sudah dewasa dan mampu dilepas. Sungguh didikan religius yang mantap sudah diberikan orangtuanya. “Semoga Allah merahmatimu Hanif,” dalam hati Abu Nasser.
Setiba di kamar Hanif Abu Nasser tak melihatnya. Kamar Hanif sepi. Ada sepucuk surat di atas meja.
“Kakek, Rasullah pernah bersabda sesungguhnya, ketabahan yang sejati itu ada pada guncangan pertama kali ketika terjadinya musibah,”
Hanya itu isi suratnya. Abu Nasser tak mengerti.
Sementara itu, di tepi kota Ramallah, seorang anak dua belas tahun dengan baju lusuhnya yang berdarah dan basah karena air mata tengah berdiri menentang kebiadaban.  Seorang anak yang seluruh keluarganya mati terbunuh karena kebengisan tentara-tentara kaum yang dilaknat Allah dalam Al-Qur’an. Seorang anak yang berusaha agar tetap tegar meski kehilangan seluruh masa kecilnya yang berharga, seorang anak yang tak lagi takut mendengar dentuman keras dari artileri canggih milik musuhnya. Dengan sebuah batu yang digenggamnya berniat mati Syahid dan bertemu dengan seluruh keluarganya di syurga.
Hanif berdiri tepat di depan lobang meriam Tank tentara pembunuh orangtua dan adik-adiknya, bersiap melembar batu yang digenggamnya berharap dapat membidik mata seorang tentara yang tengah berdiri ditengah kegagahan tank kebanggaan. Yigal Sharon.
TAK!!!!
Batu itu tak tepat di mata Sharon tapi cukup untuk membuat pelipis mata Sharon merah berdarah.
“Kurang Ajar, Siapa itu,”
“Hanif Bin Yusuf Aswad, Anak Pejuang Kemerdekaan sekaligus Syuhada Yusuf Aswad. Dan Murid kesayangan Syeikh Abdul Thayyib dari kota Ramallah” sahut Hanif menantang. Dia bersiap melempar lagi.
DUMM!!!!!
Debu-debu di tanah berterbangan, Merah darah kembali menghiasi kuningnya pasir negara timur tengah itu. Aroma darah yang bercampur debu terbang melayang terbawa angin panas cuaca kota Ramallah, menyempaikan kabar duka sekaligus kabar suka ini pada Umat Islam disana, terutama bagi anak itu sendiri.
Abu Nassir di rumah tengah minum kopi, gelasnya jatuh dan berantakan di lantai.
Innalillah”
***
Terinspirasi dari Foto yang diabadikan oleh kantor berita internasional yang menggambarkan seorang anak yang tengah berdiri tepat di depan tank tentara Israel melempar batu.

Popular posts from this blog

Apa yang Dihasilkan Politik Kampus?

Bicara soal politik, rasanya ta k sedikit orang yang ingin terjun. Entah apa sebabnya, namun hal ini sudah menjadi rahasia umum. Meskipun persentase kemenangan kecil, tetap saja banyak calon legislatif yang rela mengeluarkan sedikit uang untuk kampanye. Tak hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau kalah dalam hal berpolitik. Politik masuk ke Universitas-Universitas. Spanduk bertebaran di gedung-gedung, mengajak masyarakat kampus untuk memilih dan mencoblos tuannya. Mahasiswa yang menilai dirinya sebagai aktifis cenderung terjun kedalam politik kampus. Dan berbondong-bondong mendirikan serta menjalankan partai politik mereka sendiri. Alasan yang dikemukakan tentunya alasan yang sama seperti yang kita dengar dari politikus-politikus handal di televisi. "Memperjuangkan aspirasi rakyat (dalam hal ini mahasiswa) ". 

Tak Ada Lagi Topi Kerucut dan Kalung Petai

Oleh: Nur Akmal IKUTI MPLS: Peserta didik baru SMK Negeri 1 Medan mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Seluruh peserta didik baru tak lagi memakai atribut berbau perploncoan sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa (Foto : Nur Akmal) Hujan  sejak subuh masih menyisakan awan gelap dan udara yang dingin, namun tak menggoyahkan semangat siswa-siswa baru untuk hadir pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Pakaian mereka putih bersih, rapi dan tampak masih baru. Mereka berbaris rapi menantikan satu persatu aktivitas Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang tahun ini dikendalikan sepenuhnya oleh guru. "Selamat datang di SMK Negeri 1 Medan, dalam sesi ini kita akan membahas budaya dan tata terbit sekolah," demikian SJ Simamora, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat dan Industri menyapa para peserta didik baru di lapangan SMK Negeri 1 Medan yang diberi tenda agar siswa tak terkena hujan.

Pagar Api dan Berita Titipan Media Massa

Jika dulu sering kita lihat dalam suatu scene sebuah film yang menampilkan gambar blur pada suatu merek dagang yang tanpa sengaja tertangkap kamera. Kini agaknya tak banyak lagi kita temui, malah secara terang-terangan pelbagai merek dagang terpampang jelas di hampir setiap scene film, bahkan merambah pada media massa seperti suratkabat. Iklan memang dibolehkan, tapi pagar api perlu diperhatikan.