Skip to main content

Restu

Pagi itu matahari cerah memancarkan sinarnya yang hangat ke permukaan bumi. Cuaca yang bagus untuk bersantai, angin masih terasa sedikit sejuk jika menyentuh permukaan kulit karena malamnya hujan gerimis. Dedaunan pohon di teras rumah ikut bergemirisik seakan merasakan kebahagiaan yang aku rasakan saat ini. 

Betapa indahnya dunia bila kita mendapatkan apa yang sedari dulu kita inginkan. Menikmati pagi yang teduh, dengan segelas teh hangat buatan Istri tercinta sambil menyaksikan ia sedang begumul dengan anak kesayangan bersama-sama dengan ibuku, itu sebuah cita-cita. Cita-cita yang ingin ku raih, dan akhirnya berhasil ku raih. Alangkah harmonisnya pagi itu. 

"Awas jatuh Andi,” teriak Sasha pada anak laki-lakinya yang masih berumur 1,8 tahun. Sepertinya anak itu akan jadi seorang atlet lari, sebab luar biasa lasaknya. Berlari kesana kemari, melompat, memanjat tak peduli. Sementara sang ibu bersungut-sungut mengejar kemana pun ia pergi. 
 
“Hayo mau kemana?” sergah neneknya Andi. Andi pun tertawa riang. “Sudah jangan terus melamun bang, cepat minum tehnya dan berangkat kerja.” Kata Sasha. Membangunkan ku dari lamunan panjangku seputar kebahagian yang kini tengah aku rasakan. Aku tengah merasakan kebahagian yang diberikan tuhan padaku, melalui kalian. Melalui Andi kecil yang semakin hiperaktif. Melalui manisnya teh buatanmu, melalui teduhnya pagi ini, dan yang terpenting melalui keakrabanmu dengan ibu ku tercinta. Kata orang jika seorang wanita tinggal dengan mertuanya setelah menikah akan berakibat kapal terbelah dua. Tak pernah bisa ada keakraban yang harmonis. Tapi kali ini aku merasa lain, aku bahagia.


“Iya, sudah selesai koq, Ayah berangkat dulu ya Andi.” Kataku mengucap salam pada anak semata wayang ku itu.


Aku mengecup kening Sasha, “Assalamua’laikum” terus aku berlanjut ke Ibu, mencium tangannya.


“Aku kerja dulu mak,”


“Hati-hati,” hanya itu jawabannya. Ibu memang orang yang tak banyak cerita. Ia hanya sesekali bersuara. Ia lebih suka diam. Begitulah ibuku. Meski ia tak suka, ia tetap diam. Itu terkadang yang membuat sulit. Tapi jika di minta pedapat pasti ia bicara, jujur dan apa adanya.


Aku berjalan menuju mobil Toyota Kijang milikku. Model lama, aku beli second dari seorang teman. Namanya Sandi. Ku buka pintu mobil dan masuk kedalam, menyalakan mesin dan merapikan kaca spion. Dari kaca spion aku sempatkan melihat keluarga yang sangat aku sayangi itu. Ibu yang menggendong Andi, tampaknya ia baru saja dibuat tertawa oleh kemungilan anak itu. Ia menyuruh Andi dadaaa  pada ku.
Aku tersenyum dan mulai berjalan. Melewati dedaunan yang sejak tadi bergemerisik berbelok ke kanan keluar dari pagar, melaju melewati rel kereta api yang tidak berpalang di jalan Ampera Raya, terus ke arah kiri dari Glugur, dari simpang empat aku ambil kanan ke jalan Adam Malik Hingga melewati bundaran yang jika terus aku akan sampai ke Griya, namun aku belok kiri. Melewati bundaran SIB kearah monumen Tugu Patimpus. Dari situ aku terus menerobos jalan menuju tempat kerja ku dengan mobil separuh baya yang dulu milik temanku ini.


