Foto : Harian Analisa |
Akhir-akhir ini hangat diberitakan beberapa media massa di kota Medan
tentang nasib nelayan. Pasalnya di daerah-daerah pesisir seperti Kecamatan Tanjung
Beringin, Pagurawan, dan lainnya tengah marak penggunaan pukat trawl untuk
menangkap ikan. Ini menjadi sebuah ancaman terhadap nasib nelayan tradisional
yang ada di daerah-daerah tersebut. Penggunaan pukat trawl atau pukat hantu “menyedot”
habis tangkapan mereka.
Terakhir diberitakan, pukat trawl beraksi di daerah Tanjung
Beringin, Serdang bedagai. Para nelayan di sana pun resah dibuat para nelayan “modern”
tersebut. Hasil tangkapan nelayan tradisional menjadi berkurang secara drastis.
Tentu saja, sebab pukat trawl mampu menjaring habis ikan-ikan yang kebetulan
sedang berenang di daerah tangkapan tersebut. Pukat trawl bahkan tak peduli
meski ikan tersebut belum cukup mumpuni untuk ditangkap. Bahkan katanya
mengancam keberadaan flora dan fauna laut.
Pencaharian Utama
Di daerah pesisir, nelayan adalah profesi yang paling populer. Kebanyakan
masyarakatnya bekerja sebagai nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri
maupun keluarga. Penulis sendiri adalah putra daerah dari negeri pesisir Tanjung
Beringin, Serdang Bedagai. Meski tak berprofesi sebagai nelayan, namun hasil
tangkapan nelayan berpengaruh sangat besar bagi sebagian hidup orang banyak di
sana.
Katakanlah nelayan tradisional tengah berjibaku dengan para
pengguna pukat trawl tersebut. Hingga hasil tangkapan mereka berkurang drastis.
Alhasil harga ikan meroket, ini tak hanya berpengaruh pada warga yang
berpenghasilan dari melaut saja. Nyaris semua lini masyarakat merasakan
dampaknya.
Konon, orang-orang pesisir tergolong royal dengan uang. Jika
ada uang pastilah itu di belanjakan. Nelayan sebagai mata pencarian utama warga
Tanjung Beringin berimbas pada perekonomian secara tidak langsung. Lihat saja
pasar, toko pakaian, makanan, hingga tukang jahit sekalipun pasti ikut sepi.
Ini penulis rasakan sendiri beberapa tahun lalu ketika tangkapan
laut memang sedang seret, hingga para tetua melakukan ritual yang sempat
menjadi kontroversi yakni Jamu Laut. Mempersembahkan kepala kerbau ke
laut sebagai sesembahan. Ada banyak pendapat akan hal ini karena dianggap syirik
sedang sebagian lagi menganggap tidak, karena bagian daging kerbau dibagi
kepada anak-anak yatim sebagai syukuran.
Terlepas dari kontroversi yang dihasilkan, kurangnya pendapatan
para nelayan tradisional memang sangat berpengaruh besar bagi masyarakat. Alhasil
banyak warga yang berprofesi sebagai pedagang pun mengeluh. “Tak ado ikan,
orang boli pun tak ado,”. Maksudnya ikan sepi pembeli pun jadi sepi.
Tak cukup hanya di situ, para pengusaha bahan bakar sampan eceran
serta penjual gorengan yang bertengger di jambur pun ikut merasakannya. Sebab
banyak nelayan yang tak melaut atau pulang cepat karena tak menghasilkan
apa-apa. Atau (entah masih ada atau tidak) para anak itik—pencuci sampan
yang biasanya anak-anak—juga mungkin terkena imbasnya. Jika mereka tak mencuci
sampan, paling anak-anak itu akan mengutip—membawa kaleng hijau
bergambar mesjid dan menghampiri rumah-rumah.
Untuk itu memang pengawasan terhadap pemberian izin penggunaan
pukat trawl dan pukat harimau perlu lebih ditingkatkan. Mengingat kesejahteraan
masyarakat pesisir sangat berpengaruh pada penghasilan para nelayan tradisional
yang hanya menggunakan alat
tangkap jaring siang, jaring malam, pukat lingkung, pukat langgar, dan jenis
lainnya.
Berdasarkan
Undang-Undang No 31 tahun 2004 tentang perikanan dijelaskan pemerintah
melakukan pengawasan terhadap alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi
budi daya ikan dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya. Setiap
orang juga dilarang merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya
ikan.
Untuk itu,
pemerintah harus lebih mengawasi segala hal yang diatur dalam Undang-Undang tersebut,
agar tidak terjadi pelanggaran yang merugikan salah satu pihak. Nelayan
tradisional atau nelayan kecil sebagai mana disebut dalam undang-undang tentang
perikanan mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
Tanpa tangkapan,
nelayan tradisional pasti enggan untuk melaut. Dan tak tanggung-tanggung,
dampaknya mengena pada seluruh aspek masyarakat kota pesisir—kecuali para
pegawai negeri mungkin. Jangan biarkan para nelayan tradisional hanya berdiam
diri di rumah mereka.
Penulis adalah Mahasiswa
FKIP UMSU, Pimpinan Redaksi Persma Teropong, Putra Tanjung Beringin.
Dimuat di Harian Analisa, Rabu, 9 Mei 2012