Skip to main content

Orangutanku Sayang, Orangutanku Malang

Penulis : Nur Akmal, Foto : Wahyu Fahmi

Kini jumlah mereka tak banyak, hanya tersisa kurang dari 6500 ekor. Meski siklus hidup mereka relatif lama, namun mereka juga berkembangbiak dengan jangka waktu yang lama. Beberapa tahun yang lalu, sekitar 2007/2008, petugas tengah bersiap ke tempat pemberian makan, dengan menu yang setiap hari sama: pisang dan susu. Menu ini diberikan bukan tanpa alasan.
Pisang dan susu diberikantiap hari agar orang utan merasa bosan dan secara instinctive kembali ke hutan yang lebih dalam untuk mencari makanan lain yang secara tidak langsung membawa mereka kembali ke alam liar.

Para petugas berjalan dari Stasiun Pengamatan Orangutan Sumatera (SPOS). Kantor itu cukup besar, terbuat dari papan dengan cat tembok warna kuning hijau bermotif. Slogan bertebaran disetiap sisi, dengan berbagai bahasa. Kebanyakan bahasa Inggris dan Indonesia.

Ada yang bilang orangutan sudah langka. Ada yang menjelaskan morfologi mereka—orangutan Sumatera dan orangutan Borneo, penyebab kelangkaan, boneka orangutan yang digantungkan diatas miniature pohon lengkap dengan sarangnya serta foto-foto eksploitasi hewan primata, berjenis kera besar. Ada slide besar di depan, guna menonton film dokumenter tentang orangutan. Film itu berdurasi setengah jam, awalnya menjelaskan penyebab orangutan langka dan diakhiri dengan peraturan bagi pengunjung saat berkunjung ke tempat pemberian makan.

Dari kantor ke feeding site, makan waktu setengah jam. Jalurnya kebanyakan mendaki, sebagian jalan punya tangga, sebagian tidak. Jalan berliku penuh pohon besar. Tak hanya pohon, semut sebesar laba-laba pun ada. Penuh suara satwa, paling jelas suara gareng—serangga besar seperti lalat atau lebah yang bersuara nyaring.

Tiba di feeding site, petugas bawa ember besar warna hijau berisi susu, dan beberapa sisir pisang dalam tas. Ia terletak ditengah hutan. Dibuat sederhana, papan yang disatukan beberapa keping, dipacak di tengah batang pohon. Seperti rumah pohon tak beratap.

Petugas naik dengan tas dan ember susu tadi, mereka ketuk papan pakai batu. Memanggil orangutan dengan suara. Tak lama seekor orangutan datang, kelihatannya tak sehat. Orangutan itu bernama Abdul. Semacam luka tersirat di kulitnya.

Petugas langsung menangkap Abdul, bawa dia ke Sibolangit. Karena kondisinya tak sehat, Sibolangit tempat biasa orangutan di SPOS melakukan Medical check up. Abdul di visum, ada indikasi bekas luka tembakan senapan angin ditubuhnya. Selain bekas luka tembak, Abdul Juga punya sakit lain yaitu tubercolosis.

Beberapa hari disana rupanya ajal menjemput Abdul, tak tahu pasti apa sebab kematiannya.
***
Sejak berganti fungsi dari pusat rehabilitasi menjadi pusat pengamatan, Taman Nasional Gunung Leuser tidak menerima lagi orangutan, baik itu yang sitaan dari warga ataupun yang warga serahkan sendiri. Hal ini disebabkan karena jumlah orangutan sumatera di kawasan TNGL dianggap overload. Hingga saat ini hanya bertugas mengamati orangutan yang tergolong semi liar yang masih ada saat masih berfungsi sebagai pusat rehibilitasi. Saat ini ada 17 orangutan semiliar sumatera yang ada di kawasan TNGL, 3 diantaranya dibawa ke Sibolangit untuk di rehabilitasi kembali, karena dianggap belum bisa beradaptasi dengan hutan terbuka. Sedang keseluruhannya dikawasan TNGL ada sekitar 6000-6500 ekor.

TNGL sendiri punya tiga Badan Pengelola, disebut Badan Pengelola Taman Nasional (BPTN). BPTN I di Tapaktuan, BPTN II di Kotacane, dan BPTN III di Stabat. Masing-masing BPTN membawahi dua Seksi, BPTN I membawahi Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I dan II, BPTN II membawahi SPTN Wilayah III dan IV, BPTN III membawahi SPTN Wilayah V dan VI. Kebetulan kami saat itu sedang di SPTN Wilayah  V, tepatnya di bukitlawang. Sebab SPTN Wilayah V juga miliki 4 resort atau wilayah pengawasan dan satu Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS).

