Skip to main content

Revitalisasi Kebhinekaan Sebagai Upaya Membangkitkan Nasionalisme


Sejak digunakannya semboyan Bhineka Tunggal Ika pada lambang negara Indonesia, dunia menjadi mengenal bangsa kita sebagai bangsa yang majemuk, bangsa yang memiliki keberagaman. Semboyan yang berarti “berbeda-beda namun satu jua” ini harusnya begitu melekat dalam diri setiap masyarakat Indonesia. Karena sejarahnya, semua perbedaan dan kemajemukan dalam diri bangsa ini menjadi satu, kala berjuang melawan penjajahan demi meraih kemerdekaan.


Asas itulah yang kemudian menciptakan rasa nasionalisme yang absolut dalam kehidupan masyarakat hingga bagai tak ada perbedaan semua bersatu bahu membahu menumbangkan kekuasaan penjajah di bumi pertiwi. Namun kini setelah 67 tahun Indonesia merdeka, sepertinya kebhinekaan mulai memudar. Bahkan pemahaman tentang semboyan bangsa itu pun tidak melekat lagi dalam diri manusia Indonesia terutama para pemuda. Hal ini berbanding lurus dengan semangat nasionalisme, jika kebhinekaan memudar, bukan tak mungkin rasa nasionalisme juga ikut teriris.

Mencuatnya pemberitaan tentang aksi kekerasan, tawuran antar pelajar dan mahasiswa, konflik, perang saudara dan antar suku, menunjukkan betapa kebhinekaan berjalan ke arah yang salah. Kebhinekaan (kemajemukan) dipandang bukan sebagai suatu aset yang berharga, namun dipandang sebagai ajang unjuk kekuatan.

Perbedaan malah menimbulkan kefanatikan  yang kemudian memunculkan kata “kita” dan “musuh” hingga kuatnya pengaruh “kekitaan” menghasilkan sikap sentimen terhadap segala sesuatu yang dianggap di luar dari kata “kita” tersebut. Maka terjadilah kekerasan antar kelompok. Contoh kecilnya adalah dua kelompok fans klub sepak bola, yang kerap kali memakan korban. Juga tawuran antar dua sekolah. Alasan solidaritas yang salah kaprah menjadi kambing hitam atas terjadinya perilaku yang tidak pantas tersebut.

Sejatinya perbedaan, kemajemukan, pluralitas, kebhinekaan atau apa pun sebutannya, harus menjadi sebuah alasan untuk bersatu dan hidup saling menghargai satu sama lain serta melahirkan rasa cinta terhadap tanah air. Jika kembali menilik sejarah bahwa meskipun Indonesia atau lebih pantas disebut Hindia Belanda saat itu, yang sudah sangat majemuk, memiliki kesadaran sebagai warga yang memiliki latar belakang yang sama. Kesadaran ini pula lah yang kemudian menjadikan penduduk Hindia Belanda dapat disebut sebagai suatu bangsa. Boleh dikatakan saat itu, meski banyak perbedaan namun hal itu tidak menjadi hambatan dalam merebut kemerdekaan. Sebab kebhinekaan itu sendirilah yang menimbulkan semangat cinta tanah air untuk merebutnya kembali dari tangan kolonialisme.

Empat Pilar Bernegara

Ada empat pilar bernegara yang sejatinya wajib dijunjung oleh masyarakat. Empat pilar bangsa itu adalah,  Pancasi, UUD 1945, NKRI dan Kebhinekaan. Ketika mecuat isu SARA yang menggoyang pilkada Jakarta beberapa waktu lalu, antara dua kandidat calon gubernur Jakarta, Foke-Nara dan Jokowi-Ahok, sempat dikhawatirkan menjadi bukti bahwa kebhinekaan Indonesia memang sudah memudar.

Untungnya hal ini buru-buru ditepis masyarakat Jakarta dengan kemenangan Jokowi-Ahok. Bahkan menurit ketua MPR, Taufiq Keimas, kemenangan Jokowi-Ahok merupakan bentuk kerinduan masyarakat terhadap pilar-pilar bernegara, dalam hal ini adalaah kebhinekaan. Sebab dalam kasus pencalonan Jokowi-Ahok, unsur kebhinekaan kian terasa. Hal itu pula lah yang sempat menjadi senjata untuk menggoncang rasa kebhinekaan tersebut.

Alhasil, penduduk DKI Jakarta dengan kesadaran sebagai suatu kelompok masyarakat yang memilki latar belakang serupa akan kekecewaan terhapat kinerja Kepala Daerah Incumbent tersebut  mencuatkan sikap nasionalisme—meski dalam lingkup yang lebih kecil ; Jakarta—untuk mencari pemimpin baru yang diharapkan akan mampu merubah kota kesayangan mereka tersebut.

Nah, itu adalah sebagian kisah sukses masyarakat dalam menjaga kebhinekaan. Kaitannya dengan nasionalisme adalah, nasionalisme yang datang dari sebuah janji saat rakyat pribumi berjalan dibawah penjajahan kolonialisme, telah membawa harapan baru bahwa setiap suku atau wilayah akan menjadi kekuatan besar jika bersatu. Dengan spirit kebhinekaan yang sudah digalakkan sejak masa Majapahit, Nasionalisme menjadi jawaban untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.

