Skip to main content

Mewaspadai Kesenjangan Di Tengah Pertumbuhan Ekonomi


Gembar - gembor tentang pertumbuhan ekonomi negara yang tengah membaik pada saat ini mungkin menjadi salah satu kado spesial dalam penyambutan tahun baru 2013. Santer diberitakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia kini meningkat sebanyak 6 %. Ini semakin memperkokoh posisi Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang di dunia. Bersama sdengan India dan China, Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara Asia yang memiliki rekam jejak positif pertumbuhan ekonomi, namun pertumbuhan ekonomi ini patut pula diwaspadai. Sebab beriringan dengan hal tersebut, kesenjangan ekonomi pun semakin melebar.


Dari data yang penulis ambil melalui litbang Kompas, tentang Ketimpangan Ekonomi Indonesia, kemiskinan di wilayah barat dan timur Indonesia, di wilayah barat dengan rata-rata 10,01 %, di tempat tertinggi ada Aceh dengan 19,46 % sedangkan yang terendah ditempati DKI Jakarta (3,69 %) , sementara untuk wilayah timur, posisi tertinggi (bahkan di Indonesia) ditempati Papua (31,11%) dan yang terendah adalah Sulawesi Utara (8,18 %).

Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat, kita lantas tak boleh tertidur alias dininabobokan oleh berita tersebut. Kesenjangan ekonomi pada konsentrasi aset fisik dan non fisik di beberapa daerah masih sangat terlihat. Dua kubu yang jelas berbeda melalui kasat mata. Aset fisik berupa tanah, bangunan dan saham, sedangkan aset non fisik berupa pendidikan dan kesehatan masih terlihat timpang antara di kota dan desa. Antara kalangan atas, menengah dan bawah.

Bagai kalangan menengah ke atas tentu mereka bisa memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anak mereka, juga kesehatan yang baik pula. Dengan demikian kedepannya, anak-anak mereka akan mampu bahkan jauh lebih produktif dibandingkan anak dari kalangan menengah bawah yang tak mampu memberikan pendidikan dan kesehatan yang standar.

Kesenjangan dalam Pendidikan

Ketidak merataan pendidikan dan kesehatan di negeri ini memang menjadi ironi dan perrbincangan yang tiada habisnya untuk di ulas. Bahkan beberapa novel dan film sudah banyak mengangkat soal ketimpangan yang terjadi ini. Lihat saja kisah Lintang dalan Novel Laskar Pelangi milik Andrea Hirata. Lintang, seorang anak yang cerdas, yang membawa sekolah “miskin”nya menjuarai lomba cerdas cermat harus memutuskan pendidikannya karena masalah biaya, ketika ayahnya telah tiada.
               
Seharusnya lintang dalam novel tersebut, serta lintang-lintang lain yang ada di negeri ini mampu untuk melanjutkan sekolahnya hingga jenjang tertinggi. Atau ketika anak-anak dengan pakaian sekolah mereka harus bergelantungan di jembatan yang rusak parah demi mengejar cita-cita mereka.

Sejatinya pendidikan merupakan modal awal dalam mensejahterakan rakyat. Untuk itu campur tangan pemerintah mutlak diperlukan dalam memperbaiki kondisi tersebut. Dari pada memberiikan subsidi energi yang sering tidak tepat sasaran di beberapa daerah, lebih baik uangnya diperbanyak dalam hal penyaluran beasiswa di daerah-daerah pelosok di negeri ini.

Selain itu, perlu juga pemerataan guru-guru profesional untuk daerah terpencil. Sebab mencari guru profesional tidak lah mudah. Gerakan Indonesia Mengajar yang diketuai oleh Anies Baswedan perlu diperbanyak. Agar siswa-siswa di daerah minimal bisa mengimbangi pendidikan di perkotaan dari segi kemampuan guru dan siswa. Meski dari segi sarana dan prasarana masih tertinggal.


Kesenjangan dalam Kesehatan

Kesehatan pun menjadi salah satu aspek penting yang wajib dijaga dari kesenjangan. Slogan orang miskin tak boleh sakit masih saja sering terdengar. Belakangan malah mencuat berita seputar meninggalnya seorang pasien, yang masih anak-anak, meninggal karena ruangan ICU yang seharusnya ia gunakan karena kondisinya sedang dipakai untuk keperluan syuting sebuat sinetron, yang mendapat penghargaan, di salah satu stasiun TV swasta. Seolah kepentingan syuting jauh lebih “berharga” dan “bernilai” dari nyawa seseorang. Berita itupun mengiris hati masyarakat.

