Kawasan Tanpa Rokok atau yang biasa disingkat KTR sudah bergulir sejar tahun 2009 silam, ini merupakan amanah dari Undang- Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 pasal 115, serta peraturan bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri tentang pedoman pelaksanaan kawasan tanpa rokok. bahkan dalam jangka waktu dekat, yaitu tahun 2014, ditargetkan semua provinsi di Indonesia memiliki aturan hukum perihal KTR tersebut.
Sebagaimana dilansir berita Kompas, Rabu (17/4) lalu. Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingungan Kementrian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama, mengatakan semua provinsi harus memiliki peraturan tentang pencegahan dan penanggulangan dampak merokok terhadap kesehatan. Hingga kini masih 85 kabupaten/kota yang memiliki peraturan daerah terkait KTR di 27 provinsi.
Dalam pedoman pelaksanaan kawasan tanpa rokok yang dikeluarkan Menteri Kesehatan dan Menteri dalam Negeri di atas, yang dimaksud dengan KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan mempromosikan produk tembakau. Tempat-tempat tersebut meliputi, fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain,
tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum lainnya.
KTR ini bertujuan untuk memberikan pelindungan yang efektif kepada para perokok pasif (yang terpaksa menghirup asap rokok dari perokok) dari bahaya asap rokok dan memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi masyarakat serta melindungi kesehatan masyarakat secara umum dari dampak buruk merokok baik langsung maupun tidak langsung.
Betapa tidak, semua orang sudah tahu bahayanya merokok atau bahaya menghirup asap rokok (bagi perokok pasif), di balik kotak rokok juga tertera bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, gangguan kehamilan, dan janin. Namun ada saja celotehan untuk mematahkan peringatan tesebut seperti “Itukan kalau rokok yang ‘dapat’, kalau ‘beli’ tidak apa-apa” acapkali kita dengar.
Faktanya adalah, Di Indonesia, kematian akibat rokok angkanya mencapai 239 ribu per tahun. Ini lebih besar dibandingkan kematian ibu akibat persalinan dan nifas, yang sekarang menjadi perhatian pemerintah dan dunia. Setara dengan kematian yang disebabkan oleh tsunami. Namun agaknya angka itu tidak membuat para perokok jera dan berniat untuk berhenti atau mengurangi konsumsi rokok. Rokok memang sudah sangat dekat dengan masyarakat, tidak hanya bapak-bapak, tapi juga kaum ibu, remaja hingga anak-anak pun sudah banyak yang mengkonsumsi barang tersebut. Untuk itu pemerintah memandang perlu adanya peraturan untuk menyelamatkan masyarakat dari bahaya rokok yaitu salah satunya dengan menerapkan undang-undang tersebut.
Sekelumit Kendala
Tidak mudah memang untuk menerapkan atau mensahkan Rancangan Peraturan Daerah dalam hal rokok ini. Antara lain seperti pemahaman para pemangku kepentingan tentang pentingnya KTR yang masih tidak sama. Rokok itu ibarat dua sisi mata uang atau dua belah pisau yang sama tajam. Di satu sisi, rokok dapat menjadi barang yang berbahaya bagi kesehatan banyak orang—tidak hanya perokok, tapi juga orang yang menghirup asapnya. Namun di sisi lain, rokok merupakan industri besar di Indonesia yang memberikan banyak pemasukan.
Jangankan berbicara masalah industri yang besar rokok, kita juga melihat kenyataan bahwa perokok ada di mana-mana, maka penjual rokok pun ada di mana-mana. Mulai dari market modern hingga pedangan kios dan asongan. Jika perda rokok di sahkan makan setidaknya pedagang asongan yang biasa berjualan di tempat umum seperti di jalan raya dengan pangsa pasar sopir dan penumpang bus dan angkot akan lumpuh. Sebab tidak diperbolehkan ada orang yang merokok di angkutan umum.
Selain itu penerapan sanksi hukum bagi masyarakat yang melanggar perda juga belum bisa dilaksanakan dengan mudah. Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan agar ketegasan dari Perda tersebut tak pelak dipertanyakan sehingga Perda bukan hanya jadi perjanjian di atas kertas. Jauh hari sebelum Perda dari provinsi manapun itu disahkan, tentu akan terjadi banyak penolakan. Untuk itu perlu pula sosialisasi berupa pembinaan kepada pemangku kepentingan, perokok dan masyarakat tentang rencana ini.
KTR di Medan
Saat ini provinsi yang ditengarai berhasil dalam menerapkan KTR adalah Jawa TImur dengan kota Surabaya, melalui Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 Kawasan Tanpa Rokok. sementara itu di Kota Medan, hal ini masih sampai pada Rancangan Peraturan Daerah yang sudah bergulir sejak sekian lama namun belum juga memperoleh hasil. Masih menjalani pembahasan yang alot.
Bahkan terjadi penolakan dari Raperda tersebut dengan pernyataan bahwa peraturah ini disinyalir adalah upaya pemerintah Kota Medan untuk menghilangkan hak konstitusi masyarakat yang mengkonsumsi rokok dan mengkebiri para produsen/penjual rokok untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada pula tuntutan untuk menyediakan Kawasan Khusus Merokok untuk para perokok. Sebenarnya hal ini tidak salah memang, jadi kebijakan yang di ambil tidak sepihak.
Intinya adalah, komitmet dan sikap saling menghargai satu sama lain. Jika perokok merasa haknya di ambil dengan (nanti) adanya Peraturan Kawasan Tanpa Rokok, maka perokok juga harus menghargai para non perokok untuk merasa terbebas dari asap rokok yang mengepul kemana-mana. Jadi sebagai warga Negara yang baik kita patut untuk menjaga kenyamanan orang lain, karena asap rokok itu bagi sebagian orang sangat mengganggu.
Penulis sendiri bukan perokok, dan merasa sangat terganggu apabila ketika sedang dalam angkutan umum ada orang merokok dan dengan santainya mengepulkan asap kemana-mana. Jadi seharusnya kita mendukung KTR ini, untuk menghargai para non perokok. Lagi pula tetap diberikan ruangan untuk bebas merokok, karena hanya ada beberapa tempat yang disebut sebagai KTR.
Ini juga membantu masyarakat untuk mencegah perokok pemula seperti anak-anak dan remaja. Katakanlah kita perokok berat, tapi saya rasa tak ada perokok berat yang dengan senang hati mengajarkan anaknya untuk merokok bukan? Kota Medan harusnya mampu menerapkan KTR dengan baik mengingat hal ini merupakan amanat dari Undang Undang dengan bersikap lebih tegas. Jangan memandang masalah asap rokok sebagai masalah remeh temeh yang bisa dibicarakan sambil minum kopi, atau bahkan sambil merokok pula. ***
Penulis adalah Mahasiswa FKIP UMSU, dan korban asap rokok di tempat umum.
Artikel ini dimuat di Harian Analisa, 27 April 2013