Setiap hari perasaan takut terus mengganggu
ku, ketika malam datang, bayang-bayang itu muncul dalam wujud mimpi, begitu pun
di siang ku, ia berubah wujud menjadi lamunan. Yang jelas dalam setiap
ketakutan itu ada dirimu. Hanya dirimu. Bukan orang lain apa lagi semacam
makhluk halus, bukan. Hanya kau, ya, hanya kau seorang.
Sudah semakin dekat hari yang rasanya kalau
bisa aku tak ingin merasakannya, lebih baik hari itu terlewat begitu saja, tak
pernah menghampiri ku yang juga artinya tak pernah menghampiri mu. Karena dalam
kasus ini kita adalah satu. Aku dan kau dalam satu masalah yang rumit ini. Detik
demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, aku semakin hari
semakin takut. Semakin gelisah. Takut kau tak kan kembali.
Takut kita tak akan
berjumpa lagi.
“Esok subuh, aku akan berangkat,” katamu
“Oh, sudah tiba waktunya ya? Aku tak
menghitungnya,” jawab ku lisan, dalam hati aku meringis karena sebenarnya aku
bahkan menghitung detiknya, bukan hanya harinya. Sudah jauh hari aku tahu hal itu,
itu pun karena kau yang bilang. Sudah jauh hari pula kau ingatkan aku soal itu.
Tapi rasanya aku enggan sekali untuk percaya. Aku justru berharap kau hanya
membual. Membual seolah-olah kau harus pergi. Padahal kau akan tetap disini, ya
disini di sampingku. Menjalani hari-hari indah kita berdua. Hari yang sudah
lama aku idamkan, yang sudah lama tak aku rasakan.
“Jangan bohong, kau tak sedih?” ah, itu
pertanyaan retoris mu, aku rasa aku tak perlu menjawabnya.
“Kenapa diam? Tak sedih?” kau bertanya
lagi.
Aku menunduk diam, tak berani melihat mata
mu, tak mampu lebih tepatnya. Ah, kenapa waktu harus berlalu begitu cepat. Kenapa
kita tidak ditakdirkan bersama lebih lama. Aku ingin, sangat ingin. Tapi kenapa
tidak bisa? Aku tahu kau juga inginkan itu, tapi kenapa kau juga tak bisa?
“Jawab aku Rindy,” ujarmu sambil memengang
dagu runcingku. Mendongakkan kepala ku agar kedua mata kita bersatu, bersaling
pandang. Aku berkaca-kaca saat melihat mata mu, sedang mulut ku tak juga mampu
bicara. Aku kembali menunduk. Sebulir air mata mulai membasahi pipi. Dingin. Meluncur
cepat menuruni dagu dan menetes menitik marmer merah lantai hotel.
“Haaa…..” aku dengar kau tertawa. Dua detik
kemudian aku mengangkat kepala, melihat tingkah mu yang bisa tertawa saat aku
menangis, menangis takut kehilanganmu. Aku usap air mata ku dengan pangkal
lengan ku. Segera kau merebutnya, menerkam tanganku yang hendak mengusap, menggenggamnya
erat, sedang jemari tangan lainnya segera mengusap air mata ku. Berlanjut membelai
pipi basah ku. Justru itu membuat air mata ku menetes lebih deras, sebulir, dua
bulir, tiga bulir, dan tak mampu ku hitung lagi. Mata ku sudah dipenuhi
genangan air yang tak terbendung. Meluap menetes membasahi lantai.
Aku pegang tangan mu erat, mungkin kau
pikir aku tak sanggup berdiri lagi, sampai-sampai kau harus memelukku,
memelukku sangat erat, sampai-sampai aku tak bisa bernafas.
“Jangan pergi,” seru ku pelan.
