Aku
kira malam ini akan turun hujan, melihat sore harinya cuaca begitu dingin
hingga rasanya semilir angin yang seperti es meresap hingga ke tulang. Tentu
saja aku berharap akan turun hujan malam ini, sebab malam ini malam minggu.
Bahkan kalau bisa bukan hanya gerimis, tapi hujan lebat yang akan
menggagalkanmu menghampiriku. Padahal aku tak suka hujan, aku takut petir. Mana
bisa aku tidur dengan tenang jikalau petir terus menyapaku. Mem-blizt-ku dengan kilatnya yang
menyeramkan. Ditambah dengan suara menggelegar yang rasanya gendang telingaku
tak sanggup menahan frekuensinya. Tapi tahukah kau, kalau kebencianku padamu
jauh lebih besar daripada kebencianku pada hujan?
Ba’da
magrib angin tak sedingin sore tadi, barangkali es yang sebelumnya menerpa
wajah dan menjelahi kulitku sudah mencair. Awan cumulusnimbus yang dari tadi
bertengger menutupi jingganya matahari sore juga sudah pergi. Eh, kalau tidak
hujan berarti bukan cumulunimbus namanya, mungkin awan cirrus, tapi bentuknya
sangat mirip dengan cumulusnimbus yang menghasilkan hujan. Entahlah, yang jelas
awan itu sudah pergi dan jadilah awan biru gelap yang bertandang.
Aku
ambil handuk dan langsung menuju kamar mandi. Perasaan tidak enak hati kembali
bertamu, sama seperti malam-malam minggu sebelumnya. Kau akan datang. Bagi
sebagian orang malam minggu malam yang mereka nanti. Tapi rasanya tidak bagiku,
malam minggu indah memang bagi mereka yang memiliki pasangan, namun bukan
sembarang pasangan. pasangan yang memiliki cinta dalam hubungan mereka.
“Apa
itu artinya aku tidak memiliki cinta terhadap pasanganku yang akan datang
kurang dari satu jam lagi ini?” aku membatin. Pikiranku terus berputar dengan
perasaan itu selama aku membersihkan diri.
Pukul
setengah delapan, aku menunggumu di beranda rumah. Aku memang tidak pernah
mengizinkanmu masuk jika tujuanmu hanya untuk bertemu denganku. Paling hanya
untuk memberi salam pada orangtuaku jika sudah habis ‘masa jengukmu’ malam itu.
“Untung
malam ini tak hujan ya, jika ia aku gak bisa ke rumahmu,” katamu. Entah itu
sebuah pertanyaan atau pernyataan aku tak tahu. Ku putuskan untuk tidak
menjawab saja.
“Lihat
ada bintang!” kau berkata lagi, kali ini berhasil. Kau dapat perhatianku. Aku
memang suka bintang. Inilah yang semakin membuatku pusing jika malam ini tiba.
Aku selalu berharap malam ini hujan agar kau tak datang padaku, padahal aku
benci hujan dan petir-petirnya. Sementara aku begitu mencintai bintang. Sejak
kecil aku selalu melihat bintang. Setitik cahaya di langit yang juga membuat
hatiku bercahaya. Aku sering bercerita pada bintang, kemarin aku baru saja
bercerita pada mereka tentangmu.
Berbicara
tentang bintang membuatku teringat kisah dua tahun yang lalu. Sekelebat
kenangan itu hadir dipelupuk mataku, seolah aku kembali ke masa lalu. Saat kau
mencoba mendekatiku. Kau gunakan bintang untuk memancing pembicaraan. Apa saat
itu kau sudah tahu aku suka pada bintang atau itu hanya kebetulan, lagi-lagi
aku tidak tahu. Otakku terlalu lelah untuk berpikir. Seolah sudah menghapalnya
kau menjelaskan semua rasi bintang yang kau tahu. Aries, Aquilla, Canis Minor, Scorpio
dll.
“Apa
kau tahu itu rasi bintang apa Putri?” tanyamu.
“Tidak, aku
hanya suka bintang karena ia bisa menentramkan hatiku. Dari mana kau tahu aku
suka bintang?” aku heran.
“Aku
tahu banyak tentangmu,” hanya itu yang kau jawab.
Hari
demi hari kita semakin akrab. Kau tak malu lagi datang ke rumahku, padahal
kemarin kau belum punya ikatan denganku. Giliranmu yang bercerita padaku
tentang hidupmu. Dari situ aku tahu bahwa kita punya nasib yang sama. Kau
bercerita bahwa dulu kau punya segalanya. Ayahmu bekerja di instansi negara
tingkat propinsi dengan jabatan yang tinggi. tapi tiba-tiba hidupmu berubah
drastis saat ayahmu dituduh sebagai koruptor. Kau kehilangan segalanya, dan
menjadi orang kecil selama beberapa tahun sebelum akhirnya bangkit kembali.
Saat kau bercerita aku merasa hatiku memanggil. Kau tahu kenapa? Karena aku
juga punya cerita yang sama.
