Skip to main content

Bahasa Indonesia Di Mata Kita dan Dunia

Rabu lalu, di Cagayan de Oro Pilipina, Herminio B. Coloma, Jr. Sekretaris Kepresidenan Pilipina untuk Bidang Komunikasi membuka Forum Media Brunei-Indonesia-Malaysia-Philippines/East Asia Growth Area (BIMP-EAGA) dengan bahasa Indonesia, hal ini dianggap sebagai sebuah peluang bagi Bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa resmi kedua di ASEAN. Sebagaimana dilansir berita antara bulan lalu.
Penggunaan bahasa Indonesia ini dianggap efektif karena setidaknya dapat dimengerti oleh empat negara anggota ASEAN. Di lain pihak, Vietnam dengan terang-terangan mendeklarasikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kedua mereka setelah Bahasa Vietnam, dan disetarakan dengan bahasa resmi lain seperti Jepang, Inggris, dan Prancis.

Bahasa Indonesia tenyata memiliki popularitas yang tinggi di negara asing, dan negara asing pun memiliki apresiasi yang tinggi pula terhadap bahasa resmi kita itu. Bahasa Indonesia bukan hanya menjadi bahasa persatuan dalam Negara Indonesia saja, namun juga berlaku untuk berbagai negara.

Para pemuda Indonesia tahun 1928 pernah menggelar sumpah bahwasanya pemuda Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan tersebut. Namun apresiasi dan junjungan yang tinggi terhadap bahasa Indonesia nyatanya kini lebih dirasakan di negara-negara asing. Negara kita dengan orang-orang di dalamnya barangkali sudah lupa dengan isi dari sumpah pemuda tersebut.

Sebagaimana sumpah pemuda 28 Oktober 1928, lahirlah kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, juga sebagai jati diri bangsa serta alat pemersatu yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia yang beragam budaya dan suku—dengan bahasa daerah mereka masing-masing—hingga dapat berkomunikasi dengan lancar dari satu orang ke orang lain yang berbeda suku pula.

Namun mirisnya, bahasa Indonesia tidak lagi menjadi populer di kalangan masyarakat, terutama muda-mudi Indonesia saat ini. Malah Bahasa Indonesia yang benar terdengar begitu kolot di telinga mereka. Bahasa Indonesia kini mulai ditinggalkan perlahan-lahan. Dipaksa gulung tikar oleh bahasa gaul atau bahasa alay yang kini tengah menggurita.

Bahasa kini banyak yang dipelintir, baik itu cara membaca atau hurufnya. Misalnya kata aku atau saya sekarang lebih populer dengan kata gue, atau frasa apa saja boleh—yang kini tengah hangat di kota Medan sebagai jawaban dari apa saja yang ditanya—dipelintir menjadi apa aja boyeh. Frasa ini dianggap sebagai suatu jawaban paling sederhana bagi kaula muda karena tidak mau berpikir rumit, sebagaimana ditulis Yulhasni penulis spesial bidang sastra dan budaya. Kata kita juga sering digunakan untuk menyatakan kami, padahal kami dan kita memiliki makna yang berbeda.

Jika diperhatikan terkadang kita juga malah sering dibuat bingung oleh tindak tanduk para pemuda saat ini. Di kalangan mahasiswa yang notabene seorang intelektual sekalipun,  seseorang yang menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar terkadang sering ditertawakan, misalnya penggunaan kata kamu atau anda dalam suatu pembicaraan non formal. Seolah-olah kata itu begitu tabu ditelinga mereka.

Kehidupan Sehari-hari 
Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari setidaknya dapat membantu kita dalam memiliki atau menggunakan retorika yang baik jika kemudian kita menjadi orang yang bekerja di instansi yang mengharuskan kita berbicara di depan umum. Kebiasaan itu bisa terlihat dari masih banyaknya mahasiswa yang tidak lihai dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam menyampaikan presentase perkuliahan di kelas. Hal ini kebanyakan disebabkan karena kurangnya kebiasaan dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik di kehidupan sehari-hari. Dapat dibayangkan bangsa kita kelak jika bahasa yang benar tidak lagi menjadi sesuatu yang diwajibkan.

Padahal bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara berfungsi sebagai pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa. Namun tetap saja tidak begitu dihiraukan. Hingga diakui oleh Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Balai Bahasa Medan, Prof. Dr. Amrin Saragih, MA bahwa pemakaian bahasa Indonesia di ruang publik banyak kesalahan. Hal itu karena dipengaruhi bahasa asing seperti Inggris. "Kita terlarut-larut dengan bahasa asing, sehingga sering bertentangan karena campur aduknya bahasa Indonesia dan asing," katanya. (Analisa, Jum’at 11 November 2011)

