Kurikulum
baru 2013 punya ciri khas yang menuai beberapa pertanyaan, baik dari kalangan
orang awam, akademisi, hingga para pakar pendidikan. Beberapa di antaranya
adalah, penambahan jam belajar, hilangnya mata pelajaran IPA dan IPS pada
jenjang Sekolah Dasar, hingga tidak ada lagi penjurusan pada jenjang SMA. Kurikulum
baru yang hangat dibicarakan belakangan ini bersamaan dengan keluarnya hasil
Trends In Internasional Mathematics and Science Studies (TIMSS) 2011, yang boleh
jadi merupakan cikal bakal diturunkannya “menu” kurikulum 2013.
Dalam
hasil yang direalese beberapa waktu
lalu ini membuktikan bahwa nilai rata-rata matematika siswa kelas VIII hanya
386 dan menempati urutan ke-38 dari 42 negara jauh tertinggal dari negara
tetangga Malaysia dan Thailand, sedangkan Singapura berada pada urutan ke kedua
dengan nilai rata-rata 611.
Selain
Matematika, hasil Sains juga tidak kalah miris, Indonesia berada pada urutan ke
2, tapi dari belakang. Yakni urutan ke-40 dari 42 negara. Bahkan di bawah
negara Palestina yang negaranya tengah dilanda konflik. Tidak jelas apakah
kurikulum baru 2013 dibuat berdasarkan hasil yang dikeluarkan oleh TIMSS ini
atau tidak, wacana tentang adanya kurikulum baru 2013 rasanya baru mencuat
sekarang, meski katanya sudah lama dirancang.
Yang
jelas baru saja kemarin Menteri Pendidikan, M Nuh mengatakan bahwa kurikulum
2013 ini berbasis pada sains. Boleh jadi karena memandang nilai sains siswa
kita saat ini masih rendah dan jauh di peringkat belakang. Bukan maksud saya
memandang rendah negara kita, bukan pula saya tidak mencintai bangsa sendiri.
Tapi itulah kenyataannya. Jika meminjam apa yang dikatakan Elin Driana, Dosen
Universitas Muhammadiyah Prof. DR Hamka Jakarta, bahwa pendidikan kita sedang
dalam masa gawat darurat.
Kita
masih punya pahlawan-pahlawan pendidikan Indonesia yang turut mendongkrak nama
bangsa khusunya dalam bidang pendidikannya. Pada ajang Internasional Physics Olympiad
(IPhO) 40 di Merida Meksiko, Juli 2009. IphO ke 40 sebagai ajang olimpiade
fisika SMA sedunia diikuti oleh 316 siswa dari 71 negara. Tim Indonesia
berhasil merebut 1 medali emas, 3 medali perak, dan 1 perunggu. Prestasi mereka
sangat luar biasa. Namun kita harus mengakui bahwa itu merupakan prestasi
individual yang akan langsung tereduksi saat dibandingkan dengan prestasi
global pelajar seluruh Indonesia. Kita jangan terbuai dengan hal itu.
“Penghilangan” IPA dan IPS
Dalam
kurikulum baru ini, muncul pula gagasan pembelajaran tematik integratif, yakni
“penghilangan” mata pelajaran IPA dan IPS dalam tingkatan Sekolah Dasar.
Sebenarnya dikatakan penghilangan pun bukan hilang sama sekali, tematik
integratif maksudnya adalah mata pelajaran IPA dan IPS dimasukkan atau
digabungkan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia sebagai bentuk konkret menuju
wacana baru.
Setiap
mata pelajaran pada hakikatnya memiliki karakter tersendiri. IPA, IPS dan
Bahasa Indonesia punya karakter dan logika yang berbeda. Bagaimana
meng-Integratifkan IPA, IPS dan Bahasa Indonesia sekaligus dalam 1 mata
pelajaran bukanlah hal yang mudah. Mungkin akan menimbulkan distorsi dari
setiap mata pelajaran, misal tidak bisa mengajarkan mata pelajaran Bahasa dengan
baik karena disela-sela itu harus mengajar IPA, atau tidak bisa mengajar IPA
secara gamblang karena harus mempelajari bahasa juga, begitu seterusnya.
Perbaikan Infrastruktur
Masa
uji publik kurikulum 2013 akan segera berakhir. Hasil yang didapat adalah
berupa 3 alternatif. Alternatif yang pertama, kurikulum 2013 tetap dijalankan
sesuai rencana awal, yang kedua, jalan sesuai rencana namun dengan perbaikan
dan menyerap masukan masyarakat. Dan alternatif ketiga ditunda saja sampai
semua infrastruktur siap. (Kompas, 19 Desember 2012).