Selain Bukit lawang, resort yang dimiliki oleh SPTN Wilayah V ada Marike, bekancan, dan bahorok.
Sejak itu pula, TNGL tak memiliki hak untuk melepaskan atau meliarkan orangutan semiliar yang ada. Orangutan yang ada dibiarkan liar dengan sendirinya. Hal ini dapat diketahui apabila orangutan semiliar tak lagi terlihat saat pemberian makan. Ada jenjang waktu bagi mereka yang tak terlihat sebelum di katakan liar.

Tomiran, kepala SPOS, mengatakan orangutan punya jangka waktu 2 tahun sebelum diubah statusnya dari semi liar menjadi liar. “Jika lebih dari 2 tahun tidak terlihat di TPM maka sudah dianggap liar, jika kemudian datang lagi petugas tidak akan beri makan lagi,” ungkapnya.

Orangutan diklasifikasikan sebagai salah satu hewan yang sangat terancam punah, hal ini disebabkan oleh banyak faktor. Pemburuan, perambahan lahan, pengalihan fungsi hutan menjadi perkebunan, dan memang karena sifat alamiah mereka yang berkembang biak dalam waktu yang relatif lama. Seekor orangutan melahirkan anak hingga 7-8 tahun sekali. Mereka tak mau “beranak” jika masih menggendong anak sebelumnya. Sedang mereka hanya melahirkan seekor anak tiap kali melahirkan.
Menurut Tomiran, anak orangutan sangat tergantung dengan induknya. Mereka akan tetap berada dalam pengawasan induknya hingga berumur 8 tahun. “0-2 tahun tetap dengan ibunya, 2 tahun mulai tidak digendong jika tidak bergerak, 4 tahun tidak digendong Cuma pergi bersama-sama, 8 tahun baru bebas dari ibunya, mereka hidup berkelompok jika musim kawin tiba saja,”

Orangutan sangat rentan terhadap penyakit. Hingga petugas benar-benar harus mengontrol segala sesuatu yang berkaitan dengan kesehatan mereka. Salah satu adegan dalam film dokumenter yang diputar di kantor SPOS sebelum pengunjung dipersilahkan berkunjung berisi peraturan bahwa pengunjung dilarang memberi makan pada orangutan. Serta meninggalkan barang yang mereka bawa/bekas makanan didalam hutan. Karena takut kemudian akan dipungut orangutan yang akan menularkan mereka berbagai penyakit.

Namun tak bisa dipungkiri, tak sedikit turis yang memberi makan orangutan. Biasanya bagi mereka yang melakukan tracking kedalam hutan—bukan hanya melihat di tempat pemberian makan. Kebanyakan turis yang melakukan tracking ialah turis mancanegara, untuk melakukannya mereka harus menggunakan jasa tour guide. Guide ini mudah didapat, karena mereka bekerjasama dengan TNGL dalam mengelola objek ekowisata yang gaungnya sudah mendunia tersebut.

Saat berbincang dengan seorang guide yang sedang tawarkan jasanya kepada kami, sambil memperlihatkan dokumentasi mereka berupa foto, ada satu foto yang membuat kami bertanya. Foto itu memperlihatkan seorang turis asing yang sedang memberi makan orangutan langsung dengan mulutnya. hal ini tentunya berdampak negative bagi orangutan, selain dari segi kesehatan jika si turis memiliki penyakit, dari segi psikologi, prilaku orangutan yang sering diberi makan oleh manusia akan berubah. Bisa bisa mereka tidak kembali liar seperti yang diinginkan bahkan bisa menjadi jinak.

Sebagaimana diungkapkan Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V, Sudiro SP, “Sebagaimana konsep yang diterapkan, yakni konservasi, artinya tidak boleh ada interaksi dengan manusia karena takut terjadi perubahan prilaku dengan mereka. Tapi tak bisa dipungkiri banyak Guide yang memberikan makan orangutan agar turis yang dibawanya dapat melihat orangutan dari dekat,” ungkapnya.

Dengan luas hutan yang besar, yakni keseluruhannnya mencapai 1.094.629 ha (buku saku menuju TNGL) yang terbentang di provinsi Sumatera utara dan Nanggroe Aceh Darussalam. Serta 10 jalur Trail yang tersedia petugas tak mampu mengontrol semua pengunjung yang jumlahnya jauh lebih banyak dari petugas itu sendiri. “Petugas yang cuma 27 orang, mana bisa kita control mereka semua, belum lagi ada yang kemah, mana mungkin kita ikut sama mereka,” ungkap Sudiro.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Sekretaris Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI), Eddy Hidayat saat ditemui di kantornya, ia mengakui masih banyak anggotanya yang memberi makan orangutan. Padahal kebijakan HPI sendiri melarang tegas hal tersebut bahkan tertulis dalam buku saku/panduan bagi pengunjung. “Ya namanya manusia kan payah dibilangi,” jelasnya.

