Skip to main content

Negara Gagal Momentum Untuk Berbenah



Membaca berita yang dimuat Kompas, Rabu 20 Juni 2012 lalu, membuat hati masyarakat Indonesia kian teriris. Pasalnya dalam berita tersebut Indonesia disebut Negara yang sedang dalam kondisi bahaya (in danger) karena berada pada posisi ke 63 dalam Indeks Negara Gagal versi Lembaga Riset Nirlaba The Fund For Peace (FFP) bekerjasama dengan Foreign Policy.


Urutan tersebut jauh dibawah Negara tetangga yang baru-baru kemarin membuat heboh kita dengan klaim tari tor-tor yang mereka ajukan, yakni Malaysia. Konon lagi jika dibandingkan dengan Negara no 1 se-Asia Tenggara, Singapura. Dalam berita tersebut dijelaskan, Malaysia berada pada posisi ke 110 dan Singapura berada pada posisi 157. Oh ya, semakin besar angka peringkat, semakin tinggi tingkat stabilitas dan semakin rendah tekanan yang harus dihadapi Negara tersebut. Di peringkat 1 ada Somalia, dan peringkat ke 178 dipegang oleh Finlandia. 

Ini menambah catatan untuk sebutan Negara kita, Awal tahun 2012 lalu, mencuat sebuah kata “autopilot” untuk Negara ini. Ini berasal dari munculnya beberapa spanduk bertuliskan “Indonesia Negara Autopilot” di beberapa titik di ibukota.
Menurut pengamatan Effendi Gazali seorang master komunikasi politik dari Universitas Indonesia, tulisan tersebut merupakan luapan ketidakpuasan terhadap suatu keadaan khususnya di pemerintahan.
“Pengertiannya bervariasi, mulai dari tidak bangun infrastruktur sampai membiarkan rakyatnya ditembak oleh aparat yang mengabdi pada pengusaha atau investor. Juga soal makin terasa kuatnya pengaruh neoliberalisme,” papar Effendi.
Kemudian kini kita dihadapkan dengan sebutan Negara gagal atas hasil yang dirilis FFP tersebut. Ini menjadi sebuah tamparan keras bagi kita semua, di satu sisi kita mengakui ada kegagalan di Negara kita, namun tak jualah kita pantas mengakui dengan menyalah-nyalahkan Negara kita sendiri.
Ini pun ditanggapi beragam oleh beberapa pejabat Negara kita, kebanyakan dari mereka menyangkal bahwa Indonesia termasuk dalam daftar Negara gagal. Diantaranya Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Romahurmuziy, Menko perekonomian, Hattarajasa, dan banyak lagi.
Indikator Negara Gagal
Bermula pada seorang ahli bahasa, filsuf dan aktivis politik Amerika, Noam Chomsky yang menulis buku tentang Negara gagal.  Setidaknya ada dua karakter utama yang membuat suau Negara bisa disebut sebagai  Negara gagal. Yang pertama, Negara tidak mampu dan tidak mau melindungi warga negaranya dari kehancuran, dari berbagai aspek. Kedua tidak mampu mempertahankan hak warga negaranya dengan baik untuk melindungi negaranya baik yang ada di dalam negeri atau di luar negeri, serta tidak mampu mempertahankan fungsi demokrasi.

FFP menetapkan 12 aspek penilaian dalam memutuskan indeks Negara gagal. 3 hal yang membuat peringkat Indonesia tahun ini meningkat dari tahun sebelumnya antara lain, Penegakan hukum dan HAM, Tekanan Demografis dan ketertindasan kaum minoritas.

Dari penegakan hukum misalnya, hingga kini kita masih saja disuguhi berita-berita tentang pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Pemerintah terkesan hanya membiarkan kejadian tersebut yang mengindikasikan Negara ini sebagai Negara autopilot.

Atau ketertindasan kaum minoritas yang juga masih terjadi, ini menjadi berita konsumsi internasional. Berita tentang kekerasan terhadap kaum minoritas ini tersebar hingga ke beberapa media luar negeri.

Diantara tiga penilaian yang menyebabkan peringkat Indonesia turun tersebut, saya pribadi berpendapat penilaian tidak seratus persen objektif. Selain karena penilaian diambil dari artikel atau berita tentang pelanggaran tersebut, isu yang diusung juga sarat akan perspektif barat.

Barat sangat sensitif akan isu tersebut, terutama tentang penindasan kaum minoritas seperti LGBT (lesbi, Gay, Biseksual dan Transgender), selain itu kasus minoritas tentang aliran agama yang di Indonesia dianggap menyimpang juga sangat dikaji oleh mereka.