“Kau
tahu, kita punya cerita yang sama,” balasku menjawab ceritanya.
Ya,
aku memang punya cerita yang sama denganmu. Hanya sedikit berbeda di alasan
kenapa keluargaku terjatuh. Aku tak ingin menceritakannya karena terlalu sakit
bagiku mengingatnya. Orang memang tak selamanya ada diatas, roda pasti akan
berputar. Aku pikir saat itu akulah satu-satunya orang yang mengalami hal
seperti itu, ternyata tidak. Kau juga. Dan kesamaan ini membuatku bisa
menerimamu meskipun perlahan-lahan. Ku rasa aku mulai mencintaimu. Eh, berarti
aku pernah punya cinta untuknya.
“Namun
kenapa sekarang berbeda?” aku berpikir di dalam hati. Sementara ia masih saja
mencerocos di sebelah tempat dudukku. Entahlah, pikiranku sedang tidak untukmu.
Beberapa kali kau mengulang pertanyaanku karena aku salah menjawab dan tak
mengerti maksudmu. Aku hanya berharap malam ini cepat berakhir dan aku bisa
segera istirahat. Agar esok hari perasaan tidak enak hati ini hilang.
Dentang
lonceng jam kuno di sebelah pintu masuk agaknya cukup membuatmu sadar diri, ini
sudah malam. Jam berdentang 10 kali.
Artinya sudah jam 10. Ayah biasanya tidak mengizinkanku untuk diluar lebih dari
jam segini. Lagi- lagi ini salah satu hal paling aku benci. Aku seperti
bonekamu yang tak mampu bergerak dan mengendalikan diriku sendiri. Detik
terakhir yang membuat ku merasa bersalah setiap kalinya. Bagaimana mungkin aku
bisa mencium pria yang tidak aku cintai dan tidak halal bagiku. Padahal aku
sudah diajarkan moral-moral sejak seumur jagung. Setelah kau pulang, tahukah
kau kalau aku semakin membencimu saja?
“Kapan
semua ini berakhir,” Aku rasanya hampir menangis.
Aku
teringat kembali kenapa aku begitu membencimu sekarang. Aku telah menerima
keberadaanmu, tapi kau tak pernah tahu alasannya. Aku menerimamu bukan karena
kau tampan, bukan karena kau kaya raya, bukan karena kau cerdas, bukan karena
kau besar hingga aku rasanya terlindungi dari bahaya. Kau bahkan tidak memiliki
itu semua. Baiklah mungkin hanya beberapa persen saja. Aku menerimamu karena
aku berpikir kau punya nasib yang sama denganku dan kau juga pemuja bintang
sepertiku.
Tapi
mungkin karena ketidaktahuanmu itu kau malah bertindak semena-mena. Seolah kau
memilikiku seutuhnya. Possesive, kata
banyak orang modern. Kau membatasi ruang lingkupku seenaknya. Kau membatasi
pergaulan dan komunikasiku dengan teman-teman yang kau anggap membahayakan
posisimu sebagai pemilik sejati diriku seenak perutmu yang besar itu. Aku benci
itu. Arogansimu serta kepalamu yang besar itu juga aku benci. Pernah kau
berkata kasar pada tanteku yang rupanya adalah teman sekelasmu waktu SMA hanya
gara-gara ia menyarankan aku mencari yang lebih baik untukku.
“Maafkan
aku sayang, aku tidak tahu kalau dia tantemu,” kau berkata manis.
“Lantas
kalau dia bukan tanteku kau berhak berkata kasar padanya?” lagi-lagi aku hanya
membatin. Kenapa aku tak bisa berbuat apa-apa?.
Kau
pastilah sudah merasa hebat, karena aku begitu menerimamu. Bahkan aku sudah
menjadi bonekamu. Kau pasti merasa kau sudah berada diatas angin saat ini. Dan
aku tetap berada di tanah yang tandus. Kenapa aku tidak bisa berbuat apa, hanya
itu saja yang aku pikirkan.
Setelah
tamat dengan program S1. Aku berangkat ke Jakarta, rencananya untuk melanjutkan
program Master sekaligus melarikan diri darimu. Hanya itu yang bisa aku
lakukan, memutuskan hubungan dengan orang yang semena-mena terhadapku.
Syukur
sekarang kau sudah jarang menghubungiku, dan tidak mungkin lagi bagimu
menjengukku di malam-malam itu. Tak perlu lagi kini ku berharap pada tuhan agar
hujan turun di malam minggu. Hanya berharap agar bintang selalu bersinar setiap
malam. Meskipun belum ada kisah kita telah memutuskan hubungan yang complicated ini tapi setidaknya aku
merasa sedikit lega. Aku hanya ingin menyampaikan perasaanku bahwa “Cintaku
pada bintang jauh lebih besar dari pada cintaku padamu, dan benciku padamu lebih
besar dari pada benciku pada hujan”.***