Skip to main content

Selamatkan Nelayan Tradisional!

Foto : Harian Analisa
Akhir-akhir ini hangat diberitakan beberapa media massa di kota Medan tentang nasib nelayan. Pasalnya di daerah-daerah pesisir seperti Kecamatan Tanjung Beringin, Pagurawan, dan lainnya tengah marak penggunaan pukat trawl untuk menangkap ikan. Ini menjadi sebuah ancaman terhadap nasib nelayan tradisional yang ada di daerah-daerah tersebut. Penggunaan pukat trawl atau pukat hantu “menyedot” habis tangkapan mereka.

Terakhir diberitakan, pukat trawl beraksi di daerah Tanjung Beringin, Serdang bedagai. Para nelayan di sana pun resah dibuat para nelayan “modern” tersebut. Hasil tangkapan nelayan tradisional menjadi berkurang secara drastis. Tentu saja, sebab pukat trawl mampu menjaring habis ikan-ikan yang kebetulan sedang berenang di daerah tangkapan tersebut. Pukat trawl bahkan tak peduli meski ikan tersebut belum cukup mumpuni untuk ditangkap. Bahkan katanya mengancam keberadaan flora dan fauna laut.

Pencaharian Utama

Di daerah pesisir, nelayan adalah profesi yang paling populer. Kebanyakan masyarakatnya bekerja sebagai nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri maupun keluarga. Penulis sendiri adalah putra daerah dari negeri pesisir Tanjung Beringin, Serdang Bedagai. Meski tak berprofesi sebagai nelayan, namun hasil tangkapan nelayan berpengaruh sangat besar bagi sebagian hidup orang banyak di sana.

Katakanlah nelayan tradisional tengah berjibaku dengan para pengguna pukat trawl tersebut. Hingga hasil tangkapan mereka berkurang drastis. Alhasil harga ikan meroket, ini tak hanya berpengaruh pada warga yang berpenghasilan dari melaut saja. Nyaris semua lini masyarakat merasakan dampaknya.

Konon, orang-orang pesisir tergolong royal dengan uang. Jika ada uang pastilah itu di belanjakan. Nelayan sebagai mata pencarian utama warga Tanjung Beringin berimbas pada perekonomian secara tidak langsung. Lihat saja pasar, toko pakaian, makanan, hingga tukang jahit sekalipun pasti ikut sepi.

Ini penulis rasakan sendiri beberapa tahun lalu ketika tangkapan laut memang sedang seret, hingga para tetua melakukan ritual yang sempat menjadi kontroversi yakni Jamu Laut. Mempersembahkan kepala kerbau ke laut sebagai sesembahan. Ada banyak pendapat akan hal ini karena dianggap syirik sedang sebagian lagi menganggap tidak, karena bagian daging kerbau dibagi kepada anak-anak yatim sebagai syukuran.

Terlepas dari kontroversi yang dihasilkan, kurangnya pendapatan para nelayan tradisional memang sangat berpengaruh besar bagi masyarakat. Alhasil banyak warga yang berprofesi sebagai pedagang pun mengeluh. “Tak ado ikan, orang boli pun tak ado,”. Maksudnya ikan sepi pembeli pun jadi sepi.

Tak cukup hanya di situ, para pengusaha bahan bakar sampan eceran serta penjual gorengan yang bertengger di jambur pun ikut merasakannya. Sebab banyak nelayan yang tak melaut atau pulang cepat karena tak menghasilkan apa-apa. Atau (entah masih ada atau tidak) para anak itik—pencuci sampan yang biasanya anak-anak—juga mungkin terkena imbasnya. Jika mereka tak mencuci sampan, paling anak-anak itu akan mengutip—membawa kaleng hijau bergambar mesjid dan menghampiri rumah-rumah.

Untuk itu memang pengawasan terhadap pemberian izin penggunaan pukat trawl dan pukat harimau perlu lebih ditingkatkan. Mengingat kesejahteraan masyarakat pesisir sangat berpengaruh pada penghasilan para nelayan tradisional yang hanya menggunakan alat tangkap jaring siang, jaring malam, pukat lingkung, pukat langgar, dan jenis lainnya.

Berdasarkan Undang-Undang No 31 tahun 2004 tentang perikanan dijelaskan pemerintah melakukan pengawasan terhadap alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budi daya ikan dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya. Setiap orang juga dilarang merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan.

Untuk itu, pemerintah harus lebih mengawasi segala hal yang diatur dalam Undang-Undang tersebut, agar tidak terjadi pelanggaran yang merugikan salah satu pihak. Nelayan tradisional atau nelayan kecil sebagai mana disebut dalam undang-undang tentang perikanan mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Tanpa tangkapan, nelayan tradisional pasti enggan untuk melaut. Dan tak tanggung-tanggung, dampaknya mengena pada seluruh aspek masyarakat kota pesisir—kecuali para pegawai negeri mungkin. Jangan biarkan para nelayan tradisional hanya berdiam diri di rumah mereka.

Penulis adalah Mahasiswa FKIP UMSU, Pimpinan Redaksi Persma Teropong, Putra Tanjung Beringin.
Dimuat di Harian Analisa, Rabu, 9 Mei 2012 

Popular posts from this blog

Apa yang Dihasilkan Politik Kampus?

Bicara soal politik, rasanya ta k sedikit orang yang ingin terjun. Entah apa sebabnya, namun hal ini sudah menjadi rahasia umum. Meskipun persentase kemenangan kecil, tetap saja banyak calon legislatif yang rela mengeluarkan sedikit uang untuk kampanye. Tak hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau kalah dalam hal berpolitik. Politik masuk ke Universitas-Universitas. Spanduk bertebaran di gedung-gedung, mengajak masyarakat kampus untuk memilih dan mencoblos tuannya. Mahasiswa yang menilai dirinya sebagai aktifis cenderung terjun kedalam politik kampus. Dan berbondong-bondong mendirikan serta menjalankan partai politik mereka sendiri. Alasan yang dikemukakan tentunya alasan yang sama seperti yang kita dengar dari politikus-politikus handal di televisi. "Memperjuangkan aspirasi rakyat (dalam hal ini mahasiswa) ". 

Tak Ada Lagi Topi Kerucut dan Kalung Petai

Oleh: Nur Akmal IKUTI MPLS: Peserta didik baru SMK Negeri 1 Medan mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Seluruh peserta didik baru tak lagi memakai atribut berbau perploncoan sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa (Foto : Nur Akmal) Hujan  sejak subuh masih menyisakan awan gelap dan udara yang dingin, namun tak menggoyahkan semangat siswa-siswa baru untuk hadir pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Pakaian mereka putih bersih, rapi dan tampak masih baru. Mereka berbaris rapi menantikan satu persatu aktivitas Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang tahun ini dikendalikan sepenuhnya oleh guru. "Selamat datang di SMK Negeri 1 Medan, dalam sesi ini kita akan membahas budaya dan tata terbit sekolah," demikian SJ Simamora, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat dan Industri menyapa para peserta didik baru di lapangan SMK Negeri 1 Medan yang diberi tenda agar siswa tak terkena hujan.

Pagar Api dan Berita Titipan Media Massa

Jika dulu sering kita lihat dalam suatu scene sebuah film yang menampilkan gambar blur pada suatu merek dagang yang tanpa sengaja tertangkap kamera. Kini agaknya tak banyak lagi kita temui, malah secara terang-terangan pelbagai merek dagang terpampang jelas di hampir setiap scene film, bahkan merambah pada media massa seperti suratkabat. Iklan memang dibolehkan, tapi pagar api perlu diperhatikan.