Menarik sekali
membaca ulasan Arman Bemby Sinaga, tentang, kalau boleh saya sebut, analisanya
atas ucapan Mentri Pendidikan dan kebudayaan, M Nuh, yang menyatakan bahwa
hukuman bagi siswa dilingkungan sekolah adalah sah-sah saja. Artikelnya di muat
di media ini (Harian Analisa) pada Sabtu, 29 September 2012 lalu. Menurutnya
hukuman fisik sama sekali tidak mendidik dan penyataan M Nuh sama sekali
merusak citra dunia pendidikan.
Penulis tidak
bermaksud membuat tulisan tandingan atau semacamnya. Namun rasanya penulis
perlu untuk melanjutkan tulisan tersebut. Dalam tulisannya, Arman mengatakan
bahwa dunia pendidikan harus benar-benar bebas dari yang namanya hukuman. Saya
sependapat dengan apa yang diutarakan. Bahwa pendidikan secara teoritis memang
harus bebas dari kata hukuman. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah
semua sekolah mampu menerapkan suasana sekolah tanpa hukuman?
Penulis tidak
bermaksud mendukung apa yang dikatakan oleh Mentri Pendidikan, dengan menyutujui
pendapatnya soal hukuman fisik di sekolah. Penulis sendiri juga menganut ilmu
teoritis yang banyak diajarkan di kelas maupun melalui buku-buku pendidikan
yang menyatakan bahwa tidak boleh ada hukuman fisik di sekolah.
Namun faktanya,
tidak sedikit sekolah yang masih menerapkan sistem otoriter, dengan melakukan
hukuman fisik kepada muridnya. Seorang guru, masih sering kita jumpai yang
dengan gampangnya memukul, mencubit, atau menjitak kepala muridnya yang
melakukan kesalahan. Padahal itu akan menimbulkan dampak traumatik kepada anak.
Namun jika
dikatakan Arman Bemby, bahwa hukuman benar-benar harus dihindari, penulis rasa
belum dapat dilakukan. Barangkali saudara Arman mengajar di sekolah yang (maaf)
sudah “bagus”. Dengan anak yang memang karakternya sudah terbentuk. Sementara
tidak semua sekolah memiliki siswa yang seperti itu.
Menariknya
tulisan tersebut saya diskusikan dengan beberapa guru dan kepala sekolah tempat
penulis mengajar. Setiap siswa mempunyai sifat pemberontak. Yang tidak dapat
diatur hanya dengan cakap-cakap saja. Terkadang guru juga sering kali dilema
ketika harus memberikan hukuman kepada siswa.
Ironisnya
penulis pernah menonton berita yang disiarkan oleh salah satu saluran TV swasta
yang menceritakan bahwa seorang siswi SMA yang melapor kepada polisi karena
dicubit gurunya hingga ada bekas cubitan dibagian lengan. Jujur, penulis dan
mungkin juga pembaca sendiri saat di sekolah pernah diperlakukan demikian. Tapi
tak ada satupun dari teman penulis saat itu yang melapor ke polisi.
Sederhananya,
tidak mungkin ada guru yang menghukum tanpa ada tidakan yang salah dari siswa.
Hanya saja, memang penulis akui terkadang banyak guru yang menghukum siswa
secara berlebihan dan bahkan tidak ada hubungannya dengan kesalahan yang
dilakukan siswa. Sama seperti contoh yang disampaikan dalam artikel saudara
Arman, anak-anak yang tidak mengerjakan PR dan Terlambat disuruh berdiri atau
jongkok di depan kelas.
Namun hal lain
yang juga saya tangkap adalah bahwa penulis artikel berjudul “Hukuman Fisik
Untuk Siswa Sah-sah Saja?” itu menginginkan untuk sama sekali tidak ada kata
hukuman di sekolah. Sementara dalam contoh yang diberikan saat seorang anak
tidak mengerjakan PR maka ia harusnya diminta untuk mengerjakan PR saat itu
juga, atau diberi waktu satu hari kedepan.
Saya berpendapat
bahwa hal semacam itu juga disebut hukuman. Dengan meminta siswa mengerjakan PR
di sekolah, itu akan menghambat siswa untuk mengikuti pelajaran berikutnya.
Memang itu jenis hukuman yang logis atas kesalahan yang dilakukannya.
Hukuman Sebagai Sarana Belajar
Saya kira semua
sependapat bahwa hukuman fisik itu tidak mendidik, namun jika tanpa hukuman
sama sekali, yang ada siswa menjadi tidak menghargai peraturan yang
diberlakukan dan guru sendiri. Jika tidak ada tindakan dari guru terhadap siswa
yang tidak mengerjakan PR atau terlambat datang maka kedepannya siswa akan
terus tidak mengerjakan tugas dan akan terus terlambat.
Jadi menurut
hemat penulis hukuman masih dibutuhkan. Namun sekali lagi penulis tekankan
bahwa hukuman fisik bukanlah jenis hukuman yang tepat. Hukuman fisik memang
hanya akan menimbulkan trauma yang mengakibatkan jera sesaat saja. Misal akan
merapikan pakaian jika hanya berpapasan dengan guru yang dianggap kejam, atau hanya mau disuruh
diam jika hanya guru tersebut yang meminta.
Namun diluar itu
tingkah para siswa kembali seperti sedia kala. Artinya hukuman fisik tidak
memberikan efek jera dalam jangka panjang. Apa lagi menimbulkan kesadaran.
Namun hukuman saya rasa memang diperlukan, hanya saja tidak bersifat fisik
melainkan hukuman yang mendidik. Penulis pernah menemukan sekolah yang
menghukum siswa yang terlambat dengan mewajibkan siswa yang terlambat untuk
shalat dhuha (bagi yang muslim), sementara siswa non muslim disuruh menuliskan
ayat ayat dari kitab sucinya. Atau dengan melafalkan percakapan dalam bahasa
inggris dalam beberapa menit dan kemudian siswa dibolehkan masuk kedalam kelas.
Selain itu perlu
juga bimbingan dan council dari guru
dalam memotivasi siswa untuk memahami tindakan positif dan negatif. Hingga
peranan Guru Bimbingan Konseling menjadi lebih meningkat, dan setara guru
pengampu mata pelajaran. Bukan maksud saya untuk menyerahkan segala urusan
mendidik kepada guru BK semata, sedangkan guru pengampu hanya mengajarkan mata
pelajarannya saja. Namun guru juga harus membuat langkah pemberian motivasi
dalam menantang masa depan yang cerah dalam setiap Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) yang akan digunakan untuk mengajar. Hingga inggar so suntulodo, ing madyo mangun karso
milik Ki Hajar Dewantara benar diterapkan.
Sekali lagi,
tulisan ini saya buat bukan bermaksud menandingi atau mengomentari tulisan
senior Arman Bemby Sinaga, melainkan untuk menuangkan keluh kesah saya tentang
dilemanya menjadi seorang guru. Karena saya juga adalah seorang (calon) guru. ***
Penulis adalah Mahasiswa FKIP UMSU, Pimpinan Redaksi
Pers Mahasiswa Teropong
Dimuat di harian Analisa 16 November 2012