Skip to main content

Dua Malam Tahun Baru


Setiap hari perasaan takut terus mengganggu ku, ketika malam datang, bayang-bayang itu muncul dalam wujud mimpi, begitu pun di siang ku, ia berubah wujud menjadi lamunan. Yang jelas dalam setiap ketakutan itu ada dirimu. Hanya dirimu. Bukan orang lain apa lagi semacam makhluk halus, bukan. Hanya kau, ya, hanya kau seorang.
Sudah semakin dekat hari yang rasanya kalau bisa aku tak ingin merasakannya, lebih baik hari itu terlewat begitu saja, tak pernah menghampiri ku yang juga artinya tak pernah menghampiri mu. Karena dalam kasus ini kita adalah satu. Aku dan kau dalam satu masalah yang rumit ini. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, aku semakin hari semakin takut. Semakin gelisah. Takut kau tak kan kembali.
Takut kita tak akan berjumpa lagi.
“Esok subuh, aku akan berangkat,” katamu
“Oh, sudah tiba waktunya ya? Aku tak menghitungnya,” jawab ku lisan, dalam hati aku meringis karena sebenarnya aku bahkan menghitung detiknya, bukan hanya harinya. Sudah jauh hari aku tahu hal itu, itu pun karena kau yang bilang. Sudah jauh hari pula kau ingatkan aku soal itu. Tapi rasanya aku enggan sekali untuk percaya. Aku justru berharap kau hanya membual. Membual seolah-olah kau harus pergi. Padahal kau akan tetap disini, ya disini di sampingku. Menjalani hari-hari indah kita berdua. Hari yang sudah lama aku idamkan, yang sudah lama tak aku rasakan.
“Jangan bohong, kau tak sedih?” ah, itu pertanyaan retoris mu, aku rasa aku tak perlu menjawabnya.
“Kenapa diam? Tak sedih?” kau bertanya lagi.
Aku menunduk diam, tak berani melihat mata mu, tak mampu lebih tepatnya. Ah, kenapa waktu harus berlalu begitu cepat. Kenapa kita tidak ditakdirkan bersama lebih lama. Aku ingin, sangat ingin. Tapi kenapa tidak bisa? Aku tahu kau juga inginkan itu, tapi kenapa kau  juga tak bisa?
“Jawab aku Rindy,” ujarmu sambil memengang dagu runcingku. Mendongakkan kepala ku agar kedua mata kita bersatu, bersaling pandang. Aku berkaca-kaca saat melihat mata mu, sedang mulut ku tak juga mampu bicara. Aku kembali menunduk. Sebulir air mata mulai membasahi pipi. Dingin. Meluncur cepat menuruni dagu dan menetes menitik marmer merah lantai hotel.
“Haaa…..” aku dengar kau tertawa. Dua detik kemudian aku mengangkat kepala, melihat tingkah mu yang bisa tertawa saat aku menangis, menangis takut kehilanganmu. Aku usap air mata ku dengan pangkal lengan ku. Segera kau merebutnya, menerkam tanganku yang hendak mengusap, menggenggamnya erat, sedang jemari tangan lainnya segera mengusap air mata ku. Berlanjut membelai pipi basah ku. Justru itu membuat air mata ku menetes lebih deras, sebulir, dua bulir, tiga bulir, dan tak mampu ku hitung lagi. Mata ku sudah dipenuhi genangan air yang tak terbendung. Meluap menetes membasahi lantai.
Aku pegang tangan mu erat, mungkin kau pikir aku tak sanggup berdiri lagi, sampai-sampai kau harus memelukku, memelukku sangat erat, sampai-sampai aku tak bisa bernafas.
“Jangan pergi,” seru ku pelan.
“Tak bisa sayang,” sambil terus memelukku “Aku harus kembali ke kampung. Aku ingin orang tua ku bahagia saat ini, di usianya yang sudah renta, dia minta aku kembali, di sampingnya untuk menjaganya,”
“Ya…ya… aku tahu, sudah ratusan kali kau bilang, tapi aku tak tahu apa kita masih bisa bertemu nanti atau tidak,” bulir lain kembali menetes.
