Siapa yang tak bangga jika membaca berita hari ini yang mengatakan salah satu film produksi Indonesia memperoleh penghargaan dalam festival film internasional, apalagi sampai dapat pujian dari berbagai seniman perfilman dunia kelas atas. Tentu sebuah prestasi tersendiri bagi rumah produksi pembesut film tersebut ketika di “kampung” sendiri tengah bergelut dengan industri perfilman yang masih juga lebih mementingkan cerita tentang hantu, sex, vulgar, lelucon konyol.
Sebagaimana dilansir berita
okezone.com, film besutan sutradara Gareth Evans berjudul The Raid memperoleh
penghargaan di Toronto International Film Festival (TIFF) untuk kategori
The Cadillac People"s Choice Midnight Madness Award. Kemenangan
film ini diumumkan pada Minggu 18 September 2011 dan
akan ditayangkan di lebih dari 50 negara. Tak cukup hanya segitu, Film the
Raid juga akan diikutkan dalam Festival serupa di Korea dan Brazil. Film
aksi itu sendiri juga sudah ditayangkan di bioskop-bioskop se Indonesia
serentak dengan penayangan di Hollywood.
Bak sebuah gebrakan di tengah
terpuruknya sebuah pasukan dalam sebuah pertempuran, hal ini mampu membuat
dunia kembali menoleh pada industri perfilman Indonesia. Sejenak kita teringat
pada tahun 1980-an dimana film-film berkualitas baik bermunculan di
bioskop-bioskop—seperti Catatan Si Boy dan yang lain—yang mampu bersaing
dengan film industri luar saat itu.
Atau ketika tahun 1990-an saat
perfilman Indonesia sedang jeblok, yang bagai sebuah tamparan keras muncul
sebuah film yang kembali membangkitkan semangat para pencinta film ketika
dirilisnya film bertajuk cinta berjudul AADC dan Petualangan Sherina.
Hampir sama pada tahun tersebut, kisah perjuangan film kita saat ini juga
sedang tidak dalam kondisi sehat. Film yang lebih “menjual” keseksian pada
bintangnya sejak beberapa tahun belakangan hingga sekarang masih menghiasi
iklan penayangan bioskop di koran-koran.
Tontonan dan Tuntunan
Sebuah
tontonan pada dasarnya juga adalah sebuah tuntunan, visualisasi akan lebih
memudahkan otak mencerna segala sesuatu. Otak dapat dengan mudah menangkap apa
yang digambarkan lewat visualisasi. Itulah sebabnya kenapa sarana televisi
disebut sebagian orang sebagai sarana perang pemikiran. Di mana dengan tayangan
televisi diharapkan pola pikir dan tingkah laku seseorang dapat dikendalikan.
Contoh paling gampang adalah life style
dan fashion para artis yang selalu
ditiru oleh masyarakat.
Untuk itu film haruslah benar-benar
dibuat dengan mempertimbangkan hal demikian. Mengingat bangsa Indonesia adalah
bangsa timur yang masih menjaga nilai-nilai luhur. Jika kita melihat dari segi
perkembangan kesenian pada awal periode modern, muncul sebuah teori yang
menyatakan Art for Art’s Sake. Seni hanyalah demi seni, yang dipelopori
oleh I. A Richards dan para tokoh seperti William Butler Yeats.
Mereka adalah para seniman sastra
yang menyatakan bahwa karya seni tidaklah harus mementingkan apa yang dimaksud
dengan nilai moral. Yang terpenting adalah sebuah seni itu dapat dinikmati dan
diresapi. Agaknya hal ini lah yang tengah di pegang teguh sebagai pedoman oleh
para produser film Indonesia sejak beberapa tahun silam. Yang terpenting adalah
banyak penonton yang suka, meskipun harus menuai kecaman.
Sejak
tahun 2008, dalam rangka pembuatan film mereka tak segan-segan untuk memanggil
bintang film “Panas” yang sudah terkenal dari luar negeri—yang tak perlulah
penulis sebutkan namanya satu per satu. Dengan mengkolaborasikan dengan bintang
hot “lokal” jadilah film tersebut film panas berkedok horor atau
berkedok komedi. Seperti
Kawin Kontrak Lagi, XL, Rumah Bekas
Kuburan, Suster Keramas
dan Pulau Hantu.
Yang mengkhawatirkan adalah ketika film yang memanggil
bintang-bintang “spesial” tersebut diberitakan, jelas akan menimbulkan efek
ingin tahu yang besar dari masyarakat yang didalamnya tidak menutup kemungkinan
ada anak di bawah umur. Di dunia jaman sekarang mencari informasi bukanlah hal
yang sulit. Kita punya om
Google yang tahu banyak. Dengan
memanfaatkan situs tersebut apa yang membuat orang penasaran pasti terjawab. Jika
disalah gunakan, habislah.
Namun perihal industri perfilman kita akhir-akir ini penulis pikir sudah berkembang kearah yang lebih
baik. Kehausan para penikmat film “bergizi” sedikit banyaknya sudah terpenuhi dengan munculnya
beberapa film yang tak hanya menjual keseksian para artisnya tapi juga
memberikan pesan moral dan nilai-nilai kehidupan yang berharga.
Seperti film-film yang belakangan ini ikut menghiasi
iklan jam tayang bioskop di suratkabar-suratkabar. Film tersebut jauh dari
bayangan tentang keseksian dan sikap hedonis semata. Namun terlebih menekankan
pada sisi-sisi moralitas yang mendidik dan bergizi. Sebut saja Hafalan Sholat Delisa, Ummi Aminah dan Alangkah Lucunya (Negeri Ini).
Kembali ke film Indonesia yang memperoleh penghargaan tadi, disamping
film The Raid ada juga film Modus Anomali, garapan Joko Anwar,
yang diproduksi Lifelike Pictures dan produser Sheila Timothy telah melakukan
world premiere di festival film terbesar kedua di Amerika Serikat, South By
Southwest (SXSW) 2012, di Austin, Texas pada 9-17 Maret 2012 lalu.
(Vivanews.com)
Untuk
itu kita patutlah berbangga sedikit ketika kita di Indonesia yang sedari dulu
disuapi film-film Hollywood sementara di sana mereka juga memuji film produksi “lokal”.
Hendaknya film-film Indonesia yang bermutu juga kian menjamur. Hingga film “lokal”
mampu bersaing diantara serbuan film-film luar negeri secara kualitas dan
kuantitas. Dengan tidak meninggalkan nilai-nilai luhur yang ada. Bahkan kalau
bisa memperkenalkan kebudayaan negara ini ke dunia.
Film juga dapat berperan dalam membangun karakter
bangsa bahkan lebih mudah bagi film ketimbang tulisan, mengingat masyarakat
lebih menyukai menonton dari pada membaca. Katakan saja film Rambo yang membangun karakter bangsa
Amerika setelah kekalahan mereka dari Vietnam. Film tersebut menunjukkan
seolah-olah bangsa Amerika kuat dan pemenang.
Terakhir marilah pembaca semua jeli memilih tontonan
apalagi jika itu ditonton oleh anak-anak kita. Pilihlah tayangan televisi yang
cerdas, yang tak hanya memberikan cerita yang asik tapi juga yang memiliki
pesan moral yang berguna dan bermutu. Dalam rangka memperingati Hari Film
Nasional ini kita berharap kedepannya industri perfilman kita jauh lebih baik. Mungkin
kita bisa punya Hollywood sendiri seperti India dengan Bollywoodnya.***
Penulis adalah
Pencinta Film, Mahasiswa FKIP UMSU dan Bergiat di Persma Teropong