“Tak bisa sayang,” sambil terus memelukku “Aku
harus kembali ke kampung. Aku ingin orang tua ku bahagia saat ini, di usianya
yang sudah renta, dia minta aku kembali, di sampingnya untuk menjaganya,”
“Ya…ya… aku tahu, sudah ratusan kali kau
bilang, tapi aku tak tahu apa kita masih bisa bertemu nanti atau tidak,” bulir
lain kembali menetes.
“Aku pun tak tahu, tapi percayalah. Jodoh itu
tidak akan tertukar, jika memang takdir kita aku percaya kita akan bertemu lagi
suatu hari,” kini kau melepaskan pelukanmu yang erat itu, menggenggam erat
kedua bahu ku. Sedikit kau harus menunduk agak kedua mata kita kembali bertemu.
Aku pun melihat seberkas kaca di bola mata coklat mu yang indah itu. dan senyum
mu itu, ah…tak bisa kau sembunyikan. Aku yakin kau pun tak rela, sebagaimana
aku tak rela kau pergi.
“Ya sudah, semoga kita masih bisa bertemu
suatu hari nanti. Dan aku harap kita bisa melanjutkan hubungan ini, meski sekarang
tidak atau bahkan belum kita mulai, tapi benar-benar sayang padamu, kau juga
merasakannya kan Ihsan?” tanya ku panjang lebar.
“Ya, Rindy. Aku juga merasakannya, seribu
kali lebih besar dari yang kau rasakan,” ah, jangan membual di saat seperti
ini.
“Sudahlah, percaya padaku, suatu hari aku
akan kembali. Selama itu jagalah hati mu, dan aku pun akan menjaga hati ku,”
katamu menguatkan, tapi tetap berbulir-bulir air mata terus membasahi pipi mu,
meluncur deras ke dagu, menetes membasahi lantai.
“Sudah, ayo kita rayakan malam tahun baru
ini. Jangan bersedih terus, Ihsan mulai besok tidak bekerja di sini, biarkan
juga dia menghabiskan malam bersama kami Rindy, sebagai malam perpisahannya,”
terdengar suara Mita, Receptionist hotel tempat aku dan Ihsan berkerja memanggil
kami. Malam ini memang malam tahun baru, malam di mana semua orang bahagia. Tapi
tidak untuk ku, juga untuk Ihsan. Aku justru merasa ini malam yang menyedihkan.
Betapa tidak, empat jam lagi dia akan berangkat kembali ke kampung halamannya
di Makasar, untuk baktinya pada orang tua. Sungguh pria yang hebat, tapi tetap
saja tak mampu aku melepaskannya.
Dentuman suara kembang api menggelegar di
langit malam kota Medan pada malam itu, dari lantai 10 hotel Cherry, hotel
tempat kami bekerja, kilauan dan gemerlap kembang api berbagai jenis
memeriahkan malam puncak tahun 2013. Detik-detik terakhir tahun itu dimeriahkan
dengan kembang api dari berbagai penjuru kota. Di Medan, pusatnya adalah
lapangan Merdeka, yang terletak di pusat kota. Dari lantai 10, kami semua
menyaksikan meriahnya kota di malam pergantian malam, sekaligus merasakan
pedihnya perpisahan dalam kemeriahan itu.
“Aku pamit
ya,” katamu tepat di depan pintu taksi.
“Hati-hatilah,
aku menunggu mu kembali,”
“Pasti,”
kecupan terakhir mendarat tepat di kening ku. Sebulir air mata lain kembali
menetes.
Pintu taksi tertutup, dari jendela taksi
aku masih memperhatikan senyum manis mu. Senyum manis bakk malaikat yang selalu
membuatku merasa meleleh. Terima kasih untuk hari-hari yang penuh kenangan yang
kau berikan, walau pun sebentar, tapi aku sangat bahagia. kita berpisah tepat
di malam pergantian tahun, aku berharap kita akan bertemu di malam pergatian
tahun lagi. Entah kapan pun itu.
“I Love U,” hanya bahasa bibir tanpa suara,
tapi sangat jelas terbaca oleh ku. Aku tersenyum, dan menangis.
