Skip to main content

Guru : Lebih dari Sekadar Mengajar


Foto : republika.co.id
Keberadaan guru (Tenaga Didik) di tengah-tengah siswa (baca : Peserta didik) sebagai pengajar tentang suatu materi dalam bidang tertentu menjadi telaga penghilang dahaga bagi siswa di tengah panasnya padang pasir kebodohan yang menyejukkannya dengan ilmu pengetahuan.


Sejatinya guru berdasarkan asas Tut Wuri Handayani, yang diterapkan dalam sistem pendidikan Taman Siswa milik Ki Hajar Dewantara, berpendapat bahwa pendidik hanya orang yang membantu perkembangan peserta didik kearah yang positif dari belakang dan membantu peserta didik bila diperlukan.

Asas pendidikan yang diterapkan bapak Pendidikan kita ini sangat mempengaruhi dunia pendidikan hingga sekarang. Bila di “tadabburi”, makna dari membantu peserta didik dari belakang ialah guru tidak bertindak sebagai pusat dalam kegiatan belajar mengajar. Hanya mendorong siswa untuk menuju perubahan yang lebih baik.

Kita sering mendengar kata Motivator dan Fasilitator, yang artinya pendorong dan penyedia jasa, kedua istilah ini juga terdapat dalam dunia pendidikan.  Belakangan kedua istilah ini sangat ditekankan kepada para pendidik dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Maksud dari motivator dan fasilitator di sini adalah guru hanya bertindak sebagai orang dibalik layar dalam menumbuh kembangkan keterampilan dan karakter anak. Sementara siswa menumbuh kembangkan kemampuan mereka sendiri dan sesekali di bantu oleh guru.

Tindakan demikian disebut Student Center, di mana siswa menjadi pusat dalam kegiatan belajar mengajar. Siswa yang menjadi actor dalam pendidikan tersebut. Menjadi bagian paling aktif dalam KBM. Bukan guru yang lebih mendominasi kegiatan, atau lebih dikenal dengan Teacher Center. Namun fakta di lapangan, model pembelajaran otoriter seperti itu masih sering kita lihat di tengah-tengah pendidikan kita. . Tak hanya di sekolah, tapi juga di universitas-universitas yang seyogyanya harus lebih menekankan pada keaktifan mahasiswa dalam rangka membentuk pola pikir inovatif dari masing–masing individu. Alhasil siswa pulang dengan “kepala” kosong.

Profesionalitas Membangun Karakter

Di sinilah bukti bahwa keprofesionalan guru mutlak diperlukan dalam membangun pendidikan yang cemerlang. Guru yang professional mampu membangun karakter siswa di tengah gencarnya sosialisasi tentang pendidikan berkarakter. Pendidikan berkarakter yang dianggap akan mampu meningkatkan kualitas siswa yang notabene generasi muda bangsa.

Arianto Siregar, dari Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Sumatera Utara (LPMP) dalam seminarnya pernah mengatakan pendidikan karakter jika diterapkan secara benar akan dapat menghasilkan generasi emas bangsa yang kelak akan membangun bangsa.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah mampukah para guru kita melaksanakan pendidikan berkarakter di tengah ramainya virus-virus pragmatisme yang menjangkit para pendidik  kita. Berbagai upaya pun dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan. Sosialisasi tentang prahara pendidikan berkarakter terus digalakkan dalam berbagai bentuk kegiatan seperti seminar dan workshop.

Ujian Kompetensi Guru , Sertifikasi dan PLPG pun ikut berperan dalam memperbaiki kualitas para pendidik. Namun belakangan malah menjadi sebuah polemik. Forum Guru berpendapat bahwa Uji Kompetensi Guru tidak perlu dilakukan lagi, karena guru-guru sudah berpotensi, malah katanya UKG ini menjadi proyek yang berpeluang menjadi lahan korupsi.

Menyikapinya, penulis berpendapat bahwa kecemasan para guru ini disebabkan kurangnya keterampilan guru dalam menggunakan metode belajar aktif yang dapat membantu para siswa dalam membangun karakter. Serta kurangnya pengetahuan terhadap penggunaan teknologi sebab UKG kali ini dilaksanakan secara online yang menyebabkan para guru harus memiliki sebuah Komputer jinjing guna membantu proses pengujian.

Kesulitan di antaranya, bagi para guru yang usianya mendekati masa Pensiun barangkali hal ini menjadi momok. Di usia renta, di mana kemampuan untuk belajar hal baru sudah sulit, saat diharuskan mempelajari menggunakan Gadget seperti laptop tentu akan menjadi sulit.

Harus Menjadi Teladan

Kembali pada prahara pendidikan berkarater tadi, sebelum mencuat ke permukaan. Lagi-lagi Ki Hajar Dewantara telah lama merancang model pendidikan seperti ini. Masih ingatkah slogan Ing Ngarso Sung Tulodo dan Ing Madyo Mangun Karso. Jika si pendidik berada di depan, maka ia harus bisa menjadi teladan, dan jika posisinya dalam pergaulan/di tengah-tengah peserta didik maka si pendidik harus dapat membangkitkan semangat dan motivasi peserta didik.  Tak salah jika bapak pendidikan diberikan kepada beliau atas dedikasinya dalam dunia pendidikan yang hingga kini masih sangat berguna.