Namun dalam hal ini Eddy mengaku “orangnya” kerap kali mengalami dilematis antara “penyelamatan” orangutan atau “penyelamatan” diri sendiri. “Terkadang” lanjutnya “ada keterpaksaan kita membawa makanan, sebagai jaga-jaga kalau-kalau ketemu dengan orangutan bernama Minah, ia akan menyerang kalau gak di kasi makan,” ujarnya.

Minah adalah salah satu nama orangutan yang terkenal seantero bukit lawang, minah orangutan yang agresif, ia sudah tinggal lama di bukit lawang, sejak masa rehabilitasi. Minah adalah orangutan sumatera yang disita dari penduduk dari kecil hingga kini sudah berumur 30 tahun, bahkan sudah punya 2 anak yang juga tinggal di Hutan TNGL, Septi dan Juli.
***
Suatu hari kami singgah di warung kopi, mereka bilang ini warung kopi jablay. Yang punya namanya mulyadi, dia tinggal sangat dekat dengan hutan Tanam Nasional Gunung Leuser (TNGL). Kami duduk di warung, selain menyediakan minuman panas, pemilik warung juga menyewakan ban untuk tubbing bagi turis. Warung terbuat dari tepas, dengan atap pelepah pohon kelapa. Dua tempat duduk untuk tamu minum dan meja panjang yang bersatu dengan bangkunya. Kami pesan teh panas dan teh botol.
Kami tanya tentang warga yang punya lahan berbatasan langsung dengan kawasan TNGL, kami dengar konflik antara orangutan dan warga yang miliki lahan kerap terjadi. Hal ini juga mereka jelaskan sendiri di baliho besar yang mereka tempelkan di kantor SPOS.

“Sudah dari dulu kalau masalah konflik itu,” ujar Rahmat, salah seorang warga Bukit lawang.

“Biasanya kalau sedang musim buah, buah durian biasanya,” tambahnya.

Saat musim buah, orangutan memang kerap masuk lahan warga, mereka ambil buah durian dan makan diatas pohon. Kadang buat sarang juga.

Rahmat bercerita “Dulu, ada orangutan namanya abdul, dia gak tinggal di hutan, tapi sering turun ke ecolodge pun,”. Abdul cukup terkenal dikalangan warga, mereka bilang dia mau turun ke jalan dan ambil makanan warga bahkan masuk ke rumah dan restoran.

Batas Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dengan lahan warga berjarak 0 M, artinya berbatasan langsung dengan public land. Hal ini mungkin menjadi sebab seringnya orangutan masuk kawasan lahan warga. 

Kepala seksi pengelolaan Taman Nasional Wilayah V, Sudiro juga akui hal ini sebenarnya tidak boleh, tapi menurutnya hal ini disebabkan karena pertumbuhan warga yang semakin pesat sehingga keperluan mereka akan lahan juga semakin bertambah. “Dengan adanya perkebunan, warga yang merasa lahan mereka terdesak semakin lama akan semakin mendekati kawasan, kita tidak berhak melarang,” jelasnya kepada Tim Teropong.

Salah seorang warga awalnya mengaku kecewa dengan seringnya orangutan yang masuk ke lahan, “Namanya kita hidup dari hasil buah itu,” ungkapnya. Selama ini pihak TNGL dalam menanggapi hal ini bekerjasama dengan warga mengusir orangutan yang masuk kelahan warga, tapi tidak dengan cara penembakan.

Menurut mereka, tidak ada pihak yang patut disalah dalam hal ini, sebab meskipun namanya “orang” utan mereka tetap pada dasarnya merupakan hewan. Sebagaimana diungkapkan oleh Arsyad pemandu dari TNGL yang diutus untuk menemani kami. “Mungkin mereka lihat buah yang jauh dari kawasan, lantas mereka datangi untuk dimakan, namanya juga orangutan,” tandasnya.

