Kutipan di atas penulis  ambil dari kutipan seorang pejuang yang memiliki pengaruh besar dibidang  pendidikan sejak masa sebelum kemerdekaan. Ki Hajar Dewantara. Beliau  diakui sebagai bapak Pendidikan hingga kini, dan tanggal lahirnya  dijadikan hari nasional, yakni Hari Pendidikan Nasional.
Dari kutipan diatas, Ki Hajar Dewantara berpesan kepada seluruh pelajar  Indonesia, bahwasannya tugas mereka bukanlah semata-mata belajar untuk  meraih nilai yang fenomenal untuk kemudian setelah tamat lantas mencari  pekerjaan. Namun lebih dari itu, sang bapak menyarankan agar menggunakan  pendidikan untuk memperkenalkan jati diri kita kepada dunia sebagai  bangsa Indonesia yang besar, merdeka, dan bermartabat. 
Peneliti Hidup Abadi
Siapa orang di dunia ini yang tak kenal Aristoteles, Plato, dan  Socrates. Nama-nama cendikiawan ini muncul hampir di semua buku dalam  berbagai bidang ilmu yang banyak digunakan dari SD (atau barang kali  SMP) hingga mahasiswa. Orang-orang hebat ini begitu terkenal dalam  segala teori yang di kemukakannya. Padahal mereka hidup di jaman B.C  (before Christ) atau sebelum Masehi. Nama mereka masih menjadi  pembicaraan hingga kini, dan mungkin selamanya. Inilah yang disebut  sebagian orang dengan panjang umur, mereka abadi meski jasad mereka  sudah habis ditelan tanah pemakaman.
Mereka abadi karena teori, dan teori muncul bukan semata-mata terucap  dari mulut begitu saja. Teori muncul karena diteliti. Ya, saat semua  orang hanya bisa berbahasa secara verbal, Plato (429-347 BC) yang sering  disebut dengan linguist pertama dalam era tradisional menganalisis  bahasa yang terdiri dari pelaku dan tindakan, yang kemudian dilanjutkan  oleh Aristoteles (384-322 BC) yang menggambarkan tentang ucapan dibagi  dalam beberapa unit seperti subjek, predikat, gender, angka, orang,  tenses dan lain-lain, hingga akhirnya ia fokus pada retorika dan  phonology. (Habib Syukri Nst: 2011).
Bukan maksud memberikan mata kuliah yang barangkali sudah pembaca  ketahui. Hanya memberikan ilustrasi bahwa orang-orang besar seperti  mereka memerlukan jembatan sebelum namanya menggaung diseluruh dunia  sepanjang masa. Plato dan murid-muridnya merupakan seorang peneliti,  yang dengan penelitiannya mereka memperkenalkan jati diri mereka sebagai  orang yang merdeka dan bermartabat.
Penelitian Mahasiswa 
Universitas Gadjah Mada dengan predikat Universitas Riset, setiap  tahunnya mengirimkan proposal penelitian mahasiswanya dalam program  Pekan Kreatifitas Mahasiswa untuk bersaing dikancah Nasional. Tahun lalu  mereka mengirimkan sebanyak 700 Proposal dengan jumlah keseluruhan  mahasiswa yang terdaftar sebagai mahasiswa UGM sebanyak 34.000 orang.  Rupanya jumlah fenomenal ini belum di akui mereka sebagai prestasi yang  membanggakan. Menurutnya dengan jumlah keseluruhan mahasiswa yang  segitu, harusnya UGM mampu menyumbangkan lebih banyak proposal setiap  tahunnya.
Minat mahasiswa dalam hal program penelitian semacam PKM ini memang di  akui masih sangat minim. Padahal pemerintah kita melalui Direktorat  Jendral Pendidikan Tinggi memberikan dukungan dengan menggelontorkan  sejumlah dana bagi proposal penelitian yang dinyatakan lulus. Agaknya  mahasiswa kini lebih memprioritaskan Indeks Prestasi yang setiap  tahunnya dicetak dalam kertas putih bernama KHS. Hingga kemudian apatis  terhadap segala bentuk kegiatan diluar kelas. Bukankah ini bertentangan  dengan apa yang dinyatakan bapak pendidikan kita? Belum lagi jika kita  mengingat fungsi mahasiswa atau universitas yang terdiri dari tiga hal,  yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian terhadap masyarakat.
Alih-alih mengutamakan legitimasi pengabdian terhadap masyarakat,  mahasiswa malah cenderung menjadi mahasiswa yang hanya duduk dan diam di  kelas. Artinya ia hanya menjalankan salah satu tugas atau fungsinya,  yakni dalam hal pendidikan.
Ada ribuan universitas yang didirikan pemerintah maupun swasta di  seantero Indonesia. Yang tujuannya memenuhi kebutuhan masyarakat  terhadap pendidikan tinggi. Yang kemudian seiring ketatnya persaingan  pasar tenaga kerja menimbulkan dorongan permintaan terhadap pendidikan  tinggi itu sendiri. Namun meningkatnya kuantitas bukan berarti  berbanding lurus dengan meningkatnya kualitas. Banyak universitas yang  hanya menjual gelar sarjana, tapi lemah dalam bidang pengembangan  kapasitas keilmuan, hingga fungsi universitas itu hanya difokuskan pada  satu aspek yakni pendidikan.
Sedangkan dua aspek lainnya diacuhkan. Padahal salah satu bentuk  eksistensi dari suatu universitas dan mahasiswa di dalamnya juga sangat  dipengaruhi oleh dua hal ini. Yakni program penelitian dan pengabdian  terhadap masyarakat. Dengan munculnya peneliti-peneliti muda dari suatu  universitas tentu rate dari universitas itu akan meningkat, dan untuk  mahasiswa yang bersangkutan tentu diberikan semacam reward dari berbagai  institusi. Meski meraih predikat mahasiswa peneliti itu tidak mudah  tapi agaknya sangat menarik dan berpengaruh terhadap etos kerja dan  pengembangan diri kelak untuk masa depan.
Bukankah penelitian juga merupakan pekerjaan yang bisa membuat aktornya  hidup abadi seperti pekerja seni dan olahraga. Bahkan jika hasil  penelitian kita diterapkan oleh dunia bukankah nama kita akan tercetak  hampir di semua buku pelajaran yang digunakan anak-anak sekolahan hingga  mahasiswa, layaknya Archimedes dengan hukum fisikanya,Einstein dengan  teori relativitasnya, dan Sir Isaac Newton dengan teori gravitasinya. Di  bidang seni, nama-nama abadi seperti Leonardo da vinci, dan Van Gogh  juga tetap abadi bagi para pencinta karya-karya mereka. Apakah kita  tidak mau mencetak nama kita dalam sejarah?
Sekali lagi, mari kita buktikan bahwa kita bukan sekadar mahasiswa  Kupu-kupu yang kerjanya hanya kuliah-pulang, kuliah-pulang. Tapi kita  merupakan mahasiswa konseptor yang memiliki martabat dan dapat  mengharumkan nama bangsa di kancah internasional atau paling tidak  mengharumkan nama daerah di kancah nasional atau lebih kecil lagi  mengharumkan kelas di kancah universitas sendiri. Hingga akhirnya kita  mampu menunjukkan eksistensi kita bahwa kita benar seorang mahasiswa.  ***