Tak cukup sampai disitu, spirit kemerdekaan yang katanya saat ini sudah memudar perlu di revitalisasi sebagai upaya membangkitkan kembali nasionalisme masyarakat kita. Jangan kebhinekaan ditinggalkan begitu saja termakan zaman dan hanya menjadi pajangan di bawah lambang negara, Garuda Pancasila semata.

Merevitalisasi Kebhinekaan

Tidak bisa dipungkiri, spirit kebhinekaan dan nasionalisme kini ada pada masa genting. Banyak masyarakat , terutama pemuda, yang sudah mulai apatis terhadap sejarah bangsanya sendiri. Padahal dulu kita sering diingatkan bahwa “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya”. Tapi sepertinya kini sejarah bangsa kita lebih banyak diminati bahkan diteliti oleh orang asing. Seperti Benedict Anderson yang menulis buku tentang Indonesia atau Film The Act of Killing yang menceritakan tentang sejarah PKI. Itu semua dibuat oleh bukan orang Indonesia, sementara kita menelan mentah-mentah karya mereka.

Selain itu, peran media dalam pemberitaan juga menimbulkan efek negatif terhadap melunturnya sikap nasionalisme masyarakat. Media memiliki porsi pemberitaan tentang kasus korupsi, tindak kekerasan, kriminal dan seksual yang jauh lebih besar dari pada pemberitaan tentang kearifan lokal serta cerita kepahlawanan tokoh “sunyi” ditengah masyarakat. Sehingga para guru menjadi repot dalam memberikan contoh tentang sikap pancasilais masyarakat itu sendiri. Hasilnya pelajaran tentang moral dan pancasila hanya menjadi teori yang tertulis di dalam buku.

Untuk itu pemahaman tentang kebhinekaan perlu lebih digalakkan lagi, dimulai dari sekolah dengan memberikan motivasi tentang betapa pentingnya kebhinekaan serta motivasi dalam mencintai tanah air sebagai buah dari perjuangan para founding father serta para pahlawan yang sudah berjuang hingga gugur di medan perang.

Selain itu media juga perlu mengusung semangat nasionalisme melalui pemberitaan yang disiarkan. Bukan semata-mata memberitakan tentang betapa bobroknya negara ini. Paradigma Bad News is A Good News sudah layaknya dirubah menjadi Good News is a good news too. Bukan saya meminta media untuk menjadi penjilat dan tidak bebas. Tapi saya kira media juga memiliki fungsi dan peran sebagai pembentuk opini publik.

Melalui gerakan Revitalisasi Kebhinekaan, semoga dapat membangkitkan kembali semangat nasionalisme terutama untuk para pemuda sebagai ujung tombak suatu bangsa. Bayangkan saja jika pemuda tak lagi memiliki spirit nasionalisme, serta tidak menjunjung tinggi kebhinekaan. Maka lambat laun negara ini akan menjadi negara amburadul sebab tak ada lagi yang menjunjungnya sebagai tanah air dan tak ada lagi yang mencintai ibu pertiwi. ***

Penulis adalah mahasiswa Fakutas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UMSU
Di muat di Harian Analisa 10 November 2012




Popular posts from this blog

Apa yang Dihasilkan Politik Kampus?

Bicara soal politik, rasanya ta k sedikit orang yang ingin terjun. Entah apa sebabnya, namun hal ini sudah menjadi rahasia umum. Meskipun persentase kemenangan kecil, tetap saja banyak calon legislatif yang rela mengeluarkan sedikit uang untuk kampanye. Tak hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau kalah dalam hal berpolitik. Politik masuk ke Universitas-Universitas. Spanduk bertebaran di gedung-gedung, mengajak masyarakat kampus untuk memilih dan mencoblos tuannya. Mahasiswa yang menilai dirinya sebagai aktifis cenderung terjun kedalam politik kampus. Dan berbondong-bondong mendirikan serta menjalankan partai politik mereka sendiri. Alasan yang dikemukakan tentunya alasan yang sama seperti yang kita dengar dari politikus-politikus handal di televisi. "Memperjuangkan aspirasi rakyat (dalam hal ini mahasiswa) ". 

Tak Ada Lagi Topi Kerucut dan Kalung Petai

Oleh: Nur Akmal IKUTI MPLS: Peserta didik baru SMK Negeri 1 Medan mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Seluruh peserta didik baru tak lagi memakai atribut berbau perploncoan sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa (Foto : Nur Akmal) Hujan  sejak subuh masih menyisakan awan gelap dan udara yang dingin, namun tak menggoyahkan semangat siswa-siswa baru untuk hadir pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Pakaian mereka putih bersih, rapi dan tampak masih baru. Mereka berbaris rapi menantikan satu persatu aktivitas Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang tahun ini dikendalikan sepenuhnya oleh guru. "Selamat datang di SMK Negeri 1 Medan, dalam sesi ini kita akan membahas budaya dan tata terbit sekolah," demikian SJ Simamora, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat dan Industri menyapa para peserta didik baru di lapangan SMK Negeri 1 Medan yang diberi tenda agar siswa tak terkena hujan.

Pagar Api dan Berita Titipan Media Massa

Jika dulu sering kita lihat dalam suatu scene sebuah film yang menampilkan gambar blur pada suatu merek dagang yang tanpa sengaja tertangkap kamera. Kini agaknya tak banyak lagi kita temui, malah secara terang-terangan pelbagai merek dagang terpampang jelas di hampir setiap scene film, bahkan merambah pada media massa seperti suratkabat. Iklan memang dibolehkan, tapi pagar api perlu diperhatikan.