Skip to main content

Menulis Buku, Siapa Takut?


Indonesia hingga kini setiap tahunnya hanya menerbitkan buku kurang dari 18.000 judul per tahun. Rasanya jumlah tersebut cukup besar, namun jika ditilik dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 237.556.363 jiwa (menurut Sensus Penduduk 2010) jumlah terbitan buku per tahun tersebut masih tergolong rendah. Apalagi jika dibandingkan dengan Jepang (40.000 judul per tahun), India (60.000) dan China (140.000)-baca Kompas (25/6).
Ini kembali mengorek ingatan kita ketika November 2011 lalu, Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi membubarkan Dewan Buku Nasional. Alasanya karena lembaga yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 1999 tersebut tidak menunjukkan kinerja yang baik.

Sekedar informasi, tugas lembaga tersebut ialah merumuskan kebijakan dan strategi pengembangan industri buku dan distribusi buku, minat dan kegemaran baca tulis masyarakat, kemampuan sumber daya manusia, pengumpulan dan pengkajian data informasi perbukuan, kerja sama luar negeri serta pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan.

Meski diketahui lembaga non struktural tersebut tidak menunjukkan kinerja yang baik, tapi tindakan membubarkan Dewan Buku Nasional tersebut seakan menjadi cambuk bahwa kita tidak mementingkan permasalahan industri pembukuan di negeri ini sebagai salah satu aspek penting dalam pembangunan. Mestinya ada usaha untuk memperbaiki sebelum buru-buru membubarkan. Atau barang kali sudah ada usaha. Tapi nasi sudah menjadi bubur, Dewan Buku Nasional sudah dibubarkan.

Kembali ke permasalahan sedikitnya produksi buku tahunan kita, ada banyak faktor yang menyebabkan rendahnya produksi buku Negara ini. Tak lain adalah, rendahnya daya beli dan minat baca. Kita mengakui, daya beli atau kemauan untuk membeli buku masyarakat masih rendah terutama generasi muda sekarang. Beberapa kali penulis membuat atau menemukan bazaar buku yang digelar di universitas tempat di mana penulis belajar, namun beberapa kali itu pula tampak sepi. Penjualan juga tidak terlihat. Hanya beberapa buku saja yang terjual selama bazaar dibuka.

Selain itu, masyarakat juga (atau mungkin juga kita) lebih suka membeli buku di pusat penjualan buku "murah". Di Medan dapat kita temui di Titi Gantung depan stasiun kereta api. Harga buku yang sangat miring memang menarik. Daya beli ini memang sangat dipengaruhi harga buku, buku berkualitas memang tak jarang berharga tinggi.

Sejatinya buku merupakan gudang ilmu, apapun jenis bukunya. Untuk itu membaca buku merupakan suatu aktivitas yang urgen dilakukan bagi orang yang haus akan ilmu. Kita perlu menuliskan ide dan gagasan kita agar orang lain dapat membacanya. Mungkin buku bukan satu-satunya sarana. Tapi paling tidak begitulah cara berbagi ilmu.

Melahirkan Penulis Muda

Barangkali pembaca pernah mendengar novel berjudul Kecil Kecil Punya Karya, penulis novel tersebut adalah seorang anak bernama Nuha yang berumur 12 tahun. Bagaimana di usia semuda itu ia bisa menghasilkan sebuah novel? Selain Nuha, ada juga penulis cilik lain yang beberapa waktu lalu meluncurkan novel pertamanya, tebak usianya berapa? Kini ia masih berumur 10 tahun dan memegang rekor sebagai penulis termuda se-Sumatera Utara. Dengan novelnya Pohon Asam yang Seram, Vail si penulis cilik telah membuktikan bahwa usia bukan ukuran dalam ihwal menulis.

Penulis-penulis muda memang perlu lebih banyak dilahirkan. Sebab di usia produktif seperti itulah minat membaca dan menulis mudah untuk dirangsang. Hingga dengan keproduktifannya diharapkan mampu pula untuk menghasilkan buku-buku yang berkualitas.

Minat menulis buku perlu dituangkan kepada siswa, sebab ketika diberikan motivasi dalam hal menulis di usia dini kedepan akan lebih mudah baginya untuk melahirkan sebuah karya. Menulis berbeda dengan skill kebahasaan lain seperti Membaca dan Mendengar. Menulis adalah kemampuan aktif yang mengharuskan seseorang untuk berpikir. Bagaimana menyusun ide menjadi sebuah kata-kata di atas kertas menjadi sebuah tantangan bagi guru untuk mengajari para siswa.

Untuk itulah sudah saatnya diterapkan pula guru wajib menulis. Banyak keuntungan yang didapat jika semua guru dan dosen Indonesia mampu menulis. Paling tidak menulis di media massa. Misalnya jika dosen mampu menulis dengan baik, mudah baginya untuk membedakan mana skripsi yang tempahan dan bukan.

Selain itu keterbiasaan dalam menulis pun mampu melancarkan seseorang dalam berbicara. Faktanya menyusun ide dalam tulisan lebih sulit dari hanya berbicara. Kecuali dalam beberapa kasus tertentu. Ketika seseorang sudah terbiasa menyusun ide dan gagasannya dalam tulisan bukan hal sulit ketika menyampaikan gagasan lewat bicara. Jadi mari kita mulai menulis (buku) dan melahirkan Penulis pula.