Barangkali pemakaian rumah sakit untuk keperluan syuting dibayar mahal. Atau menurut sumber lain yang saya baca, pemakaian rumah sakit untuk keperluan syuting tidak hanya demi uang, tapi juga demi ketenaran rumah sakit. Jika rumah sakit sering tampil di TV maka seakan-akan rumah sakit itu menjadi terkenal dan banyak orang akan berobat kesana.

Kesenjangan itu pun semakin terlihat kala orang tidak mampu diterlantarkan di beberapa rumah sakit, sementara orang menengah atas bisa berobat hingga ke luar negeri. Andai saja kartu sehat ala Jokowi ada di semua pelosok negeri. Tapi tak cukup hanya kartu, penerapannya juga harus bersih.

Kembali ke data Litbang Kompas di atas, perihal tentang Indonesia timur yang kesenjangannya berada di posisi puncak. Menurut Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, sekaligus mantan Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri, Ginandjar Kartasasmita, hal ini disebabkan karena sumber daya alam di Indonesia timur yang melimpah dieksploitasi korporasi tanpa memberikan manfaat berati bagi rakyat selaku ahli waris tradisional. Keuntungan besar-besaran untuk pemodal, sementara rakyat hanya makan ampasnya. Kemana negara, kenapa absen dari tanggung jawabnya memeratakan kesejahteraan.

Untuk itulah perlu berul intervensi pemerintah selaku otoritas untuk mengawal hal ini demi menjalankan tugasnya untuk memeratakan kesejahteraan. Investor tetap diberikan kesempatan, namun rakyat selaku “pemilik tanah” juga berhak diberikan penghidupan yang layak. Jangan sampai keuntungan investor bisa jauh berlipat-lipat dari apa yang negara dan warga kita dapatkan. Kita perlu bersama-sama mewaspadai kesenjangan dan ratakan kesejahteraan. ***

Penulis adalah mahasiswa FKIP UMSU
dimuat di harian Analisa, Medan, Jum'at 4 Januari 2013







Popular posts from this blog

Apa yang Dihasilkan Politik Kampus?

Bicara soal politik, rasanya ta k sedikit orang yang ingin terjun. Entah apa sebabnya, namun hal ini sudah menjadi rahasia umum. Meskipun persentase kemenangan kecil, tetap saja banyak calon legislatif yang rela mengeluarkan sedikit uang untuk kampanye. Tak hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau kalah dalam hal berpolitik. Politik masuk ke Universitas-Universitas. Spanduk bertebaran di gedung-gedung, mengajak masyarakat kampus untuk memilih dan mencoblos tuannya. Mahasiswa yang menilai dirinya sebagai aktifis cenderung terjun kedalam politik kampus. Dan berbondong-bondong mendirikan serta menjalankan partai politik mereka sendiri. Alasan yang dikemukakan tentunya alasan yang sama seperti yang kita dengar dari politikus-politikus handal di televisi. "Memperjuangkan aspirasi rakyat (dalam hal ini mahasiswa) ". 

Tak Ada Lagi Topi Kerucut dan Kalung Petai

Oleh: Nur Akmal IKUTI MPLS: Peserta didik baru SMK Negeri 1 Medan mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Seluruh peserta didik baru tak lagi memakai atribut berbau perploncoan sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa (Foto : Nur Akmal) Hujan  sejak subuh masih menyisakan awan gelap dan udara yang dingin, namun tak menggoyahkan semangat siswa-siswa baru untuk hadir pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Pakaian mereka putih bersih, rapi dan tampak masih baru. Mereka berbaris rapi menantikan satu persatu aktivitas Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang tahun ini dikendalikan sepenuhnya oleh guru. "Selamat datang di SMK Negeri 1 Medan, dalam sesi ini kita akan membahas budaya dan tata terbit sekolah," demikian SJ Simamora, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat dan Industri menyapa para peserta didik baru di lapangan SMK Negeri 1 Medan yang diberi tenda agar siswa tak terkena hujan.

Pagar Api dan Berita Titipan Media Massa

Jika dulu sering kita lihat dalam suatu scene sebuah film yang menampilkan gambar blur pada suatu merek dagang yang tanpa sengaja tertangkap kamera. Kini agaknya tak banyak lagi kita temui, malah secara terang-terangan pelbagai merek dagang terpampang jelas di hampir setiap scene film, bahkan merambah pada media massa seperti suratkabat. Iklan memang dibolehkan, tapi pagar api perlu diperhatikan.