Skip to main content

Suara Tukang Becak

Pada suatu kesempatan saya diharuskan pulang dengan menggunakan becak motor dari kawasan Gedung Arca menuju ke Glugur, kawasan UMSU tepatnya. Saya memanggil tukang becak yang kebetulan lewat di depan saya. Saya pun naik dan sepanjang perjalanan kami diguyur hujan.


Abang becak itu orang yang ramah. Sepanjang perjalanan saya diajak bercerita. Sebenarnya lebih mengarah ke curhat menurut saya. Kira-kira dia bilang begini, “Payah sekarang bang, banyak kali peraturan polisi ini, becak tidak boleh narik di jalan raya lagi, terpaksa kita mutar ini bang,” katanya. Benar saja, saya baru sadar bahwa dia membawa saya kejalur yang agak berbeda dari sepengahuan saya. Mungkin karena itu juga dia sedikit menaikkan ongkosnya. Saya jadi mengerti.

Dugaan saya ternyata benar ketika tukang becak itu cerita bahwa sebenarnya ia bingung karena dengan adanya peraturan yang melarang becak melewati jalan raya mereka terpaksa harus mencari jalan-jalan kecil agar terhindar dari polisi. Sementara dirinya tidak begitu paham benar jalan-jalan tikus kota Medan. Ditambah lagi karena harus berputar dampaknya ada pada jarak perjalan sehingga ia terpaksa menaikkan harga yang tentu akan berpengaruh pada minat pelanggan untuk menggunakan jasanya. “Kalau kita naikkan harga, nanti banyak yang gak mau naik bang, padahal jalannya udah tambah jauh,” ujarnya kembali.

Sedihnya lagi dia bercerita kemarin baru saja dia dirazia, kena Rp 200.000 katanya, padahal ia hanya sedang membawa pelanggan yang ongkosnya Rp. 20.000, untung becaknya tidak ditahan.

Agak sedikit tersentuh sebenarnya mendengar cerita abang tukang becak yang baik ini, tidak mungkin saya ceritakan semuanya. Namun yang paling menggoncang batin saya adalah saat dia bilang “Abang sebagai mahasiswa apa tidak ada niat demo bang? Bantu-bantu kami tukang becak ini,”. Sebuah pertanyaan yang menohok saya kira. Mungkin memandang saya dan rute jalan pulang saya yang menuju kampus UMSU, dia menilai saya sebagai seorang mahasiswa. Dan penilaiannya benar.
Sayangnya saya bukan seorang mahasiswa yang aktif berdemonstrasi, tapi saya anggap itu adalah suara tukang becak (baca : orang kecil) yang minta disampaikan. Dan jika saya memandang posisi saya sebagai mahasiswa yang katanya agent of change dan kapasitas saya sebagai jurnalis mahasiswa yang loyalitasnya ada pada masyarakat, saya rasa saya wajib menyampaikannya. Saya tidak bisa berdemo sesuai permintaan abang, jadi saya hanya bisa melakukan ini. Menuliskannya.
Memberatkan Rakyat Kecil

Senin lalu, ratusan pengemudi becak bermotor (betor) dari segala penjuru kota Medan mengepung kantor Walikota Medan. Akibatnya, kawasan Jalan Kapten Maulana Lubis dipadati ratusan betor yang berkumpul sejak pukul 10.00 WIB hingga 13.00 WIB, Aksi ini membuat kemacetan cukup panjang. Mereka menuntut penolakan terhadap Kartu Pengawasan (KPS) betor di Medan yang dikeluarkan Dinas Perhubungan (Dishub) Medan, zona larangan dan penindakan sewenang-wenang oknum Dishub Medan. (Analisa, 6 Desember  2011)

Dalam berita diatas saya ambil kutipan dari salah seorang tukang becak, David Sitorus yang mengatakan bahwa kebijakan tersebut mempengaruhi pendapat tukang becak. "Di Medan ini ada sekitar 5.000 pengemudi betor, yang mencari nafkah melalui betor. Kalau ini semua memberatkan bagi pengemudi betor, maka akan menjadi persoalan baru, pengangguran. Sementara, kami membawa betor ini mengurangi beban pemerintah yang warga penganggur," tegas David.

Ganda Manurung Walikota Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Kota Medan yang menegaskan, becak bermotor hingga kini masih menjadi salah satu mata pencarian puluhan ribu kepala keluarga di Medan. Bila pengoperasiannya dilarang atau dibatasi tanpa dibarengi solusi, diperkirakan bisa menambah masalah sosial, seperti meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan. Sebagaimana dilansir berita Antara.

Sebenarnya sebagai pengguna jasa becak, saya juga sedikit merasa tidak nyaman karena ketika berpergian harus berputar-putar dulu mencari jalan yang boleh dilewati becak, itu juga karena saya tidak paham betul jalan di kota Medan ini. Ditambah lagi para tukang becak yang nakal menaikkan harga yang agak tinggi dari biasanya. Namun sebagaimana peraturan daerah tentang lalu lintas yang melarang becak melewati Jalan Raden Saleh, Imam Bonjol, Diponegoro, Patimura dan Jalan Putri Hijau, saya harus mengikutinya.