Tak hanya itu, perihal pemerosotan nilai-nilai kecintaan terhadap bahasa juga dapat dilihat dari banyaknya jumlah mahasiswa yang mengambil jurusan bahasa Indonesia di sebuah universitas. Di universitas tempat dimana penulis menuntut ilmu contohnya, dari suatu rentang semester mahasiswa yang memilih jurusan bahasa Inggris lebih banyak dibanding jurusan bahasa Indonesia. Mahasiswa jurusan bahasa inggris dalam satu semester rata-rata berjumlah +  560 orang, sedangkan jurusan bahasa Indonesia + 320 orang
Banyak mahasiswa yang lebih memilih Bahasa Inggris sebagai program studi tidak lain dan tidak bukan karena popularitas bahasa tersebut. Sebaliknya mahasiswa yang memilih Bahasa Indonesia dianggap orang bodoh yang otaknya tak mampu mencerna pelajaran eksak seperti Fisika atau Matematika, hingga terpaksa harus berkecimpung dalam dunia Bahasa Indonesia. Mahasiswa Bahasa Indonesia sering pula dianggap gagal karena belajar bahasa asli mereka yang seharusnya sudah mereka pahami benar. Sungguh sebenarnya merupakan pemahaman yang salah. Dalam hal ini saya berbicara soal jurusan Bahasa Indonesia, bukan Sastra Indonesia.

Ironisnya mahasiswa jurusan bahasa Indonesia sendiri malah ikut-ikutan memelintir bahasa itu. Seolah-olah apa yang kebanyakan orang katakan diatas ada benarnya. Kurangnya kecintaan seseorang terhadap bahasa sendiri sedikit banyaknya tentu akan berpengaruh terhadap kelangsungan bahasa itu kelak. Padahal sepatutnya kita bangga memiliki dan menggunakan bahasa milik sendiri ketimbang menggunakan bahasa negara lain karena tidak memiliki bahasa “pribadi”. Contohnya Singapura, Australia bahkan Amerika Serikat. Mereka menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi, hingga kemudian memunculkan bagian-bagian dari bahasa inggris sendiri, yaitu American english, atau British.

Meminjam apa yang dikatakan oleh Fidelis Regi waton, Bahasa Indonesia jika mengalami penyalahgunaan retorika, pemiskinan kosakata dan primitivisme tata bahasa secara terus menerus bukan tidak mungkin akan terhapus dan tenggelam layaknya bahasa daerah—yang kian hari juga kian tenggelam terutama di daerah perkotaan. Tenggelam dikarenakan kalah popularitas terhadap bahasa gaul dan bahasa asing.

Sungguh miris rasanya jika kita enggan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sementara orang-orang dari negara lain tengah semangat mempelajarinya bahkan menjadikannya sebagai bahasa resmi di suatu forum internasional atau bahkan di negaranya sendiri. Tidaklah salah memperlajari bahasa asing namun Bahasa Indonesia sebagai bahasa asli hendaknya tetaplah dijaga keasliannya.

Penulis adalah Mahasiswa FKIP UMSU bergiat di koran kampus teropong.

Dimuat di Harian Analisa, 13 Januari 2012

Popular posts from this blog

Apa yang Dihasilkan Politik Kampus?

Bicara soal politik, rasanya ta k sedikit orang yang ingin terjun. Entah apa sebabnya, namun hal ini sudah menjadi rahasia umum. Meskipun persentase kemenangan kecil, tetap saja banyak calon legislatif yang rela mengeluarkan sedikit uang untuk kampanye. Tak hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau kalah dalam hal berpolitik. Politik masuk ke Universitas-Universitas. Spanduk bertebaran di gedung-gedung, mengajak masyarakat kampus untuk memilih dan mencoblos tuannya. Mahasiswa yang menilai dirinya sebagai aktifis cenderung terjun kedalam politik kampus. Dan berbondong-bondong mendirikan serta menjalankan partai politik mereka sendiri. Alasan yang dikemukakan tentunya alasan yang sama seperti yang kita dengar dari politikus-politikus handal di televisi. "Memperjuangkan aspirasi rakyat (dalam hal ini mahasiswa) ". 

Tak Ada Lagi Topi Kerucut dan Kalung Petai

Oleh: Nur Akmal IKUTI MPLS: Peserta didik baru SMK Negeri 1 Medan mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Seluruh peserta didik baru tak lagi memakai atribut berbau perploncoan sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa (Foto : Nur Akmal) Hujan  sejak subuh masih menyisakan awan gelap dan udara yang dingin, namun tak menggoyahkan semangat siswa-siswa baru untuk hadir pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Pakaian mereka putih bersih, rapi dan tampak masih baru. Mereka berbaris rapi menantikan satu persatu aktivitas Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang tahun ini dikendalikan sepenuhnya oleh guru. "Selamat datang di SMK Negeri 1 Medan, dalam sesi ini kita akan membahas budaya dan tata terbit sekolah," demikian SJ Simamora, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat dan Industri menyapa para peserta didik baru di lapangan SMK Negeri 1 Medan yang diberi tenda agar siswa tak terkena hujan.

Pagar Api dan Berita Titipan Media Massa

Jika dulu sering kita lihat dalam suatu scene sebuah film yang menampilkan gambar blur pada suatu merek dagang yang tanpa sengaja tertangkap kamera. Kini agaknya tak banyak lagi kita temui, malah secara terang-terangan pelbagai merek dagang terpampang jelas di hampir setiap scene film, bahkan merambah pada media massa seperti suratkabat. Iklan memang dibolehkan, tapi pagar api perlu diperhatikan.