Sebentar, tadi aku bilang mobil ini aku beli dari seorang teman namanya Sandi bukan?, bicara soal Sandi, aku ingat kenapa ia jual mobil ini. Beberapa bulan yang lalu ia datang kerumahku. Sungguh suatu kehormatan menerima kedatangan teman lama ku ini. Ia bercerita banyak hal. Tapi yang membuatku agak risih ia bercerita soal pribadinya, soal rumah tangganya. Kenapa hal sepribadi itu ia ceritakan? Pikirku. Aku bukan tipe pendengar yang baik. Makanya aku tidak membuka jasa curhat. Aku agak risih jika ada yang mengeluh. Karena itu aku tidak pernah bercita-cita menjadi psikiater.


Ia bercerita dirinya selalu bertengkar dengan istrinya. Padahal ia baru saja menikah setengah tahun yang lalu, terhitung saat dia bercerita padaku. Ia tinggal dengan orangtua dan istrinya. Dalam satu rumah.


“Kau tahu, Fan? Payah kali akurnya mereka berdua tu.” Katanya pakai logat khas Medan.


“Memangnya ngapain aja mereka?”


“Ribut terus setiap hari. Ada aja masalahnya.” Ia melanjutkan.


Itu sich derita loe San kataku dalam hati.


Ia banyak cerita tentang pertengkaran ibu dan istrinya itu. Saat itu aku belum menikah aku belum begitu mengerti tentang kehidupan berumahtangga.


“Kenapa bisa begitu?” tanyaku tanpa sedikitpun antusiasme, penyakit ‘bukan pendengar yang baik’ ku kambuh.


“Itulah boy, kemarin tuh sebetulnya aku gak dikasi nikah sama si Nani itu, si Nani pun tak dikasi sama Bapaknya,” lanjutnya “Tapi kami ngotot juga, alhasil aku pun sering kali berantam sama dia,”


“Oh ya? Jadi masalahnya Restu.” Kataku. Aku tidak begitu mengerti tapi rasanya aku pernah mengalami hal yang sama seperti ini. Sekelebat pikiranku kembali ke dua tahun silam.
***
“Mamak tak suka!”


“Kenapa  Mak? Kan dia baik,”


“Rasanya ada sesuatu yang mengganjal di hati kalau kau sama dia nantinya,” kata ibuku.


‘Hah? Penilaian macam apa itu? Sangat tidak subjektif’ pikir ku.


“Ya sudah, kita lihat dulu lah Mak. Nanti aku bawa lagi dia,” kataku.


Aku tak bisa membawa anak gadis orang itu setiap malam minggu ke rumah, aku juga bukan tipe orang yang melalak setiap malam. Aku lebih senang di rumah menghabiskan waktuku dengan menonton televisi atau bermain laptop. Paling-paling aku membawanya sebulan sekali. Tapi karena hubungan sudah semakin dekat dan rasanya aku ingin segera menyusul teman-temanku yang sudah menikah. Frekuensi pertemuan pun ditingkatkan. Ini juga strategi agar ibuku luluh dengan pilihan yang satu ini.


Suatu hari saat sedang duduk santai diruang tamu, aku berkata pada ibu.


“Mak, besok aku bawa dia kesini ya,”


“Bawalah,”


Besok adalah Hari Raya Idul Fitri, tentu aku tidak mau kehilangan moment seperti itu. Di hari yang akbar itu aku coba untuk kembali meyakinkan Ibuku. Tentang pilihanku, tentang wanita yang ku idamkan selama ini.
Saat takbir berkumandang di pagi hari, aku bersiap-siap ke Mesjid untuk melaksanakan Shalat Ied. Sajadah sudah diselempangkan, peci hitam pekat sudah di tancapkan. Kami berjalan beriringan sekeluarga. Tiba-tiba ibu bilang “Fandy, Jadi kau bawa si Fitri?”


“Jadilah mak,” perasaan tidak enak tiba-tiba menohok jantungku, sepertinya akan ada suatu pengakuan yang tidak menyenangkan.


Ba’da Shalat Ied, dan sungkeman aku langsung bergegas ke rumah Fitri, kekasihku. Ku bawa dia kerumah, setelah temu ramah beberapa jam aku antar dia pulang dan kembali lagi kerumah. Ibu memanggilku.


“Sudah lah, cari yang lain saja,”


“Hah? Memangnya kenapa mak?” aku agak kesal.


