Skip to main content

Menikmati Dinginnya Air Terjun Telaga Dua Warna




Air Terjun Dua Warna, Sibolangit, Sumatera Utara (Foto : Rizalul)
Minggu, 23 Juni 2013 lalu, sebenarnya saya tidak punya jadwal apapun. Dan sedang malas untuk beraktivitas. Inginnya istirahat seharian di tempat tidur. Tapi tiba-tiba segerombolan teman-teman sekampus alias seorganisasi lebih tepatnya, organisasi Pers Mahasiswa UKM LPM Teropong Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU). Saat itu kira-kira pukul 8 pagi.

Memang sebelumnya teman-teman sudah mengajak saya untuk bergabung dalam tur mereka kali itu, atau lebih cocok disebut proyek. Karena tujuan mereka kesana adalah untuk liputan tentang salah satu wisata alam yang ada di Sibolangit, Sumatera Utara. Tempat itu dikenal dengan nama Telaga Dua warna (Dwi Warna). Kenapa disebut dua warna, akan saya jelaskan nanti.


Awal perjalanan menuju telaga dua warna dikelilingi hutan yang
tidak begitu lebat
Akhirnya saya putuskan untuk bergabung dengan mereka, dengan pakaian seadanya—saya mengenakan jeans dan kaos—sama  sekali tidak terpikirkan bahwa rute yang harus dilalui akan cukup sulit. Dari luar saya lebih terlihat ingin mejeng di mall dari pada tracking. Beberapa teman lain juga berpakaian sama.

Berhubung di antara yang lain saya adalah senior, dan sudah tidak tergabung lagi dalam kegiatan Teropong, akhirnya niat saya ikut kesana adalah hanya sekadar untuk bersenang-senang dan refreshing saja. Bayangan saya di sana akan mandi-mandi. Jadi tak lupa saya bawa pakaian dua dan celana pendek untuk berenang.

Kami berangkat sekitar pukul 9.00 WIB lewat. Dengan sepeda motor. Menuju Sibolangit mamakan waktu hingga 3 jam. Jadi kami sampai di lokasi sekitar pukul 12.30 WIB. Sebelum kesitu saya akan jelaskan rutenya. Dari Medan ke Sibolangit sampai ke Bumi Perkemahan masuk ke dalam. Melewati dua titi. Hingga sampai ke simpang tiga. Sebelah kanan berisi villa (jangan bayangkan villa-villa cantik di FTV) tempat biasanya mahasiswa melaksanakan kegiatan-kegiatan. Nah kalau mau ke dwi warna kita lewat kiri.

Tapi stop dulu, tidak bisa langsung masuk begitu saja. Namanya juga Indonesia, tentu banyak ‘hambatannya’. Hambatan pertama adalah kita pasti di stop sama warga setempat yang mengaku sebagai ranger alias pemandu.  “Gak bisa orang abang ke sana sendiri tanpa ranger bang, banyak yang nyasar. Kami tidak bertanggung jawab” kata salah satu dari mereka waktu itu.
Istirahat dalam perjalanan bersama guide yang berasal
dari warga sekitar

Kami mengangguk saja, sebab memang lebih baik kalau ada pemandu jalan. Maklum, bukan anak Mapala, apalagi saya pribadi lebih suka pilih yang aman saja. Teman-teman sedang sibuk melobi harga, sedang saya duduk nyantai menunggu mereka (berlagak bos)

Finally akhirnya satu orang dikenai Rp. 25.000 (kalau tak silap). Sudah sama uang parkir. Akhirnya kami berangkat. Saya beli roti kemasan untuk penunda lapar. Sebab sama sekali belum makan siang. Kata pemandunya perjalan kesana memakan waktu 3 jam, tapi bisa 2 jam kalau jalan terus tanpa berhenti.

Sepanjang jalan ternyata tracknya lumayan sulit. Saya putuskan untuk melepas jeans dan hanya memakai celana pendek berlogo Barcelona. Rutenya dari melewati sungai, melompati batu-batu besar di sungai, menunduk menghindari batang pohon yang tumbang, hingga melompatinya. Tanjakan dan turunan. Beberapa kali kami berhenti. Karena beberapa anggota sudah kecapaian. Entah kenapa saat itu saya semangat sekali. Tidak terasa capek. Padahal awalnya saya takut tidak akan punya stamina yang cukup. Itulah alasan kenapa saya selalu menolak untuk tracking. Tapi karena semangat, saat itu saya berjalan santai saja tanpa lelah.