***
Dua tahun sudah aku menunggu datangnya
seorang pria yang mampu membuka hati ku kembali, setelah dua tahun yang panjang
aku menutupnya. Terlalu sakit luka yang diberi pria brengsek yang pun dulu aku
puja-puja itu. sampai-sampai aku terpikir untuk tak lagi percaya pada semua
pria.
Begitupun ada banyak pria yang mendekati,
tapi entah kenapa aku tak mampu membuka hati ku. Belasan bahkan puluhan pria
sudah mencoba segala daya dan upaya, begitu pun aku, bukan aku tak mencoba tapi
aku tak mampu, aku tak bisa membuka hati ku lagi.
Sahabat ku pun sudah kehabisan akal untuk ‘menyembuhkan’
luka yang walau sudah menahun tapi masih terasa basah ini. Sudah banyak pria
yang pun sudah mereka kenalkan, baik itu yang aku belum kenal sama sekali
sampai teman sekelas dulu waktu kuliah tapi tetap tidak bisa. Ada sesuatu yang
mengganjal di hati ku. Sampai-sampai aku tak bisa merasakan apa pun lagi. Biar pun
sudah sering jalan bersama, tetap saja perasaan ku hambar tak berasa.
“Kamu itu maunya apa sih Rin? Kamu mau yang
bagaimana?” ujar Wida, mungkin ia sudah lelah melihat ku berganti-ganti
gebetan. Ya, hanya gebetan tak pernah sampai pada pacar.
“Bagaimana apanya?” jawab ku pura-pura tak
mengerti, berlembar-lembar majalah GADIS aku bolak balik tak dibaca.
“Si Akhmad itu sudah baik sekali sama mu,
tapi kenapa kau tak bisa menerimanya?”
“Oh masalah itu, aku tak bisa,”
“Hanya begitu saja respon mu? Kan kasihan
dia, dia sudah baik-baik pada mu. Perhatian pada mu, aku dengar pun kau juga
baik padanya, perhatian padanya, tapi kenapa ujung-ujungnya tetap seperti ini
Rin?” Wida panjang lebar mengeluh. Ah teman ku satu ini, kadang perhatiannya
berlebih, tapi berlebih yang tidak menyenangkan. Rasanya aku justru terkungkung
pada keinginanannya.
“Bukan begitu, aku sudah mencobanya Wid,
tapi tidak bisa. Aku tidak bilang dia tidak baik, justru dia sangat baik pada
ku. Tapi jauh hari aku sudah merasa kalau kami tidak bisa bersama, aku sudah
jelaskan padanya, tapi sepertinya dia tidak mengerti,” jawabku panjang lebar
pula, majalah itu sudah aku lemparkan ke atas meja.
“Jadi kenapa kau beri ia harapan?”
Aku bingung harus menjawab apa, ya aku
salah karena sudah memberi Akhmad harapan, tapi aku juga tidak tau akhirnya
harus begini. Aku juga ingin mencoba, tapi ujungnya tak bisa.
“Sudah lah Wid, mungkin memang bukan dia
orangnya, bukan dia pangeran berkuda yang aku cari. Pangeran berkuda yang
muncul dari awan hitam yang selama ini menghantui hati ku,” jawab ku bermajas.
“Ah, entah bagaimana tipe pangeran mu itu
aku pun tak mengerti, sudah banyak pria yang mungkin kau sakiti baik secara
langsung maupun tidak Rin, jangan bermain-main dengan hati mereka, tidak semua
pria punya hati yang keras, Akhmad mungkin pria dengan hati yang lembut,”
astaga, panjang sekali temanku ini kalau menceramahi.
“Ya Wid, maafkan aku soal itu, aku juga tak
ingin seperti ini, tapi apa daya, hati ku memang tak bisa menerimanya. Aku pikir
ini lebih baik dari pada suatu saat ketika aku menemukan tambatan hati ku
sementara aku masih dekat dengannya, tentu itu lebih menyakitkan baginya bukan?”
aku membela diri.