Lantas
siapa dan apa saja infrastruktur itu? Menurut Iwan Pranoto dalam artikelnya “Kasmaran
Berilmu Pengetahuan” Ada tiga jenis kurikulum dengan tiga tataran yang berbeda,
yakni kurikulum tertulis, kurikulum yang diajarkan guru dan kurikulum yang
dipelajari siswa. Faktanya saat ini kurikulum tertulis kita sudah berubah
hingga sebanyak 9 kali perubahan kurikulum
pendidikan di Indonesia. Yaitu kurikulum 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984,
1994, 2004 dan 2006. Kurikulum yang hingga 9 kali diganti itu adalah kurikulum
yang tertulis. Mudah saja memang mengganti kurikulum yang tertulis sebab itu
merupakan benda mati.
Nah sekarang bagaimana dengan kurikulum
lain selain kurikulum tertulis? Faktanya kebanyakan kebijakan pendidikan tidak
menekankan pada perbaikan kualitas guru sebagai ujung tombak pendidikan. Faktor
guru, jumlah dan kompetensi selama ini hanya ditempatkan sebagai pelaksana.
Untuk itu guru juga perlu dipersiapkan dalam menghadapi kurikulum 2013. Sebab
jika tidak disiapkan akan terjadi ketimpangan antara kurikulum tertulis dengan
kurikulum yang diajarkan.
Barangkali anda sebagai siswa, guru,
wali murid, orangtua, pasti merasakan bahwa sejak 9 kali dirubah, tidak ada
perubahan cara mengajar yang signifikan dari guru. Misalnya hingga sekarang
masih banyak guru yang mengajar dengan metode CBSA (Catat Buku Sampai Abis),
bayangkan betapa kesalnya seorang siswa (biasanya sekretaris kelas) ketika guru
masuk dia disuruh mencatat apa yang ada di buku paket untuk dicatat teman sekelasnya
di buku catatan. Ini metode lama, dan masih banyak terjadi.
Kurangnya pelatihan guru berkompeten
juga menjadi salah satu penyebab tidak jalannya kurikulum dengan baik. Dalam
buku “Gurunya Manusia” yang ditulis Munir Chatib seorang konsulltan pendidikan
sekaligus penggagas Sekolahnya Manusia. Seorang guru punya 3K + 1H (3 kewajiban dan 1 Hak). Yakni kewajiban
membuat perencanaan Pembelajaran, kewajiban mengajar dan kewajiban melakukan
evaluasi, sedangkan hak yang dimiliki guru adalah hak untuk belajar.
Sangat tidak adil rasanya jika guru hanya diberikan tugas untuk
mengajar namun tidak pernah diberikan
waktu untuk belajar. Banyak hal yang masih perlu dipelajari oleh guru, apalagi
saat masuk dalam tahapan penerapan kurikulum baru.
Namun yang banyak terjadi adalah,
beberapa guru yang bersikap masa bodoh, dan acuh tak acuh terhadap hasil
belajar siswa, apalagi sampai melakukan cuci rapot segala. Yang penting semua
nilai harus tuntas. Penulis pikir ini disebabkan karena kurangnya reward untuk
guru. Terutama honorer. Kenapa sekarang guru masih harus mengajar di beberapa
sekolah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya? Jika guru hanya mengajar untuk satu
sekolah saya pikir guru pasti bisa bersikap lebih profesional. Kita perlu
belajar dari Finlandia yang anggaran negaranya untuk pendidikan mendapatkan
prioritas utama di antara bidang lainnya.
Infrastruktur yang lain adalah buku,
kembali ke permasalahan tematik integratif tadi, tentu perlu buku-buku
penunjang pembelajaran yang baru pula. Tematik integratif merupakan hal baru,
jadi perlu konsep yang lebih terarah agar guru juga bisa menerapkannya dalam
proses pembelajaran. Beda kurikulum maka beda pula bukunya. Jadi semua sektor
perlu diperbaiki lagi atau paling tidak kurikulum KTSP perlu dievaluasi lebih lanjut
implementasinya, sebab tidak menutup kemungkinan tidak memadainya
infrastrukturlah yang menjadi penyebab “kegagalan” tersebut. ***
Penulis
adalah mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UMSU alumni Persma
Teropong