Skip to main content

Ke mana Setelah Wisuda?


Musim wisuda tahun 2013 sudah berlangsung, beberapa perguruan tinggi (PT) baik negeri maupun swasta sudah berbondong-bondong melepas sebagian mahasiswanya—melahirkan alumni-alumni baru yang diharapkan mampu menjaga dan menjual nama baik PT. Setiap tahun prosesi wisuda ini dilaksanakan, ada yang melaksanakannya dalam dua atau tiga gelombang, tergantung dari banyaknya jumlah mahasiswa dan kuota gedung. Bahkan beberapa PT ternama melepas ribuan mahasiswanya sekaligus. Pertanyaannya akan kemana ribuan orang ini setelah wisuda?

Melewati jenjang pendidikan yang lebih tinggi dari pendidikan dasar dan menengah saat ini memang sudah menjadi keharusan, mengingat daya saing dalam mencari pekerjaan sangat ketat. Perbandingan antara pencari kerja dan lapangan pekerjaan tidak seimbang. Padahal sumber daya manusia Indonesia dengan latar pendidikan terakhir ‘sarjana’ sudah bukan barang langka lagi. Hampir rata semua lulusan SMA akan melanjutkan ke perguruan tinggi untuk akhirnya memperoleh titel sebagai ‘sarjana’. Pertanyaannya apakah seorang sarjana lebih mudah memperoleh pekerjaan? Atau hanya akan menjadi sarjana pengangguran?


Ada lelucon yang biasa diucapkan orang ketika prosesi wisuda sedang berlangsung. Ketika tali di toga mulai dipindahkan, kalimat ‘selamat’ yang diucapkan rektor adalah “selamat menjadi pengangguran.” Ini disebabkan karena ketika seseorang telah wisuda maka statusnya sebagai mahasiswa telah diputus. Dan jika ia belum bekerja maka statusnya serta merta adalah pengangguran. Maka sekilas tak salah lelucon ini.

Tapi dalam kesempatan kali ini saya tidak akan berbicara tentang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Karena saya yakin orang yang getol dalam berusaha akan memperoleh pekerjaan yang layak. Lagi pula zaman sekarang sudah bukan zamannya lagi orang kuliah untuk mencari pekerjaan, melainkan harus membuka lowongan pekerjaan dan zamannya orang untuk merubah mindset menjadi pengusaha, bukan lagi pekerja. Dalam artikel ini yang akan saya bahas adalah sesuai dengan judul yang saya torehkan. Yaitu “Kemana Setelah Wisuda?”

Mengabdi atau Memperkaya Diri

Bagi sebagian orang yang akan memasuki fase kehidupan berikutnya setelah lepas dari pendidikan formal, akan muncul kegalauan dalam dirinya akan kemana setelah menyelesaikan kuliah. Apakah akan menetap di kota dan memperkaya diri dengan pekerjaan yang layak dan segala kemudahan di kota besar atau mengabdi kepada Negara untuk membangunnya dan merealisasikan cita-cita bangsa dengan mengisi kekosongan atau kekurangan yang terjadi di daerah dalam beberapa bidang.

Hal ini menjadi dilema apa lagi bagi pemuda yang berasal dari daerah, atau biasa disebut dari kampung, yang menuntut ilmu di kota besar. Setelah wisuda biasanya dalam diri dan orang-orang sekitar akan bertanya. Apakah akan pulang kampung atau menetap di kota?

Coba kita perhatikan di beberapa daerah khususnya yang agak jauh dari kota, beberapa peran penting dalam kehidupan bermasyarakat masih dipegang oleh orang-orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat yang ada. Termasuk khatib yang berceramah di mimbar Jum at, guru-guru yang mengajar di sekolah, dokter-dokter dan perawat di puskesmas, hingga penggerak perayaan Hari Kemerdekaan pun masih di sokong oleh para tetua.

Jarang kita melihat pemuda berperan aktif dalam kegiatan bermasyarakat. Padahal tidak sedikit pemuda yang menuntut ilmu kejenjang pendidikan yang lebih tinggi ke daerah perkotaan. Kenapa hal ini bisa terjadi, alasannya mudah saja. Karena sebagian besar pemuda yang telah menuntut ilmu enggan untuk kembali ke desa dengan berbagai pertimbangan. Di desa, apa yang bisa dilakukan? Perekonomian jalan di tempat, lowongan pekerjaan minim, orang-orang sekitar sulit diajak berpikir dan bekerja sama.

Sedangkan di kota, kemudahan terbuka lebar, perusahaan dimana-mana, lowongan pekerjaan banyak, kehidupan yang lebih layak ada di depan mata. Lantas kenapa harus kembali ke desa? Itu yang biasa menjadi dilema banyak orang untuk kembali ke desa. Pada dasarnya masalah ini bermuara pada satu kata, yaitu KESENJANGAN. Kesenjangan antar desa dan perkotaan terasa sangat jauh dari berbagai lini. Membuat orang lebih berpikir untuk bagaimana memperkaya diri terlebih dahulu di bandingkan dengan mengaplikasikan diri untuk membangun kampung halaman atau mengabdi kepada Negara.