Kejadian ini juga tak luput dari perhatian pemerintahan, M Samin Pelawi, kepala desa  Timbang lawan yang banyak dari warganya memiliki lahan yang berbatasan langsung dengan TNGL juga menyayangkan kejadian ini. Namun menurutnya itu bukan semata-mata kesalahan satu pihak yakni TNGL. Pria yang dulunya merupakan pramuwisata ini berpendapat, seharusnya semua pihak bekerja sama dalam menyelesaikannya. Dan sebagai warga yang  memiliki lahan juga harus lebih menjaga lahannya, baginya orangutan sama sekali tidak bersalah malah orangutan lah yang membantu perekonomian warganya atas fungsi mereka sebagai objek wisata.

“Sebagai pemilik lahan seharusnya kita menjaga apa yang kita miliki, jangan asal main tembak saja. Kita sering tidak sadar akan pentingnya mawas tersebut. Secara tidak langsung mereka juga yang memberi makan warga sekitar,” ungkap pria yang juga pencinta hewan tersebut.

Namun baginya pramuwisata (tour guide) lah yang lebih bertanggung jawab atas semua kejadian terhadap orangutan bukan hanya kepada warganya saja. “Sebab yang setiap harinya berdekatan dengan orangutan adalah para tour guide,”

Atas rekomendasi nama yang ia berikan kami lantas mengunjungi warga, seorang nenek yang sejak dulu miliki lahan yang ditanami pohon durian. Ia bilang dulu lahan itu diberikan oleh kepala desa kepada suaminya, seddik—kini sudah meninggal dunia—dan hingga kini masih berbuah dan tengah diurus oleh anaknya.

“Ya memang banyak mawas (orangutan) yang ngambil buahnya, bikin sarang lagi diatas. Bukan Cuma makan durian tapi juga matahin ranting,” ungkap nek Juli (70).
Namun menurutnya dia tidak begitu merasakan kerugian dengan rusaknya pohon durian yang orangutan ambil tersebut. Sebab pohon durian yang dimilikinya cukup banyak, meskipun diambil orangutan tapi keuntungannya masih terasa. “Karena banyak pohonnya jadi tak terasa kali durian yang rusak itu, tetap ada untungnya,” tambahnya lagi.
(Nur Akmal, Vilisya Bening Hsb, Ratna sari, Khairunnisa)

Popular posts from this blog

Apa yang Dihasilkan Politik Kampus?

Bicara soal politik, rasanya ta k sedikit orang yang ingin terjun. Entah apa sebabnya, namun hal ini sudah menjadi rahasia umum. Meskipun persentase kemenangan kecil, tetap saja banyak calon legislatif yang rela mengeluarkan sedikit uang untuk kampanye. Tak hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau kalah dalam hal berpolitik. Politik masuk ke Universitas-Universitas. Spanduk bertebaran di gedung-gedung, mengajak masyarakat kampus untuk memilih dan mencoblos tuannya. Mahasiswa yang menilai dirinya sebagai aktifis cenderung terjun kedalam politik kampus. Dan berbondong-bondong mendirikan serta menjalankan partai politik mereka sendiri. Alasan yang dikemukakan tentunya alasan yang sama seperti yang kita dengar dari politikus-politikus handal di televisi. "Memperjuangkan aspirasi rakyat (dalam hal ini mahasiswa) ". 

Tak Ada Lagi Topi Kerucut dan Kalung Petai

Oleh: Nur Akmal IKUTI MPLS: Peserta didik baru SMK Negeri 1 Medan mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Seluruh peserta didik baru tak lagi memakai atribut berbau perploncoan sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa (Foto : Nur Akmal) Hujan  sejak subuh masih menyisakan awan gelap dan udara yang dingin, namun tak menggoyahkan semangat siswa-siswa baru untuk hadir pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Pakaian mereka putih bersih, rapi dan tampak masih baru. Mereka berbaris rapi menantikan satu persatu aktivitas Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang tahun ini dikendalikan sepenuhnya oleh guru. "Selamat datang di SMK Negeri 1 Medan, dalam sesi ini kita akan membahas budaya dan tata terbit sekolah," demikian SJ Simamora, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat dan Industri menyapa para peserta didik baru di lapangan SMK Negeri 1 Medan yang diberi tenda agar siswa tak terkena hujan.

Pagar Api dan Berita Titipan Media Massa

Jika dulu sering kita lihat dalam suatu scene sebuah film yang menampilkan gambar blur pada suatu merek dagang yang tanpa sengaja tertangkap kamera. Kini agaknya tak banyak lagi kita temui, malah secara terang-terangan pelbagai merek dagang terpampang jelas di hampir setiap scene film, bahkan merambah pada media massa seperti suratkabat. Iklan memang dibolehkan, tapi pagar api perlu diperhatikan.