Badan Pembangunan PBB bulan November lalu baru saja merilis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) untuk 187 negara. Perilisan itu menunjukkan IPM negara kita berada pada posisi ke 124 dengan nilai 0,617. Jauh dibawah Singapura sebagai juara tahun ini (untuk kawasan negara ASEAN), IPM negara industri tersebut bernilai 0,866 sedang negeri jiran Malaysia berada pada posisi ketiga 0,761. Namun sebagai bangsa yang rajin “bersyukur” kita harus bersyukur karena nilai IPM kita meningkat dari tahun sebelumnya—meskipun hanya 0,004.
Tentu kita bertanya-tanya, negara yang luas daratannya 1.922.570 km2 serta jumlah manusianya yang menurut sensus tahun 2010 sebanyak 237.556.363 jiwa ini terus berada di bawah negara yang hanya sebesar Singapura. Pembangunan gedung-gedung pencakar langit terus digalakkan. Sementara manusia diterlantarkan dalam debu-debunya.
Boleh dikatakan pembangunan yang tengah kita lakukan kehilangan basis kemanusiaan, sebab pembangunan manusia sendiri tengah terjepit diantara kompetisi politik pencari kekuasaan. Iming-iming selalu dijadikan janji belaka, jikapun benar dilaksanakan, praktek-praktek pengeratan selalu berbaur dalam proyek dan menjadikan proyek tidak sebagaimana mestinya. Lihat saja sebuah jembatan yang harusnya mampu bertahan seratus tahun bisa runtuh hanya dalam beberapa tahun saja.
Mental masyarakat kita memang tergolong bobrok, pantang terpancing. Bak kata bang napi, “Kejahatan bukan hanya berasal dari niat pelaku, tapi juga karena ada kesempatan.”. Hingga berakhir pada kualitas dan kapasitas serta daya saing yang rendah. Namun bukan berarti hal itu tidak bisa diubah, perlu ada pergerakan dari diri sendiri dan bantuan orang lain. Sebab Tuhan tidak akan merubah suatu kaum jika kaum itu tidak merubah diri mereka sendiri terlebih dahulu.
Sebuah perubahan kecil dari diri masing-masing tentu akan sangat berperan. Kedepannya barulah kita merubah pola pikir manusia kita. Terutama pada generasi muda, agar jangan sampai terjebak pola pikir yang terlalu sempit soal berkarya dan bekerja. Masih banyak diantara pemuda kita yang masih berpikir bahwa pekerjaan yang paling hebat dan paling berpotensial hanyalah Pegawai Negeri. Padahal banyak yang bisa kita lakukan, hal ini perlu disisir yang dapat dilakukan dalam proses-proses pembelajaran di kampus maupun sekolah. Merubah pola pikir kita bahwa pekerjaan di negara ini bukanlah hanya pegawai negeri Sipil.
Selain itu daya saing juga hendaknya ditingkatkan secara merata, maksudnya tidak ada pemusatan dalam pembangunan. Minimalisasi kesenjangan pembangunan terhadap pusat kota dan daerah perlu dilakukan. Pemerataan pembangunan layaknya perbaikan infrastruktur tentu akan berpengaruh pada ketertarikan investor ke Indonesia. Dengan pemerataan pembangunan diharapkan pemerintah juga mampu membangun (baca: meningkatkan) kualitas SDM daerah. Orang desa dan ibukota haruslah memiliki peluang yang sama menuju kesuksesan, serta berbagai pembentukan karakter yang diusung pendidikan karakter.
Sebagai penutup, meskipun kita sekarang masih berada pada posisi yang rendah dalam IPM, marilah kita bersama-sama meningkatkannya demi meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Kita boleh kala di start namun kita harus bisa menang di finish.
Nur Akmal, Mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris, FKIP, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.