Kisah tentang dunia persepakbolaan negeri
ini memang selalu menarik untuk dibahas. Tak hanya soal dualisme di tubuh PSSI
yang tak kunjung selesai, namun fanatisme berlebihan yang kerap memakan korban
pun masih sering terjadi. Terakhir diberitakan, 3 orang dipastikan tewas di
komplek Stadion Gelora Bung Karno usai pertandingan sepak bola antara Persija
dan Persib, Minggu (27/5) kemarin. (Kompas, 29 Mei 2012).
Korban
tewas ditemukan di dua lokasi yang berbeda, sementara 5 orang lainnya menderita
luka berat dan ringan. Kisah tentang dua supporter dari masing-masing grup ini
memang sudah terkenal seantero negeri. Tentang Jackmania (Suporter tim Persija)
dan Viking (Suporter tim Persib) bahkan sudah pernah diangkat dalam sebuah film
layar lebar.
Dua
kelompok fans ini terkenal karena kefanatikan mereka terhadap tim yang mereka
dukung. Sejak dulu, kedua kelompok ini memang sering adu “kekuatan”. Hingga tak
jarang para pemain pun ikut menjadi korban.
Seperti
halnya konser Lady Gaga yang secara resmi dibatalkan karena tidak adanya
penjaminan keamanan dari pihak kepolisian, hal yang sama juga terjadi kala
Persija bertanding melawan Persib saat itu. Pihak kepolisian sudah mengklaim
bahwa prosedur operasi yang dijalankan sudah benar dalam sistem pengamanan.
Meski sudah mengerahkan 1.524 Personel, namun perlakuan pengeroyokan luput dari
pengawasan patroli.
Menanggapi
hal ini, Kepala
Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo mengatakan, kepolisian tak sepenuhnya
bersalah atas tewasnya tiga suporter sepak bola di Jakarta dan Surabaya selama
sepekan ini. Menurutnya hal itu terjadi tidak di dalam stadium atau saat
pertandingan berlangsung. Melainkan di luar daerah pengawasan.
Belajar
dari Sejarah
Fanatik
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai teramat kuat
kepercayaaannya atau keyakinan terhadap ajaran, politik, agama, ideologi dsb. Sebuah
kefanatikan memang kerap menjadi senjata ampuh untuk melakukan tindakan apa
saja demi mempertahankannya. Kisah tentang kefanatikan yang membawa korban
sejak dahulu telah banyak dicatat. Sejarah telah mencatat bagaimana akibat dari
kefanatikan seorang tokoh yang hingga kini dikenal sebagai salah satu pemimpin
paling otoriter di masanya.
Lenin
dan Stalin, penguasa negeri kremlin, negeri beruang merah, Uni Soviet yang
sekarang dikenal dengan Rusia. Kefanatikan Lenin akan ideologi komunis yang
digagas oleh Karl Marx dengan slogan “tanah”, “roti” dan “perdamaian”, melalui
partai Bolshevik yang radikal ia memberontak dan mengambil alih kekuasaan Rusia
dengan kekerasan. Lenin menggerakkan segala cara demi mewujudkan kegilaan
ideologi komunisnya.
Hingga
keluarga Tsar Nicolas Romanov dibantai habis hanya karena kefanatikan para
pengikut paham komunis yang dikepalai oleh Lenin. Saat itu pembantaian
benar-benar ditunjukkan, ada yang dipukul hingga mati, dibayonet, diperkosa dan
dicincang. Hingga tak ada keturunan Tsar yang tersedia.
Siapa
yang berani menentang Lenin dipastikan binasa dalam kondisi yang mengenaskan.
Tak ada yang boleh melaksanakan ritual ibadah. Tak ada kebebasan. Jika ketahuan
maka itu akan menjadi ibadah terakhir mereka.