Jika para tenaga didik kita menerapkan slogan Ki Hajar Dewantara di atas tentu sudah dari dulu kita memiliki generasi emas. Pendidikan kita cenderung menciptakan robot-robot berjalan yang otaknya terkotak-kotak selama beberapa tahun silam. Barulah kini kita seolah-olah menemukan kembali ajian pusaka yang lama terselip di antara buku-buku tua yang tak pernah dibuka.

Faktanya hingga sekarang juga masih banyak pendidik yang hanya melaksanakan tugasnya mengajar di dalam kelas, tanpa berpikir bagaimana membentuk karakter para peserta didiknya. Juga tanpa memperdulikan slogan bapak pendidikan yang hari lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional tersebut.

Padahal jika diterapkan, artinya kita harus menjadi sosok yang baik di depan para siswa. Pendidikan karakter sejatinya bukan hanya diterapkan melalui administrasi yang berorientasi pada berkas dan dokumen belaka. Seperti halnya Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang merupakan berkas wajib para guru. Dalam RPP memang perlu dituliskan karakter yang ingin dicapai. Nah, ini yang menjadi masalah. Pendidikan berkarakter bukan hanya berorientasi pada RPP saja, tapi bagaimana membangunnya dalam kehidupan sehari-hari siswa.

Sebagai seorang guru, kitalah yang patut menjadi contoh untuk para siswa. Guru harus mampu memberikan tauladan kepada siswanya sebagai orang yang berkarakter baik. untuk itu tentu guru dulu yang harus memiliki karakter agar bisa ditiru oleh siswa. Sebagaimana slogan pendidikan yang lain, guru itu digugu dan ditiru.

Tidakla mungkin seorang guru menasehati muridnya untuk disiplin dalam kehidupan sehari-hari sementara ia selalu terlambat masuk ke dalam kelas, dan tidaklah mungkin guru menyuruh siswa untuk tidak merokok sementara ia sendiri perokok berat di dalam kelas pula.

Pendidikan karakter terbaik telh dicontohkan oleh Rasullulah Saw, beliau benar menjadi teladan setiap umatnya melalui akhlaknya yang baik dan sempurna. Tanpa perlu administrasi apapun bahkan tanpa perlu berbicara, Rasul telah menjadi uswatun hasanah bagi umatnya. Hingga para sahabat pun memiliki akhlak yang baik pula.

Hal seperti itu yang harus dan wajib diterapkan para guru untuk membangun generasi emas bangsa. Menciptakan linkungan pendidikan yang berbasis karakter yang kemudian akan melahirkan output orang-orang yang berkarakter pula. Model pendekatan layaknya sang Rasul tunjukkan perlu kita kaji lebih dalam agar kemudian kita terapkan pula pada para peserta didik kita. Mari kita (para guru) terus berupaya menciptakan generasi muda bangsa yang kelak akan membangun Negara kita. ***
Penulis adalah Guru di SMK Budi Agung Medan.

Popular posts from this blog

Apa yang Dihasilkan Politik Kampus?

Bicara soal politik, rasanya ta k sedikit orang yang ingin terjun. Entah apa sebabnya, namun hal ini sudah menjadi rahasia umum. Meskipun persentase kemenangan kecil, tetap saja banyak calon legislatif yang rela mengeluarkan sedikit uang untuk kampanye. Tak hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau kalah dalam hal berpolitik. Politik masuk ke Universitas-Universitas. Spanduk bertebaran di gedung-gedung, mengajak masyarakat kampus untuk memilih dan mencoblos tuannya. Mahasiswa yang menilai dirinya sebagai aktifis cenderung terjun kedalam politik kampus. Dan berbondong-bondong mendirikan serta menjalankan partai politik mereka sendiri. Alasan yang dikemukakan tentunya alasan yang sama seperti yang kita dengar dari politikus-politikus handal di televisi. "Memperjuangkan aspirasi rakyat (dalam hal ini mahasiswa) ". 

Tak Ada Lagi Topi Kerucut dan Kalung Petai

Oleh: Nur Akmal IKUTI MPLS: Peserta didik baru SMK Negeri 1 Medan mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Seluruh peserta didik baru tak lagi memakai atribut berbau perploncoan sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa (Foto : Nur Akmal) Hujan  sejak subuh masih menyisakan awan gelap dan udara yang dingin, namun tak menggoyahkan semangat siswa-siswa baru untuk hadir pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Pakaian mereka putih bersih, rapi dan tampak masih baru. Mereka berbaris rapi menantikan satu persatu aktivitas Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang tahun ini dikendalikan sepenuhnya oleh guru. "Selamat datang di SMK Negeri 1 Medan, dalam sesi ini kita akan membahas budaya dan tata terbit sekolah," demikian SJ Simamora, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat dan Industri menyapa para peserta didik baru di lapangan SMK Negeri 1 Medan yang diberi tenda agar siswa tak terkena hujan.

Pagar Api dan Berita Titipan Media Massa

Jika dulu sering kita lihat dalam suatu scene sebuah film yang menampilkan gambar blur pada suatu merek dagang yang tanpa sengaja tertangkap kamera. Kini agaknya tak banyak lagi kita temui, malah secara terang-terangan pelbagai merek dagang terpampang jelas di hampir setiap scene film, bahkan merambah pada media massa seperti suratkabat. Iklan memang dibolehkan, tapi pagar api perlu diperhatikan.