Sesampainya di air terjun langsung menikmati dinginnya air
yang seperti es
Sepanjang jalan, sayangnya dipenuhi oleh sampah. Usut punya usut, Telaga yang baru dibuka beberapa tahun yang lalu ini semakin hari semakin banyak saja yang mengunjungi. Mental orang-orang Indonesia kebanyakan yang sama sekali tidak menjaga kebersihan lingkungan membuat jalur menuju Telaga Dua Warna ini menjadi seperti tempat sampah. Penuh dengan botoll air mineral plastic, kemasan roti dan jajanan lainnya. Kami bantu membersihkan sambil jalan, tapi ternyata plastik yang kami bawa tidak cukup menampung sampah tersebut.

Perjalanan menjadi semakin sulit ketika sudah mendekati air terjun. Seperti kata pepatah jepang. Orang yang berjalan 100 kilometer menganggap 99 km itu hanya pemasan. Maksudnya akhir perjalanan terakhir itu adalah perjalanan tersulit. Itulah yang kami rasakan. Jalanan mulai menukik tajam hingga 45 derajat lebih. Untuk turun harus menggunakan tali yang entah siapa yang menyediakan. Itu pun mesti sangat berhati-hati.

Salah satu teman saya bernama Mazda hampir terjatuh karena tali tersebut justru melambungkan tubuhnya ke arah jurang. Memang tidak mungkin terjatuh terlalu dalam, tapi cukup membahayakan. Untuk saya berhasil memegang tasnya. Saat itu perjalanan justru semakin menarik. Serasa sedang syuting 5 cm. J

Akhirnya tiba juga di lokasi. Air terjun dua warna. Pemandangan yang sangat menakjubkan. Ada dua air terjun di kedua sisi tebing. Air terjun yang dasarnya dalam dan berdiameter lebih besar punya air yang biru sebiru langit. Dan memutih di tepi kawahnya dan mengalir kecil terus hingga ke bawah. Ada yang mengatakan itulah yang disebut dua warna.

Sedangkan air terjun satunya yang lebih kecil berwarna jernih seperti air biasa. Sebagian lagi mengatakan ada dua air terjun dengan dua warna yang berbeda ini lah makanya disebut dua warna. Saat sampai di tempat, ternyata pengunjung sangat ramai. Padat sekali. Tidak menyangka dengan rute yang sulit tersebut bisa menggait pengunjung hingga sebanyak itu.
Ramainya pengunjung Air terjun dua warna, namun sayangnya penikmat
wisata alam yang indah ini tidak banyak yang sadar untuk menjaga
kebersihan. sehingga banyak sampah dibuang sembarangan

Sampai di air apalagi kalau bukan terjun. Saya langsung jadi orang pertama yang menyemplung ke air. Ternyata airnya sedingin es. Benar-benar dingin. Tapi tak membuat semangat saya surut, saya benerang sepuasnya. Berendam menikmati dinginnya air terjun dua warna tersebut. Ternyata suhu air yang sangat dingin tak mampu saya tahan. Saya hanya bertahan 5 menit di air dan naik kembali dengan menggigil.

Saya putuskan untuk bergabung dengan teman makan mie instant cup hangat. Ternyata ada loh yang jual di atas sana. Ada 4 pedangang yang jual mie instant dan minuman panas. Mereka panaskan air langsung di sana dengan kayu bakar. Setelah makan saya berendam kembali. tak puas rasanya kalau hanya sebentar walaupun dingin.

Pukul 4 lewat semuanya harus sudah turun. Sebab jika lewat pukul 6 hari sudah gelap (ya iyalah) jadi dikhawatirkan bisa tersesat. Itu kata pemandunya. Bahkan tukang mie instant tadi juga sudah pulang. Ketika pulang saya menyaksikan hal yang mengejutkan. Sampah di mana-mana. Banyak sekali. Tidak terhitung. Entah apa yang dipikirkan para pengunjung membuang sampah sembarangan.