“Mamak rasa kau tak cocok sama dia, mamak cuma mau yang terbaik untuk kau,”


Aku tak bisa berkutik, terpaksa aku harus mencari alasan untuk memutuskan Fitri, untungnya Fitri mengerti alasanku. Ia wanita yang baik, tapi aku tak mau menyakiti ibuku, ia jelas lebih baik. Aku ingat pesan ayah sebelum ia pergi meninggalkan kami ke Alam sana. Ingat, tidak ada yang namanya Mantan mamak, kalau mantan istri itu ada,. Itu sama saja aku berjanji pada ayah sebagai anak laki-laki pertama dan satu-satunya di keluarga untuk tidak menyakiti ibu.


Setelah Fitri ada lagi Suci, aku juga kenalkan dia sama ibu. Tapi ibu juga menolak. Setelahnya Ratna tetap saja di tolak.


“Mak, gimana sebenarnya kriteria yang mamak cari, tidak ada yang sempurna di dunia ini,” sudah habis rasanya kesabaranku menanti jodoh yang tak kunjung datang. Padahal tahun depan aku sudah kepala tiga. Kapan lagi aku mengeyam manisnya berkeluarga.


“Maafkan mamak, mamak cuma mau yang terbaik,”


“Bagaimana kalau Adiknya Ustad Ahmad mak, aku kenal dia sudah lama,” kataku menawarkan. Siapa tahu mendengar nama Ustad Ahmad ibuku setuju, lagi pula aku cukup dekan dengan Rina Khairani, adiknya. Ku pikir ibuku orangnya ingin mencari menantu yang sholeh dan berjilbab.


“Tidak juga, dia agak aneh sifatnya,”


‘Ya ampun, apa lagi ini.....’ pikirku.


“Baiklah mak, pokoknya aku cari yang mamak suka dan aku suka juga lah. Aku Cuma berharap restu mamak.”


Tak lama setelah itu barulah aku dikenalkan dengan Sasha oleh temanku. Ia bukan dari Medan, tapi dari Pekan Baru. Ia baru pindah karena ayahnya di pindah tugaskan. Usia kami cukup harmonis, hanya terpaut 2 tahun. Maksudnya aku dua tahun lebih tua dari dia. Ideal bukan? Dan kamipun saling memadu kasih. Tak langsung ku perkenalkan pada ibu, biarkan aku menikmatinya dulu sebelum ditolak lagi, pikirku sinis.
Setelah ku rasa cukup, aku perkenalkan Sasha dengan ibu. Raut mukanya seperti berbeda dari yang sebelum-sebelumnya. Ia agak sumringah, tapi ia menyembunyikannya. Ia agak menjaga Image.
Setelah ku antar Sasha pulang, ia panggil aku ke ruang tamu. Sepertinya serius.


“Seriuslah sama dia,”


Ibu memang aneh, entah dari mana ia menilai seseorang. Ia seperti punya kekuatan mistis yang bisa melihat masa depan orang. Atau mungkin melihat sifat seseorang hingga jauh kedalam hanya dengan melihatnya pada pandangan pertama. Itu hebat.


Beberapa bulan setelah itu, setelah aku sering membawa Sasha ke rumah, dan Sasha semakin lihai mengait hari ibu tercinta ku itu dengan segala keramahannya. Ibu mengajakku melamar Sasha. Tentu dengan senang hati aku turuti, ini yang aku tunggu-tunggu selama ini.


“Kita lamar dia, bawa mamak ke rumah keluarganya,”


Betapa bahagianya aku saat ibu bilang begitu. Ini benar-benar serius. Dan lagi pula aku tidak pernah merasa secocok ini sebelumnya dengan seorang perempuan. Apa insting ibuku ini benar-benar tepat. Ya.....aku harap begitu.


Hingga hari yang bersejarah itu tiba, kami di ikat dengan tali pertunangan dan tak lama setelahnya menaiki pelaminan indah. Foto sana-sini, ganti baju, para undangan yang beramai-ramai, tamu keluarga dari kampung. Ramai sekali. Ibu yang mempersiapkan segalanya, ia bahkan turut serta dalam periasan Sasha, tak senang jika semuanya dilakukan bidan pengantin. Dalam keramaian yang menyesakkan itupun, aku bahagia. Karena aku telah dapat restu darinya.
***
Tak terasa sore sudah tiba, waktunya pulang kerja. Aku sudah siapkan barang-barang dari kantor. Sempat ku lirik foto yang ku pajang di meja kerja. Ada aku, Sasha, Andi dan Ibu. Sangat harmonis. Aku tak sabar rasanya untuk pulang kerumah, memeluk andi, mengecup kening Sasha dan mencium lembut tangan Ibuku. Mereka orang-orang yang begitu aku cintai.