“Aku pun tak tahu, tapi percayalah. Jodoh itu tidak akan tertukar, jika memang takdir kita aku percaya kita akan bertemu lagi suatu hari,” kini kau melepaskan pelukanmu yang erat itu, menggenggam erat kedua bahu ku. Sedikit kau harus menunduk agak kedua mata kita kembali bertemu. Aku pun melihat seberkas kaca di bola mata coklat mu yang indah itu. dan senyum mu itu, ah…tak bisa kau sembunyikan. Aku yakin kau pun tak rela, sebagaimana aku tak rela kau pergi.
“Ya sudah, semoga kita masih bisa bertemu suatu hari nanti. Dan aku harap kita bisa melanjutkan hubungan ini, meski sekarang tidak atau bahkan belum kita mulai, tapi benar-benar sayang padamu, kau juga merasakannya kan Ihsan?” tanya ku panjang lebar.
“Ya, Rindy. Aku juga merasakannya, seribu kali lebih besar dari yang kau rasakan,” ah, jangan membual di saat seperti ini.
“Sudahlah, percaya padaku, suatu hari aku akan kembali. Selama itu jagalah hati mu, dan aku pun akan menjaga hati ku,” katamu menguatkan, tapi tetap berbulir-bulir air mata terus membasahi pipi mu, meluncur deras ke dagu, menetes membasahi lantai.
“Sudah, ayo kita rayakan malam tahun baru ini. Jangan bersedih terus, Ihsan mulai besok tidak bekerja di sini, biarkan juga dia menghabiskan malam bersama kami Rindy, sebagai malam perpisahannya,” terdengar suara Mita, Receptionist hotel tempat aku dan Ihsan berkerja memanggil kami. Malam ini memang malam tahun baru, malam di mana semua orang bahagia. Tapi tidak untuk ku, juga untuk Ihsan. Aku justru merasa ini malam yang menyedihkan. Betapa tidak, empat jam lagi dia akan berangkat kembali ke kampung halamannya di Makasar, untuk baktinya pada orang tua. Sungguh pria yang hebat, tapi tetap saja tak mampu aku melepaskannya.
Dentuman suara kembang api menggelegar di langit malam kota Medan pada malam itu, dari lantai 10 hotel Cherry, hotel tempat kami bekerja, kilauan dan gemerlap kembang api berbagai jenis memeriahkan malam puncak tahun 2013. Detik-detik terakhir tahun itu dimeriahkan dengan kembang api dari berbagai penjuru kota. Di Medan, pusatnya adalah lapangan Merdeka, yang terletak di pusat kota. Dari lantai 10, kami semua menyaksikan meriahnya kota di malam pergantian malam, sekaligus merasakan pedihnya perpisahan dalam kemeriahan itu.
“Aku pamit ya,” katamu tepat di depan pintu taksi.
“Hati-hatilah, aku menunggu mu kembali,”
“Pasti,” kecupan terakhir mendarat tepat di kening ku. Sebulir air mata lain kembali menetes.
Pintu taksi tertutup, dari jendela taksi aku masih memperhatikan senyum manis mu. Senyum manis bakk malaikat yang selalu membuatku merasa meleleh. Terima kasih untuk hari-hari yang penuh kenangan yang kau berikan, walau pun sebentar, tapi aku sangat bahagia. kita berpisah tepat di malam pergantian tahun, aku berharap kita akan bertemu di malam pergatian tahun lagi. Entah kapan pun itu.
“I Love U,” hanya bahasa bibir tanpa suara, tapi sangat jelas terbaca oleh ku. Aku tersenyum, dan menangis.
***
Dua tahun sudah aku menunggu datangnya seorang pria yang mampu membuka hati ku kembali, setelah dua tahun yang panjang aku menutupnya. Terlalu sakit luka yang diberi pria brengsek yang pun dulu aku puja-puja itu. sampai-sampai aku terpikir untuk tak lagi percaya pada semua pria.
Begitupun ada banyak pria yang mendekati, tapi entah kenapa aku tak mampu membuka hati ku. Belasan bahkan puluhan pria sudah mencoba segala daya dan upaya, begitu pun aku, bukan aku tak mencoba tapi aku tak mampu, aku tak bisa membuka hati ku lagi.
Sahabat ku pun sudah kehabisan akal untuk ‘menyembuhkan’ luka yang walau sudah menahun tapi masih terasa basah ini. Sudah banyak pria yang pun sudah mereka kenalkan, baik itu yang aku belum kenal sama sekali sampai teman sekelas dulu waktu kuliah tapi tetap tidak bisa. Ada sesuatu yang mengganjal di hati ku. Sampai-sampai aku tak bisa merasakan apa pun lagi. Biar pun sudah sering jalan bersama, tetap saja perasaan ku hambar tak berasa.