Pemandangan keseluruhan air terjun dua warna menjelang sore (Foto: Rizalul)
Beberapa ranger membersihkan dan membakarnya. Saya kira tempat ini butuh pengelolaan yang professional khususnya dalam hal pengelolaan sampah. Mungkin penyediaan tempat sampah dan ada yang khusus mengangkutnya. Agar pemandangan seindah itu tidak tercemar sampah dan akhirnya merusak alam. Juga kepada pengunjung hendaknya menjaga lingkungan. Jangan hanya menikmati tapi tidak merawatnya.
Kami pun pulang. Sebelum itu ada satu info penting yang tertinggal saya tuliskan. Tentang sejarah tempat itu. Ini yang saya dengar dari beberapa pengunjung dan pemandu. Tidak tau pasti kebenarannya. Tulisan ini saya buat hanya untuk berbagi pengalaman. Serta mempromosikan wisata ala mini. Saat itu saya tidak sempat melakukan reportase untuk informasi yang akurat.

Dahulu ada mahasiswa pencinta alam dari Sekolah Tinggi tapi saya lupa ST mana yang jelas ada di Medan sedang menapak tilas di kawasan Sibolangit. Tapi entah bagaimana salah seorang dari mereka mengalami kecelakaan. Dan jatuh ke telaga dua warna tersebut. Beberapa jam atau hari mencari akhirnya petugas SARS menemukan mayatnya di telaga dua warna tersebut. Barulah terbuka bahwa ada pemandangan alam seindah itu di kawasan tersebut. Baru kemudian mereka membuka jalan untuk mengunjungi tempat itu.

Untuk informasi lebih lanjut soal mahasiswa yang meninggal di tempat itu sudah dibangun monument yang tertulis nama dan perguruan tingginya. Sayangnya saya lupa dan tidak sempat mencatat. Sekian dulu tulisan ini. Jika berkesempatan akan saya tambahkan informasi yang lebih lengkap  tentang telaga dua warna ini. J

Popular posts from this blog

Apa yang Dihasilkan Politik Kampus?

Bicara soal politik, rasanya ta k sedikit orang yang ingin terjun. Entah apa sebabnya, namun hal ini sudah menjadi rahasia umum. Meskipun persentase kemenangan kecil, tetap saja banyak calon legislatif yang rela mengeluarkan sedikit uang untuk kampanye. Tak hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau kalah dalam hal berpolitik. Politik masuk ke Universitas-Universitas. Spanduk bertebaran di gedung-gedung, mengajak masyarakat kampus untuk memilih dan mencoblos tuannya. Mahasiswa yang menilai dirinya sebagai aktifis cenderung terjun kedalam politik kampus. Dan berbondong-bondong mendirikan serta menjalankan partai politik mereka sendiri. Alasan yang dikemukakan tentunya alasan yang sama seperti yang kita dengar dari politikus-politikus handal di televisi. "Memperjuangkan aspirasi rakyat (dalam hal ini mahasiswa) ". 

Tak Ada Lagi Topi Kerucut dan Kalung Petai

Oleh: Nur Akmal IKUTI MPLS: Peserta didik baru SMK Negeri 1 Medan mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Seluruh peserta didik baru tak lagi memakai atribut berbau perploncoan sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa (Foto : Nur Akmal) Hujan  sejak subuh masih menyisakan awan gelap dan udara yang dingin, namun tak menggoyahkan semangat siswa-siswa baru untuk hadir pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Pakaian mereka putih bersih, rapi dan tampak masih baru. Mereka berbaris rapi menantikan satu persatu aktivitas Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang tahun ini dikendalikan sepenuhnya oleh guru. "Selamat datang di SMK Negeri 1 Medan, dalam sesi ini kita akan membahas budaya dan tata terbit sekolah," demikian SJ Simamora, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat dan Industri menyapa para peserta didik baru di lapangan SMK Negeri 1 Medan yang diberi tenda agar siswa tak terkena hujan.

Pagar Api dan Berita Titipan Media Massa

Jika dulu sering kita lihat dalam suatu scene sebuah film yang menampilkan gambar blur pada suatu merek dagang yang tanpa sengaja tertangkap kamera. Kini agaknya tak banyak lagi kita temui, malah secara terang-terangan pelbagai merek dagang terpampang jelas di hampir setiap scene film, bahkan merambah pada media massa seperti suratkabat. Iklan memang dibolehkan, tapi pagar api perlu diperhatikan.