Disamping harga yang naik, waktu yang terpakai juga semakin bertambah, seharusnya hanya 20 menit menjadi 30 menit lebih, sehingga penggunaan becak dalam hal menghemat waktu menjadi tidak efisien lagi. Hampir sama dengan menggunakan jasa angkutan umum (Angkot).

Mengingat banyaknya kepala keluarga yang bekerja sebagai tukang becak, dengan adanya peraturan seperti ini saya rasa benar sedikit banyaknya akan berpengaruh pada pendapatan mereka hingga dalam jangka pendek pendapatan rumah tangga mereka akan menurun hingga menimbulkan permasalahan ekonomi dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan pengangguran-penggangguran baru. Yang terburuk adalah jika kefrustasian itu menimbulkan tindak kriminal.

Hal lain yang patut dipertimbangkan adalah, becak yang sudah ada sejak jaman sebelum merdeka ini bisa menjadi angkutan yang unik bagi para wisatawan. Terbukti banyak wisatawan yang senang menggunakan becak sebagai sarana transportasi. Karena tidak panas dan sumpek seperti angkutan umum. Pengemudinya juga tidak sekasar kebanyakan supir angkot. Karena berdampingan langsung dengan pelanggan. Saya rasa tidak pantas becak untuk dihapuskan.

Saya tidak ingin berlagak sebagai pahlawan yang “membela” para rakyat kecil, saya hanya menyampaikan sesuatu yang saya anggap amanat dari tukang becak yang pernah saya gunakan jasanya. Tukang becak adalah rakyat kecil yang selayaknya disantuni atau dipelihara oleh negara. Bukan sebaliknya. Namun kenyataannya kebijakan pemerintah memang kebanyakan tidak memihak pada rakyat kecil. Hingga tujuan yang seharusnya menuntaskan kemiskinan malah bisa-bisa menjadi bertambah.

Disamping itu saya juga ingin berpesan kepada para tukang becak agar menjalankan tugasnya sebagaimana fungsinya, memang diakui terkadang becak membuat kesal sebagian orang dengan tingkahnya yang bermacam-macam, berhenti di bahu jalan sesukanya, berbelok sembarangan, menurunkan penumpang dimana saja, dll. Hendaknya kita sama-sama menjaga dan menertibkan lalu lintas kita. Agar jika kebetulan ada turis yang lewat kita tidak malu karena bangsa kita yang diagung-agungkan karena kebudayaan orangnya yang ramah rusak hanya karena ketidakdisiplinan beberapa orang.

Marilah kita bersama-sama menciptakan suasana yang nyaman di jalan agar tidak ada lagi terdengar sumpah serapah dari para pengguna jalan karena buruknya kesadaran tertib lalu lintas, ditambah dengan perbaikan infrastuktur jalan, kemacetan pasti dapat diminimalkan.***

Penulis adalah mahasiswa FKIP UMSU bergiat di Lembaga Pers Mahasiswa Teropong.

Popular posts from this blog

Apa yang Dihasilkan Politik Kampus?

Bicara soal politik, rasanya ta k sedikit orang yang ingin terjun. Entah apa sebabnya, namun hal ini sudah menjadi rahasia umum. Meskipun persentase kemenangan kecil, tetap saja banyak calon legislatif yang rela mengeluarkan sedikit uang untuk kampanye. Tak hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau kalah dalam hal berpolitik. Politik masuk ke Universitas-Universitas. Spanduk bertebaran di gedung-gedung, mengajak masyarakat kampus untuk memilih dan mencoblos tuannya. Mahasiswa yang menilai dirinya sebagai aktifis cenderung terjun kedalam politik kampus. Dan berbondong-bondong mendirikan serta menjalankan partai politik mereka sendiri. Alasan yang dikemukakan tentunya alasan yang sama seperti yang kita dengar dari politikus-politikus handal di televisi. "Memperjuangkan aspirasi rakyat (dalam hal ini mahasiswa) ". 

Tak Ada Lagi Topi Kerucut dan Kalung Petai

Oleh: Nur Akmal IKUTI MPLS: Peserta didik baru SMK Negeri 1 Medan mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Seluruh peserta didik baru tak lagi memakai atribut berbau perploncoan sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa (Foto : Nur Akmal) Hujan  sejak subuh masih menyisakan awan gelap dan udara yang dingin, namun tak menggoyahkan semangat siswa-siswa baru untuk hadir pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Pakaian mereka putih bersih, rapi dan tampak masih baru. Mereka berbaris rapi menantikan satu persatu aktivitas Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang tahun ini dikendalikan sepenuhnya oleh guru. "Selamat datang di SMK Negeri 1 Medan, dalam sesi ini kita akan membahas budaya dan tata terbit sekolah," demikian SJ Simamora, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat dan Industri menyapa para peserta didik baru di lapangan SMK Negeri 1 Medan yang diberi tenda agar siswa tak terkena hujan.

Pagar Api dan Berita Titipan Media Massa

Jika dulu sering kita lihat dalam suatu scene sebuah film yang menampilkan gambar blur pada suatu merek dagang yang tanpa sengaja tertangkap kamera. Kini agaknya tak banyak lagi kita temui, malah secara terang-terangan pelbagai merek dagang terpampang jelas di hampir setiap scene film, bahkan merambah pada media massa seperti suratkabat. Iklan memang dibolehkan, tapi pagar api perlu diperhatikan.