Berakhir sudah pro kontra Kurikulum 2013 yang
sejak beberapa bulan lalu terus menjadi perbincangan banyak orang terutama yang
bergelut dalam bidang pendidikan. ‘Istiqamah’ Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
M Nuh yang terus berupaya agar rancangan baru ‘kitab suci’ pendidikan ini
diterapkan tahun ini juga tercapai sudah. Kurikulum 2013 akan segera diterapkan
secara serentak mulai tanggal 15 Juli mendatang.
Perdebatan panjang tentang rencana penerapan
kurikulum baru ini menjadi pembicaraan luas di kalangan masyarakat, beberapa di
antaranya pro namun banyak juga yang menilai penerapan kurikulum ini sebagai
suatu keegoisan pemerintah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan yang
terkesan terburu-buru dan sarat permainan.
Satu hal yang membuat kita takjub adalah,
dalam upaya menerapkan kurikulum ini anggaran yang dikeluarkan pemerintah
mencapai Rp. 2,491 triliun. Dengan rincian penggunaan anggaran terbesar untuk
pengajaan buku ajar sebanyak 72,8 juta eksemplar, dan pelatihan guru yang
menelan dana sebanyak Rp. 1,09 triliun. Namun kabar baiknya adalah semua buku
ajar itu akan diberikan secara gratis kepada siswa SD, SMP, SMA/SMK se-tanah
Air. (MedanBisnis, 12 Mei 2013).
Bayangkan saja anggaran yang dikeluarkan untuk
penerapan kurikulum yang mencapai angka segitu besar dari anggaran yang
disahkan Komisi X DPR dari hasil rapat Kemendikbut dengan DPR akhir Desember
lalu sebanyak 73 triliun. Ini menjadi sebuah proyek besar buru-buru yang seakan
harus dilaksanakan sebelum habis masa jabatan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah,
bagaimana prospek kedepannya dari kurikulum ‘mahal’ ini? Apakah akan sama
dengan saudara-saudaranya terdahulu yang bahkan pupus sebelum berkembang?
Apakah tahun depan pergantian menteri Pendidikan akan mengganti kurikulum lagi?
Masih belum terjawab. Sebagai wong cilik kita hanya bisa menunggu sambil
mengawasi penerapannya saja.
Arah Pembelajaran Bahasa
Dalam berbagai masalah pro kontra penerapan
kurikulum 2013, salah satu yang menjadi poin diskusi adalah tematik integratif
alias penggabungan beberapa mata pelajaran menjadi satu. Di SD misalnya, mata
pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial digabungkan dengan Bahasa Indonesia.
Pada kesempatan kali ini saya ingin menaruh perhatian terhadap tematik
integratif ini.
Pertama, menggabungkan beberapa mata pelajaran
menjadi satu bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan, karena secara otomatis
materi pelajaran dari ketiga mata pelajaran tersebut akan tercampur baur.
Seperti bagaimana mengajarkan IPA dan IPS pada saat yang bersamaan dalam
belajar Bahasa. Atau sebaliknya.
Hasilnya adalah Bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional hanya akan digunakan sebagai alat penyampaian materi saja.
Padahal sejatinya bahasa Indonesia bukan hanya tentang membaca, menulis,
mendengarkan dan berbicara saja. Bahasa indonesia sebagai bahasa nasional harus
dijunjung tinggi. Dan digunakan untuk menciptakan rasa nasionalisme dalam diri siswa.
Hingga anak Indonesia akan menganggap bahasa indonesia sebagai bagian penting
dalam bernegara.
Selain itu, bahasa Indonesia juga harusnya
mengajarkan sastra dan tata bahasa, bukan hanya berorientasi pada teks melulu
yang membekukan kreatifitas anak dalam berimajinasi. Ketua Umum Asosiasi
Pendidik Bahasa dan Sastra Indonesia (APBSI), Saiful Rohman pernah mengeluhkan
tentang ditinggalkannya materi tentang tata bahasa dan sastra dalam model
pembelajaran bahasa yang baru. Tidak heran jika kedepan akan semakin banyak
anak Indonesia yang berbahasa dengan tidak baik serta tidak akan lahir lagi
sastrawan-sastrawan hebat di negeri ini.
Mempersiapkan Guru
Setelah persiapan materi dan buku tentu
kemudian yang tak kalah penting adalah mempersiapkan guru-guru. Guru adalah
senjata yang paling penting dalam penerapan kurikulum. Ironisnya hampir semua
kebijakan pendidikan hanya menitik beratkan pada perbaikan kurikulum, jarang
yang menitik beratkan pada perbaikan kualitas guru. Padahal sejatinya guru dulu
yang harus dipersiapkan sebelum diterapkanya kurikulum, karena gurulah yang
akan menyampaikannya.
Memang, ada pelatihan guru yang dilakukan
pemerintah namun untuk sekelas perombakan kurikulum besar-besaran dengan
substansi yang tidak sedikit maka tak pulalah cukup pelatihan guru hanya dua
minggu saja. Belajar dari kurikulum 2006 atau KTSP yang sudah cukup lama
diterapkan pun belum mencapai pemahaman maksimum sebagaimana yang tertuliskan,
bahkan belum dievaluasi dengan layak, belum sempurna diterapkan. Kini guru dan siswa
di cekoki dengan kurikulum baru.
Munif Chatib, Praktisi pendidikan sekaligus
penulis buku Gurunya Manusia menyebutkan setidaknya perlu ada pelatihan
guru dalam setiap minggunya baik itu dilaksanakan sekolah maupun pemerintahan.
Minimal untuk membantu membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) kreatif
sesuai dengan pesanan kurikulum. Itu ia sebut sebagai Guardian Angel.
Hematnya, hanya perlu beberapa orang untuk
benar-benar dilatih pemerintah dalam persiapan penerapan kurikulum 2013 secara
total untuk kemudian orang-orang tersebut menjadi guardian angel di
setiap sekolah di daerah masing-masing. Jadi tidak perlu anggaran yang begitu
besar untuk melaksanakan pelatihan guru secara besar-besaran namun hasil yang
diperoleh tidak sepadan. Sekolah yang baik adalah sekolah yang memberikan
pelatihan rutin kepada guru-gurunya, bahkan ada yang memberikan rapot bagi
pelatihan. Itulah konsep Sekolahnya Manusia.
Tapi mau tidak mau, Kurikulum 2013 sudah harus
diterapkan tahun ini, tanggal 15 Juli mendatang, meski tidak semua kelas
langsung menerapkannya. Untuk SD misalnya hanya dari kelas 1 hingga kelas 4
saja, sedangkan SMP dan SMA/SMK akan dimulai dari kelas 1 di tahun ajaran baru.
Kita juga tidak perlu buru-
buru mencap kurikulum 2013 ini tidak baik, kita
perlu melihat dan mengawasi dengan jelas perkembangan anak maupun peserta didik
(jika guru) kita terhadap penerapannya.
Semoga kurikulum 2013 yang ‘mahal’ ini tidak
pupus bahkan sebelum berkembang seperti saudara-saudaranya, juga hendaknya
rutin dilakukan evaluasi positif dan negatifnya kurikulum tersebut, bukan hanya
ketika hendak diganti saja. Sebagai orangtua dan guru juga sebagai warga Negara
yang baik kita ingin melihat pendidikan kita maju, masak peringkat kualitas
pendidikan kita kalah dari Palestina yang tengah dilanda perang. ***
Penulis adalah Kandidat Sarjana Pendidikan
dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UMSU
Artikel ini dimuat di Harian Analisa, 23 Mei 2013