“Terserah kau sajalah Rin, aku pun sudah
lelah melihat mu,”
“Ya sudah, kau pun tak perlu bersusah
payanh mencari pangeran untuk ku, pada saatnya tiba ia akan datang sendiri. dan
tentu ketika hati ku sudah siap menerimanya,”
“Baiklah,” Wida kali ini mengalah, tidak
biasanya memang. Mungkin karena ia sudah terlalu lelah dengan ku.
Telepon genggam dari atas meja
meraung-raung keras, getarannya membuat susu dalam gelas bening yang ku
letakkan di atasnya ikut bergetar. Segera aku mengambilnya dan mengangkat
telepon tersebut.
“Selamat Siang,” kata ku
“Selamat siang, dengan ibu Rindy Aminarti?”
suara operator dari seberang telepon genggam ku sangat lembut.
“Iya, ini siapa ya?” Tanya ku.
“Ini dari manajement Hotel Cherry,” Astaga,
aku kegirangan, ini mungkin panggilan untuk hasil wawancara dan test kemarin. “Ibu
Rindy mohon hadir besok siang pukul 2 untuk pembicaraan lebih lanjut soal test
yang anda laksanakan kemarin.”
“Oh iya bu, terima kasih,” jawab ku.
“Sama-sama, selamat siang,” operator dari
sebelah ruangan itu kemudian menutup teleponnya.
“Wid, sepertinya aku akan diterima bekerja
di hotel Cherry kemarin,”
“Wah, selamat yaa….” kata Wida turut
senang.
“Belum, besok masih mau dibicarakan,
mungkin akan teken kontrak,” kataku percaya diri.
“Aku doakan kau diterima,” katanya.
“Terima kasih teman,”
***
Dua hari setelah telepon itu aku mulai
bekerja, sebagai pekerja magang, aku punya banyak pekerjaan. Belum punya posisi
tetap, aku berkerja ‘serabutan’. Menjadi pegawai coffee shop, menjadi receptionist
hingga kasir. Tapi yang paling aku senangi adalah menjadi pegawai coffee shop,
entah kenapa aku pun tak tahu pasti. Tapi aku merasa nyaman bekerja di sana.
“Ini Ebi, udang goreng makanan khas Jepang,
mau coba?” ujar Ihsan pada ku. Ia seorang koki. Tampan, tinggi, dengan
senyumannya yang menggoda. Itu pertama kali ia menyapa.
“Untuk ku?” tanyaku.
“Ya, untuk siapa lagi, cobalah,” katanya.
“Wah, enak sekali. Pasti kamu sudah lama
jadi koki.
“Baru dua tahun di tempat ini, 5 tahun di
tempat lain,” ujarnya dengan senyumnya yang manis itu. Aku ikut tersenyum.
Sejak hari itu aku senang bekerja di coffee
shop, ia rajin membuat makanan yang berbeda setiap harinya. Dan setiap hari
pula ia suguhkan pada ku. Dengan senyumnya yang khas itu. dan setiap hari pula
ia memaksaku untuk makan makanannya, terutama menu baru yang belum pernah ia
buat sebelumnya.
Entah kenapa ada yang berbeda dari nya. Aku
pun melihatnya berbeda. Tidak seperti pria kebanyakan. Ia rajin, tampan, dan
pintar memasak. Aku sendiri tak sepintar ibu ku dalam hal masak memasak. Tapi sepertinya
ia jauh lebih hebat.
Sejak saat itu pula aku ditetapkan menjadi
pegawai coffee shop, sejak saat itu pula aku mulai dekat dengannya. Kali ini
berbeda. Tak ada perasaan janggal atau tertekan. Aku merasanya nyaman berada di
dekatnya, pun sedikit pun tak merasa bosan. Aku justru merasa…bahagia. ya,
bahagia.