Barangkali akan muncul jawaban bahwa mengabdi tidak mesti di desa, tapi bisa dimana saja dalam pekerjaan apa saja. Tidak salah memang, tapi kita perlu melihat fungsi apa yang bisa kita lakukan melalui latar belakang pendidikan kita, dan memandang lokasi mana yang urgent membutuhkannya. Misalnya kesenjangan pendidikan antara di desa dan di kota. Sebagai sarjana pendidikan bukankah lebih baik kita mengajar di desa sekaligus memantapkan karakter pemuda di sana? Tapi sekali lagi itulah yang menjadi dilema bagi sebagian pemuda. Termasuk penulis sendiri.

Minimkan Kesenjangan

Kesenjangan antar beberapa daerah khususnya antar kota dan desa memang tak pelak bisa kita hindarkan. Ketimpangan ekonomi memang akan selalu ada, tak hanya dalam bidang ekonomi melainkan dalam bidang lain pun masih terlihat jelas, seperti kesenjangan pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Namun paling tidak kesenjangan ini dapat kita minimkan. Sehingga masyarakat pun tak berbondong-bondong masih hijrah ke kota mencari pekerjaan mensejahterakan diri.

Perlu penyediaan lapangan pekerjaan yang luas di desa dari berbagai aspek baik pemerintahan maupun swasta. Serta upah yang memadai. Sehingga pemuda pun tak lagi enggan kembali ke desa untuk membangun desanya. Juga perlu penyuluhan untuk gerakan kembali ke desa dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan yang telah di gali sebelumnya.

Mari manfaatkan ilmu yang didapat dengan sebaik-baiknya dan dibagikan kepada orang lain, sehingga jadi jauh lebih bermanfaat. Karena sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Saya tidak menyalahkan orang yang berpikir untuk menetap di kota dan berkarir, dan Tulisan ini saya buat juga atas dasar kegalauan saya menjelang prosesi wisuda. Intinya adalah memanfaatkan ilmu yang didapat dengan sebaik-baiknya dan tidak hanya memikirkan diri sendiri terutama bagi pemuda. Karena bung Karno pun pernah memuja kekuatan pemuda sebagai perubah bangsa. “Beri aku 10 pemuda, maka akan aku ubah dunia”. ***

Penulis adalah Mahasiswa semester akhir FKIP UMSU, Alumni PersMa Teropong
artikel ini dimuat di Harian Analisa, 1 Juni 2013 


Popular posts from this blog

Apa yang Dihasilkan Politik Kampus?

Bicara soal politik, rasanya ta k sedikit orang yang ingin terjun. Entah apa sebabnya, namun hal ini sudah menjadi rahasia umum. Meskipun persentase kemenangan kecil, tetap saja banyak calon legislatif yang rela mengeluarkan sedikit uang untuk kampanye. Tak hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau kalah dalam hal berpolitik. Politik masuk ke Universitas-Universitas. Spanduk bertebaran di gedung-gedung, mengajak masyarakat kampus untuk memilih dan mencoblos tuannya. Mahasiswa yang menilai dirinya sebagai aktifis cenderung terjun kedalam politik kampus. Dan berbondong-bondong mendirikan serta menjalankan partai politik mereka sendiri. Alasan yang dikemukakan tentunya alasan yang sama seperti yang kita dengar dari politikus-politikus handal di televisi. "Memperjuangkan aspirasi rakyat (dalam hal ini mahasiswa) ". 

Tak Ada Lagi Topi Kerucut dan Kalung Petai

Oleh: Nur Akmal IKUTI MPLS: Peserta didik baru SMK Negeri 1 Medan mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Seluruh peserta didik baru tak lagi memakai atribut berbau perploncoan sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa (Foto : Nur Akmal) Hujan  sejak subuh masih menyisakan awan gelap dan udara yang dingin, namun tak menggoyahkan semangat siswa-siswa baru untuk hadir pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Pakaian mereka putih bersih, rapi dan tampak masih baru. Mereka berbaris rapi menantikan satu persatu aktivitas Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang tahun ini dikendalikan sepenuhnya oleh guru. "Selamat datang di SMK Negeri 1 Medan, dalam sesi ini kita akan membahas budaya dan tata terbit sekolah," demikian SJ Simamora, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat dan Industri menyapa para peserta didik baru di lapangan SMK Negeri 1 Medan yang diberi tenda agar siswa tak terkena hujan.

Pagar Api dan Berita Titipan Media Massa

Jika dulu sering kita lihat dalam suatu scene sebuah film yang menampilkan gambar blur pada suatu merek dagang yang tanpa sengaja tertangkap kamera. Kini agaknya tak banyak lagi kita temui, malah secara terang-terangan pelbagai merek dagang terpampang jelas di hampir setiap scene film, bahkan merambah pada media massa seperti suratkabat. Iklan memang dibolehkan, tapi pagar api perlu diperhatikan.