Fanatisme
Lenin akan ideologinya kemudian diturunkan pada Stalin, ia berkuasa layaknya
Lenin. Pembantaian pun dilakukan tanpa ampun. Tercatat sebanyak 20.000.000
orang meninggal. Namun versi lain menyebutkan yang tewas saat Stalin berkuasa
antara 40-50 juta orang.
Pada
saat yang sama, fanatisme juga ditunjukkan oleh Hitler dari Nazi Jerman. Sejak
masih muda, ia telah menjadi seorang nasionalis Jerman yang fanatik. Ia
menyerang Negara-negara lain dengan sama sekali tidak mengindahkan perjanjian
apa pun yang pernah disetujui. Termasuk perang dengan Uni Soviet. Selain nasionalis,
Hitler juga adalah seorang rasialis yang fanatik, khusus terhadap orang Yahudi.
Dengan penuh kebencian ia menghabisi keturunan Yahudi dengan berbagai cara.
Kisah
tentang Lenin, Stalin dan Hitler tadi sudah cukup untuk membuktikann bahwa
kefanatikan sempit atau berlebihan mampu menggerakkan manusia diluar batas.
Banyak manusia jika sudah melibatkan permasalahan agama, ideologi, fans,
terlibat dalam tindak kekerasan bahkan pembunuhan.
Tak
ayal ketika membaca berita tentang supporter bola yang kemarin tewas karena
dikeroyok oleh supporter tim lawan, rasanya sudah menjadi begitu lumrah. Seakan
nyawa manusia tak lebih penting dan berharga dari pada sebuah kebanggaan akan
mengidolakan sesuatu.
Yang
membuat bulu kuduk semakin merinding adalah ketika semua tersangka pengeroyokan
sudah ditangkap, saat hendak dibawa ke sel tahanan, para tersangka malah
bernyanyi dan meneriakkan yel-yel tim idola mereka. Tanpa ada wajah penyesalan
sama sekali.
Kekitaan
dan Musuh
Sosiolog Imam B Prasodjo mengatakan, kekerasan yang
dilakukan suporter sepak bola merupakan bentuk emosional primitif yang mengarah
ke perilaku hewani. Proses sentimen yang berlebihan ini harus dikendalikan agar
tidak menjadi kebencian yang melebar dan berpotensi menyebabkan korban
berjatuhan lebih banyak lagi. (Kompas.com)
Jika dikaji secara sosiologis, terjadinya bentrokan antara
kedua kelompok dapat disebabkan karena adanya rasa kekitaan yang kental hingga
cenderung menganggap bahwa orang diluar kelompok “kita” sebagai musuh. Selain
itu, yel-yel bernada profokatif yang dinyanyikan para supporter juga
menyebabkan rasa kekitaan dan fanatis menjadi semakin sempit antar dua kelompok
yang bersebrangan.
Kejadian ini menambah catatan buruk dunia persepakbolaan
Indonesia, yang saat ini juga tengah menunggu hasil dari FIFA apakah akan
menerima hukuman atau tidak. Selain masalah dualisme pengurus PSSI agaknya sporttivitas
persepakbolaan kita semakin merosot. Tak layaklah sebuah fanatisme berlebihan
memakan korban.
Belajar dari sejarah tentang anarkisme yang memakan korban
hingga puluhan juta orang yang penulis uraikan diatas rasanya sudah cukup untuk
tidak lagi menempatkan fanatisme sempit terhadap segala sesuatu pada diri kita.
Pun pada sekteisme, rasialisme dll. Sudah cukup banyak permasalahan di negeri
ini, korupsi, kesejahteraan social dan kapitalisme pendidikan. Hendaknya
olahraga tetap menjunjung sportivitas agar kelak kita (kembali) menjadi para
juga. Jika terus demikian kapan sepak bola kita akan dipandang dunia.
Penulis
adalah Mahasiswa FKIP UMSU, Pimpinan Redaksi Persma Teropong
Dimuat di Harian analisa, Rabu 19 Juni 2012
Dimuat di Harian analisa, Rabu 19 Juni 2012