“Cieee, ada yang lagi PDKT,” Mita mulai
meledek. Ia pegawai coffee shop yang lain. Sudah cukup lama bekerja di hotel
Cherry.
“Udahlah, apalagi, jadikan terus,” ujarnya.
“Nantilah, aku tak mau buru-buru,” kata ku.
“Tapi kalian cocok loh, aku lihat juga
mirip,” ujarnya. Aku melirik ke cermin yang tepat di arah jam 12 dari tempat
aku berdiri.
“Hahah, langsung lihat cermin ya,” ia
tertawa meledek.
“Kurang ajar, aku mau merapikan poni,” aku
sampai tak sadar diri, malu dibuat seperti itu.
“Dia itu baik Rin, setia, rajin dan pintar
memasak, tak suka kau padanya Rin?”
“Entahlah Mit, aku rasa aku tidak mau
buru-buru dan tidak mau memaksa, tapi memang dengannya ada yang berbeda,”
“Cobalah, siapa tau memang kalian bisa
lebih jauh,”
“Aku harap juga begitu Mit,” dua detik
kemudian aku baru sadar kalau itu adalah sebuah pernyataan. Dan pernyataan itu
membuat gadis 25 tahun yang imut di depan ku ini tersenyum sumringah
sampai-sampai matanya menyipit seperti orang jepang.
“Apaan sihh?” aku risih melihatnya
tersenyum.
“Aku akan kasi tahu bang Ihsan,” katanya.
“Jangan…..!!!” ia sudah lebih dulu berlari
kedepan.
“Rin,” tiba-tiba Ihsan sudah berdiri di
depan ku, aku terdiam kaku.
“Ihsan, ada apa?” aku rasakan pipi ku mulai
memarah, aku yakin Mita belum sempat memberi tahunya. Sebab ia tadi langsung
berlari ke dapur. Sedang Ihsan ternyata muncul dari gang tepat setelah Mita
pergi.
“Aku dengar semuanya,” ah….sial, itu
ternyata. Dia mendengar percakapan ku dan Mita.
“Aku juga merasa kau berbeda dari yang lain
Rin, Rin, aku sayang kau Rin,” ia berterus terang, ia bicara seolah-olah bicara
pada dinding.
“Haa? Kamu…kenapa…ah….” Aku tergagap.
“Aku sayang kamu,”
“ughh….” lagi-lagi aku tergagap.
“Tidak, kau tidak perlu jawab sekarang, aku
Cuma ingin kau tau aku sayang kau. Dan aku dengar sendiri kau pun begitu bukan?”
ujarnya.
“Well¸but tidak secepat itu Ihsan,”
“Ya, memangnya aku minta apa Rin? Aku tidak
meminta kau menjawab apa pun, kita jalani dulu,”
“Ya,” astaga, aku malu. Aku bicara begitu
seolah-olah ia sudah minta aku jadi pacarnya saja. Aku malu.
Sejak hari itu aku dan Ihsan semakin dekat,
kemana-mana bersama, menghabiskan waktu kosong bersama hingga memasak bersama. Aku
rasa aku benar-benar telah membuka hati ku, aku rasa karenanya aku sudah mampu
mengobati luka di hati ku. Luka yang basah karena seorang lelaki brengsek di
masa lalu ku.
“Rin, aku harus pulang, orang tua ku sakit,
ia minta aku ada di sampingnya sekarang,” kata-kata itu seperti petir yang
menyambar bagi ku. Rasanya baru sebulan bertemu, dan aku pun merasa sudah
sangat dekat dengannya, aku pun sudah merasa sangat mencintainya, walaupun
dalam waktu yang singkat ini. Tapi entah kenapa luka ku benar-benar terobati. Hati
ku sembuh karena mu. Tapi, kenapa harus ada luka yang lain. Luka karena tak
bisa memiliki mu.