Perspektif barat tak selamanya bisa kita ikuti, sebab Indonesia memiliki kebudayaan yang berbeda. Masuknya budaya asing juga tak sepantasnya terus diterima begitu saja. Sebagai Negara timur kita masih sangat menjunjung budaya dan sikap moralitas. Budaya asing yang masuk pun harus di filter dengan baik, hingga tak semata-mata menghilangkan kebudayaan dan jati diri bangsa kita sendiri.

Berbenah

Meski sekarang kita tengah di kagetkan oleh kata “Gagal” untuk Negara kita. Bukan berarti kita harus mati-matian membantah kata tersebut. Tapi menjadikannya sebagai momentum untuk berbenah. Peringkat yang diberikan FFP kepada kita memang menyakitkan, sekaligus mengingatkan kita pada awal 2012 silam, tentang mencuatnya kata autopilot untuk Negara kita.

Terlepas dari benar atau tidaknya Negara kita sedang dalam bahaya menuju Negara gagal, pemerintah memang harus lebih peduli lagi dalam menjalankan Negara. Tidak bisa dipungkiri bahwa publik masih kecewa melihat kinerja pemerintah yang tak kunjung menunjukkan perbaikan.

Potret kegagalan pemerintah kita di samping tiga penilaian yang diberikan FFP diatas juga terlihat dari masih menjamurnya kasus korupsi di segala lini, pengangguran yang masih bertebaran, serta angka kemiskinan yang tidak kunjung membaik secara signifikan, Tata letak kota yang tidak bersahabat, serta sampah yang masih sulit untuk diatasi.

Disamping kepedulian pemerintah, kesadaran masyarakat pun perlu untuk dibenahi. Tidak membuang sampah sembarangan, ikut berpartisipasi dalam pengawasan tindakan korupsi, serta tertib dalam berlalu lintas. Dengan harapan kedepan Indonesia menjadi lebih baik lagi, paling tidak peringkat kita di Indeks Negara “gagal” tersebut semakin meningkatkan angkanya. Mengurangi tekanan yang harus dihadapi oleh Negara, masyarakat, serta pemerintahannya dan diikuti dengan meningkatnya stabilitas Negara. Mari kita ciptakan bersama. ***

Penulis adalah Mahasiswa FKIP UMSU, Pemimpin Redaksi Persma Teropong
 Dimuat di harian Analisa, Jumat 29 Juni 2012

Popular posts from this blog

Apa yang Dihasilkan Politik Kampus?

Bicara soal politik, rasanya ta k sedikit orang yang ingin terjun. Entah apa sebabnya, namun hal ini sudah menjadi rahasia umum. Meskipun persentase kemenangan kecil, tetap saja banyak calon legislatif yang rela mengeluarkan sedikit uang untuk kampanye. Tak hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau kalah dalam hal berpolitik. Politik masuk ke Universitas-Universitas. Spanduk bertebaran di gedung-gedung, mengajak masyarakat kampus untuk memilih dan mencoblos tuannya. Mahasiswa yang menilai dirinya sebagai aktifis cenderung terjun kedalam politik kampus. Dan berbondong-bondong mendirikan serta menjalankan partai politik mereka sendiri. Alasan yang dikemukakan tentunya alasan yang sama seperti yang kita dengar dari politikus-politikus handal di televisi. "Memperjuangkan aspirasi rakyat (dalam hal ini mahasiswa) ". 

Tak Ada Lagi Topi Kerucut dan Kalung Petai

Oleh: Nur Akmal IKUTI MPLS: Peserta didik baru SMK Negeri 1 Medan mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Seluruh peserta didik baru tak lagi memakai atribut berbau perploncoan sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa (Foto : Nur Akmal) Hujan  sejak subuh masih menyisakan awan gelap dan udara yang dingin, namun tak menggoyahkan semangat siswa-siswa baru untuk hadir pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Pakaian mereka putih bersih, rapi dan tampak masih baru. Mereka berbaris rapi menantikan satu persatu aktivitas Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang tahun ini dikendalikan sepenuhnya oleh guru. "Selamat datang di SMK Negeri 1 Medan, dalam sesi ini kita akan membahas budaya dan tata terbit sekolah," demikian SJ Simamora, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat dan Industri menyapa para peserta didik baru di lapangan SMK Negeri 1 Medan yang diberi tenda agar siswa tak terkena hujan.

Pagar Api dan Berita Titipan Media Massa

Jika dulu sering kita lihat dalam suatu scene sebuah film yang menampilkan gambar blur pada suatu merek dagang yang tanpa sengaja tertangkap kamera. Kini agaknya tak banyak lagi kita temui, malah secara terang-terangan pelbagai merek dagang terpampang jelas di hampir setiap scene film, bahkan merambah pada media massa seperti suratkabat. Iklan memang dibolehkan, tapi pagar api perlu diperhatikan.