Kembali ku jalankan mobil menuju jalan raya, membelok ke kiri dan ke kanan, dengan kecepatan standar. Tiba dirumah, mengetuk pintu dan memberi salam. Sasha datang, membantuku melepas dasi, mengantarku duduk di kursi. Aku cium tangan ibuku. Ku gendong Andi kesayanganku. Lagi, teh manis hangat di sore hari buatan istriku tercinta.


Cahaya jingga sore itu sudah agak meredup, di atasnya sudah terlihat awan biru tua menjelang malam, sebentar lagi adzan Marib berkumandang. Bintang sudah mulai bertebaran, bedug sudah dimulai, pertanda masuk waktu shalat.


“Shalat dulu,” kata ibu.


“Iya mak,”


Kami shalat berjamaah, memanjatkan do’a bersama kepada Sang Khalik, Sang pencipta segala makhluk, pencipta kebahagian dan kesengsaraan yang diterima makhluknya. Bintang-bintang yang bertebaran bersinar terang di balik lembutnya goresan tipis awan hitam yang agak menyembunyikan sinar bulan. Alangkah bahagianya hidup yang Kau berikan padaku, sekarang aku percaya apa yang Sandi katakan. Terima kasih atas takdir yang telah Kau berikan Ya Allah. Dan terima kasih atas restumu Mak.

Popular posts from this blog

Apa yang Dihasilkan Politik Kampus?

Bicara soal politik, rasanya ta k sedikit orang yang ingin terjun. Entah apa sebabnya, namun hal ini sudah menjadi rahasia umum. Meskipun persentase kemenangan kecil, tetap saja banyak calon legislatif yang rela mengeluarkan sedikit uang untuk kampanye. Tak hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau kalah dalam hal berpolitik. Politik masuk ke Universitas-Universitas. Spanduk bertebaran di gedung-gedung, mengajak masyarakat kampus untuk memilih dan mencoblos tuannya. Mahasiswa yang menilai dirinya sebagai aktifis cenderung terjun kedalam politik kampus. Dan berbondong-bondong mendirikan serta menjalankan partai politik mereka sendiri. Alasan yang dikemukakan tentunya alasan yang sama seperti yang kita dengar dari politikus-politikus handal di televisi. "Memperjuangkan aspirasi rakyat (dalam hal ini mahasiswa) ". 

Tak Ada Lagi Topi Kerucut dan Kalung Petai

Oleh: Nur Akmal IKUTI MPLS: Peserta didik baru SMK Negeri 1 Medan mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Seluruh peserta didik baru tak lagi memakai atribut berbau perploncoan sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa (Foto : Nur Akmal) Hujan  sejak subuh masih menyisakan awan gelap dan udara yang dingin, namun tak menggoyahkan semangat siswa-siswa baru untuk hadir pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Pakaian mereka putih bersih, rapi dan tampak masih baru. Mereka berbaris rapi menantikan satu persatu aktivitas Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang tahun ini dikendalikan sepenuhnya oleh guru. "Selamat datang di SMK Negeri 1 Medan, dalam sesi ini kita akan membahas budaya dan tata terbit sekolah," demikian SJ Simamora, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat dan Industri menyapa para peserta didik baru di lapangan SMK Negeri 1 Medan yang diberi tenda agar siswa tak terkena hujan.

Pagar Api dan Berita Titipan Media Massa

Jika dulu sering kita lihat dalam suatu scene sebuah film yang menampilkan gambar blur pada suatu merek dagang yang tanpa sengaja tertangkap kamera. Kini agaknya tak banyak lagi kita temui, malah secara terang-terangan pelbagai merek dagang terpampang jelas di hampir setiap scene film, bahkan merambah pada media massa seperti suratkabat. Iklan memang dibolehkan, tapi pagar api perlu diperhatikan.