***
31 Desember 2015, Medan, aku menunggu di Bandara
Internasional Kualanamu. Hari ini aku akan berangkat ke Malaysia, untuk menemui
keluarga ku di sana, dan untuk rekreasi saja. Dua tahun kau tinggalkan rasanya
perih Ihsan. Sangat perih. Meski disana kau memberi kabar, tapi tetap diantara
kita tidak ada hubungan apa pun. Aku bersikeras tidak mau menjalin hubungan
jarak jauh. Tapi rasanya aku pun tak bisa melepas mu begitu saja.
Aku penat, aku sudah lelah menunggu mu, dan
kau tak kunjung kembali. malam ini aku akan berangkat ke Malaysia, malam tahun
baru. Ingat kau, dulu kita berpisah di malam tahun baru, dan aku berharap aku
bisa kembali betemu dengan mu di malam tahun baru pula. Tapi entah kapan itu
aku pun tak tahu.
Kembang api pun terlihat dari bandara ini,
padahal belum pukul 12 malam. Sudah ramai warga bermain kembang api, merayakan
gelegar kemeriahan pergantian tahun.
Tas sandang ku bergetar, aku tak
memperhatikan, terlalu sibuk melihat kembang api yang menggelegar di langit
malam. Tas itu bergetar kembali, getaran dari ponsel yang aku miliki. Tanpa mengalihkan
pandangan, aku mengambil ponsel ku dan mengangkat telepon tanpa melihat siapa
yang menelpon.
“Halo,”
“Dimana kau? Sudah berangkat?”
“Ini siapa?” Tanya ku.
“Tak kenal kau lagi pada ku?”
Aku terdiam sebentar, aku jauhkan ponsel
dari telinga ku dan melihat siapa gerangan pemilik suara yang familiar ini, aku
lihat nama penelponnya.
“Ihsan,” gumam ku
“Ya, Ihsan, kau dimana, sudah berangkat?”
suaranya tergesa-gesa.
“Aku di Bandara, kenapa?”
“Dimananya? Aku segera kesana,”
“Gila, kau dimana sekarang,” aku memutar
bola mata, menganggap leluconnya kali ini tak lucu.
“Aku di Bandara,”
“Bandara mana? Tempat tidur maksudnya?”
ledek ku.
“Di bandara Kuala Namu,”
“Aku tak percaya, jangan bercanda, kau…”
tiba-tiba seseorang menepuk pundak ku dari belakang.
“Aku kembali sayang,” ujar Ihsan dari
belakang.
Aku sontak kaget bukan kepalang, kenapa
tiba-tiba sipemilik senyum ini bisa ada dibelakangku?
“Kau, dari mana..” tiba-tiba ia memelukku
erat.
Aku tak sanggup menahan tangis, aku rindu,
aku rindu sekali pelukan hangat ini. Dan….. kecupan ini, ia baru saja mengecup
kening ku.
“Ihsan, ibu mu?” Tanya ku.
“Ia sudah meninggal seminggu yang lalu,
itulah kenapa aku jarang menelpon mu, aku sangat sibuk disana. Dan aku mengurus
penerbangan ku untuk hari ini, apalagi setelah aku tahu dari Mita kau tak lagi
bekerja di Cherry, dan hendak berlibur panjang ke Malaysia.
“Aku tak mau kau tinggalkan lagi Rindy,
Tidak untuk selamanya, batalkan penerbangan ini. Dan kita kembali ke rumah mu malam
ini juga. Aku ingin melamar mu Rin, melamar mu sesuai janji ku,”
Aku tak bisa lagi berkata apa-apa, aku
hanya menangis terharu, sedih, rindu, senang semua bercampur aduk. Aku tak
menjawab apa-apa selain.
“Kita nikmati dulu malam tahun baru kita
sayang, malam tahun baru kedua kita berdua,”
“Ya, kita nikmati dulu malam ini, malam yang
sudah kau tunggu selama ini,”
Ia mengecup keningku lagi dan mempererat
pelukannya.
“Aku rindu padamu Ihsan,”
“Aku pun Rindy, Aku pun….”