Indonesia,
negeri yang digaungkan sebagai negara besar dan kaya raya. Tak hanya di sumber
daya alam yang dianugerahkan tuhan pada setiap daratan dan lautannya. Sumber
daya manusia yang dimiliki negeri ini juga tergolong menggiurkan. Indonesia
dengan daratannya 1.922.570 km2 serta jumlah manusia sebanyak
237.556.363 jiwa (Sensus Penduduk 2010) ini hanya punya posisi yang terus
berada di bawah negara Singapura. Tentu kita bertanya-tanya, kenapa potensi
yang begitu besar ini belum mampu menaikkan peringkat kita menjadi no 1—di tingkat
ASEAN saja dulu.
Dalam
Indeks Pembangunan Manusia yang dirilis Badan Pembangunan PBB, kita hanya
berada pada posisi 127 dari 184 negara. Dengan jumlah IPM sebesar 0,617. Tak
ditampik lagi, hal ini jelas buah dari mental manusia kita. Secara kuantitas
barangkali kita menang, namun dari segi kualitas dan kapasitas serta daya saing
bangsa kita masih “sedikit” terpuruk. Masih banyak pemuda kita yang berpikir
bahwa pekerjaan yang paling potensial adalah pegawai negeri sipil. Hingga lahan
itu menjadi primadona banyak orang setiap kali jalannya dibuka.
Bagaimana
tidak, hingga kini masih banyak pendidikan kita yang hanya menjadikan
konsumennya sebagai mesin penghafal. Bukan membuka pikiran untuk berpikir
kritis dan inovatif. Jelas berbeda dari apa yang dikatakan oleh Tan Malaka.
Baginya pendidikan
adalah membangun proses berpikir, membudayakan dialektika, dan menghaluskan
perasaan. Lain lagi dengan Ki Hajar Dewantara. Ia bilang “Pendidikan bukan sekadar mencari pekerjaan dan meraih
nilai yang tinggi, tapi mengenalkan jati diri sebagai penduduk yang merdeka dan
punya martabat”.
Boleh
dikatakan pembangunan yang tengah kita lakukan kehilangan basis kemanusiaan,
sebab pembangunan manusia sendiri tengah terjepit diantara kompetisi politik
pencari kekuasaan. Iming-iming selalu dijadikan janji belaka, jikapun benar
dilaksanakan, praktek-praktek pengeratan selalu berbaur dalam proyek dan
menjadikan proyek tidak sebagaimana mestinya. Lihat saja sebuah jembatan yang
harusnya mampu bertahan seratus tahun bisa runtuh hanya dalam beberapa tahun
saja.
Sikap
pesimis kemudian muncul dalam hati masyarakat, negeri ini tak dapat berubah.
Sikap dan mental bobrok para elit politik, mahasiswa yang idealismenya tengah
terpancung, serta apatisme selamanya akan membuat negeri ini kian terpuruk.
Opini publik ini kemudian ditampik oleh Presiden SBY. Ia katakan, tetap optimis
dalam merubah negeri surga ini meski pemerintahan serta partainya sedang
mengalami “tsunami”. Entah menunjukkan optimisme perubahan yang besar atau
hanya retorika pencitraan belaka.
Negeri
ini kian hari kian menggelikan, persoalan korupsi kian menjadi-jadi. Penegakan
hukum terus saja tumpul ke atas tapi sangat tajam ke bawah. Para “wakil
rakyat”—tidak semua mungkin—terus saja menunjukkan sikap borjuis dan elite
dengan segala kemewahan. Proses hukum nenek pencuri enam buah piring dan anak
pencuri sendal jepit diberitakan dan mencabik rasa keadilan rakyat kecil yang
tertindas. Sementara para koruptor yang memboyong uang negara bermilyar-milyar
mudah saja tersenyum di depan kamera para wartawan tanpa wajah malu dan
menyesal.
Negeri Utopia, Surga dan Neraka
Karl
Popper, Filsuf kelahiran Austria pernah berkata, “Mereka yang menjanjikan kita
surga di dunia tidak pernah menghasilkan apapun selain neraka”. Kata utopia
sendiri populer sejak seorang sarjana negarawan Inggris bernama Thomas More
menyebut negara ideal yang ia gambarkan
dalam karyanya—yang juga berjudul utopia—pada
tahun 1561. Dalam bahasa Yunani artinya “tempat yang baik”.
Pulau
imajiner More dalam jurnalnya digambarkan sebagai suatu tempat humanis, suatu
masyarakat proto-komunis di mana segala sesuatu dilaksanakan secara bersama dan
laki-laki serta perempuan hidup bersama secara harmonis dan sederajat,
intoleransi antar agama telah dibuang dan pendidikan telah disediakan oleh
negara. (Ben Dupré : 2010)
Negeri
ini rasanya menjauh dari angan negeri utopia yang diidamkan semua orang. Akankah
negara kita dapat menjadi negeri utopia? Dulu pada zaman orde baru, slogan yang
selalu digadang-gadang adalah Gemah ripah
loh jinawi. Negeri yang aman dan makmur. Hingga sekarang adakah?
Dalam
novelnya yang berjudul Ranah 3 Warna,
A Fuadi bercerita tentang pengalamannya di negeri daun maple merah Kanada. Ia bilang Kanada adalah salah satu negeri
utopia, di mana tidak ada rumah yang dikunci baik siang ataupun malam. Warga
tak takut akan adanya pencurian. Bukan karena semua orang kaya raya, tapi
karena subsidi yang diberikan pemerintahnya memadai dan penegakan hukum yang
bagus hingga menciptakan kondisi zero
crime rate.
Pada zaman
ke Khalifahan Umar bin Abdul Aziz juga pernah ada negeri utopia, dimana
dikisahkan petugas zakat nyaris putus asa karena tak lagi menemui orang yang
berhak menerima zakat. Hukum zakat yang wajib dan ada tidaknya penerima zakat
dapat menjadi tolak ukur kemakmuran dari suatu bangsa. Kapan negeri kita bisa
menjadi negeri utopia?
Meski utopia
juga kerap diartikan sebagai suatu keadaan ideal yang tidak akan pernah
tercapai, tapi semangat untuk menuju hidup dan masa depan yang lebih baik tetap
harus digalakkan. Sebab tanpa ada angan-angan dan pikiran untuk maju niscahaya
suatu kesempurnaan tak akan mampu diraih pun tak mampu didekati. Utopia adalah
prinsip dari segala kemajuan, dan upaya menuju masa depan yang lebih baik.
Dengan
kepedulian pemerintah terhadap rakyat kecil yang minim dan penegakan hukum yang
buruk agaknya kita masih jauh dari angan-angan tersebut. Pemerintah lebih
mementingkan pencitraan di mata masyarakat meski rasa keadilan terus
terkoyak-koyak. Hukum tak lagi buta dalam artian tidak memihak. Bahkan hukum
sekarang dikatakan “tajam ke bawah tumpul keatas”. Mari menciptakan suasana
negeri utopia dalam Indonesia.
Penulis
adalah Mahasiswa FKIP UMSU, Pimpinan Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa Teropong
UMSU.