Tantangan 

Ramalan oleh Thomas Mayer tentang industri cetak yang akan mati suatu hari nanti karena persaingan dengan teknologi yang semakin canggih menjadi sebuah tantangan pula bagi penerbit buku dan penulis.

Ada hal menarik dalam hal ini, katakanlah media cetak seperti koran juga akan gulung tikar karena teknologi digital, berarti nasib buku dan majalah atau koran akan sama. Namun semangat Pemimpin Umum Harian Kompas patut diapresiasi. Ia mengatakan Koran (Percetakan) tidak akan mati, karena orang akan selalu rindu suara gesekan kertas ketika halaman dibuka.

Meski E-paper, atau E-book juga memiliki suara gesekan kertas ketika halaman dibuka, namun tidak "serenyah" suara kertas asli dari buku. Lagi pula menurut pendapat penulis sendiri, meskipun buku elektronik sudah banyak beredar, para pencinta buku kertas tetap masih setia, sebab bagaimanapun praktisnya teknologi tetap memiliki kelemahan. Misal E-book yang dibaca via laptop membuat pembaca tidak leluasa dalam membaca, bahkan tablet sekalipun tak memberikan kenyamanan membaca seperti membaca buku. Apa mungkin ada orang yang membuka tablet di angkutan umum?

Terakhir, barangkali salah satu alasan kenapa penulis buku di Indonesia masih belum tergerak hatinya adalah karena royalti yang kecil dari penerbit. Membuat beberapa penulis berpikir bahwa menulis artikel di media massa lebih menjanjikan. Padahal gampang saja, tulislah dengan sebaik mungkin. Jika buku menjadi best seller bahkan mega-best seller meski royalti hanya 15 % tapi penjualannya meledak hingga cetakan ke 10 misalnya, penulis pun bak kejatuhan durian. Lihat saja bagaimana kesuksesan Andrea Hirata, Habbiburrahman El-Shirazy atau yang lebih fenomenal, JK Rowling. Bisa menjadi salah satu orang terkaya di Inggris.

Untuk itu, mari kita berbagi ilmu dengan menulis buku dan mengedarkannya kepada masyarakat agar kita ikut andil dalam pembangunan bangsa melalui jalur kreatif seperti menulis. Perlu banyak penulis-penulis muda yang kelak akan membangun bangsa ini. Tulisan tak hanya sekadar menghibur, tapi juga mampu memberikan ilmu yang bermanfaat bagi pembacanya. Mari menulis (buku) agar kita abadi.*** 

Penulis adalah Mahasiswa FKIP UMSU, Pimpinan Redaksi Persma Teropong yang sedang menulis Buku.
DImuat di Harian Analisa, Jum at 31 Agustus 2012

Popular posts from this blog

Apa yang Dihasilkan Politik Kampus?

Bicara soal politik, rasanya ta k sedikit orang yang ingin terjun. Entah apa sebabnya, namun hal ini sudah menjadi rahasia umum. Meskipun persentase kemenangan kecil, tetap saja banyak calon legislatif yang rela mengeluarkan sedikit uang untuk kampanye. Tak hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau kalah dalam hal berpolitik. Politik masuk ke Universitas-Universitas. Spanduk bertebaran di gedung-gedung, mengajak masyarakat kampus untuk memilih dan mencoblos tuannya. Mahasiswa yang menilai dirinya sebagai aktifis cenderung terjun kedalam politik kampus. Dan berbondong-bondong mendirikan serta menjalankan partai politik mereka sendiri. Alasan yang dikemukakan tentunya alasan yang sama seperti yang kita dengar dari politikus-politikus handal di televisi. "Memperjuangkan aspirasi rakyat (dalam hal ini mahasiswa) ". 

Tak Ada Lagi Topi Kerucut dan Kalung Petai

Oleh: Nur Akmal IKUTI MPLS: Peserta didik baru SMK Negeri 1 Medan mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Seluruh peserta didik baru tak lagi memakai atribut berbau perploncoan sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa (Foto : Nur Akmal) Hujan  sejak subuh masih menyisakan awan gelap dan udara yang dingin, namun tak menggoyahkan semangat siswa-siswa baru untuk hadir pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Pakaian mereka putih bersih, rapi dan tampak masih baru. Mereka berbaris rapi menantikan satu persatu aktivitas Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang tahun ini dikendalikan sepenuhnya oleh guru. "Selamat datang di SMK Negeri 1 Medan, dalam sesi ini kita akan membahas budaya dan tata terbit sekolah," demikian SJ Simamora, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat dan Industri menyapa para peserta didik baru di lapangan SMK Negeri 1 Medan yang diberi tenda agar siswa tak terkena hujan.

Pagar Api dan Berita Titipan Media Massa

Jika dulu sering kita lihat dalam suatu scene sebuah film yang menampilkan gambar blur pada suatu merek dagang yang tanpa sengaja tertangkap kamera. Kini agaknya tak banyak lagi kita temui, malah secara terang-terangan pelbagai merek dagang terpampang jelas di hampir setiap scene film, bahkan merambah pada media massa seperti suratkabat. Iklan memang dibolehkan, tapi pagar api perlu diperhatikan.