“Kamu itu maunya apa sih Rin? Kamu mau yang bagaimana?” ujar Wida, mungkin ia sudah lelah melihat ku berganti-ganti gebetan. Ya, hanya gebetan tak pernah sampai pada pacar.
“Bagaimana apanya?” jawab ku pura-pura tak mengerti, berlembar-lembar majalah GADIS aku bolak balik tak dibaca.
“Si Akhmad itu sudah baik sekali sama mu, tapi kenapa kau tak bisa menerimanya?”
“Oh masalah itu, aku tak bisa,”
“Hanya begitu saja respon mu? Kan kasihan dia, dia sudah baik-baik pada mu. Perhatian pada mu, aku dengar pun kau juga baik padanya, perhatian padanya, tapi kenapa ujung-ujungnya tetap seperti ini Rin?” Wida panjang lebar mengeluh. Ah teman ku satu ini, kadang perhatiannya berlebih, tapi berlebih yang tidak menyenangkan. Rasanya aku justru terkungkung pada keinginanannya.
“Bukan begitu, aku sudah mencobanya Wid, tapi tidak bisa. Aku tidak bilang dia tidak baik, justru dia sangat baik pada ku. Tapi jauh hari aku sudah merasa kalau kami tidak bisa bersama, aku sudah jelaskan padanya, tapi sepertinya dia tidak mengerti,” jawabku panjang lebar pula, majalah itu sudah aku lemparkan ke atas meja.
“Jadi kenapa kau beri ia harapan?”
Aku bingung harus menjawab apa, ya aku salah karena sudah memberi Akhmad harapan, tapi aku juga tidak tau akhirnya harus begini. Aku juga ingin mencoba, tapi ujungnya tak bisa.
“Sudah lah Wid, mungkin memang bukan dia orangnya, bukan dia pangeran berkuda yang aku cari. Pangeran berkuda yang muncul dari awan hitam yang selama ini menghantui hati ku,” jawab ku bermajas.
“Ah, entah bagaimana tipe pangeran mu itu aku pun tak mengerti, sudah banyak pria yang mungkin kau sakiti baik secara langsung maupun tidak Rin, jangan bermain-main dengan hati mereka, tidak semua pria punya hati yang keras, Akhmad mungkin pria dengan hati yang lembut,” astaga, panjang sekali temanku ini kalau menceramahi.
“Ya Wid, maafkan aku soal itu, aku juga tak ingin seperti ini, tapi apa daya, hati ku memang tak bisa menerimanya. Aku pikir ini lebih baik dari pada suatu saat ketika aku menemukan tambatan hati ku sementara aku masih dekat dengannya, tentu itu lebih menyakitkan baginya bukan?” aku membela diri.
“Terserah kau sajalah Rin, aku pun sudah lelah melihat mu,”
“Ya sudah, kau pun tak perlu bersusah payanh mencari pangeran untuk ku, pada saatnya tiba ia akan datang sendiri. dan tentu ketika hati ku sudah siap menerimanya,”
“Baiklah,” Wida kali ini mengalah, tidak biasanya memang. Mungkin karena ia sudah terlalu lelah dengan ku.
Telepon genggam dari atas meja meraung-raung keras, getarannya membuat susu dalam gelas bening yang ku letakkan di atasnya ikut bergetar. Segera aku mengambilnya dan mengangkat telepon tersebut.
“Selamat Siang,” kata ku
“Selamat siang, dengan ibu Rindy Aminarti?” suara operator dari seberang telepon genggam ku sangat lembut.
“Iya, ini siapa ya?” Tanya ku.
“Ini dari manajement Hotel Cherry,” Astaga, aku kegirangan, ini mungkin panggilan untuk hasil wawancara dan test kemarin. “Ibu Rindy mohon hadir besok siang pukul 2 untuk pembicaraan lebih lanjut soal test yang anda laksanakan kemarin.”
“Oh iya bu, terima kasih,” jawab ku.
“Sama-sama, selamat siang,” operator dari sebelah ruangan itu kemudian menutup teleponnya.
“Wid, sepertinya aku akan diterima bekerja di hotel Cherry kemarin,”
“Wah, selamat yaa….” kata Wida turut senang.
“Belum, besok masih mau dibicarakan, mungkin akan teken kontrak,” kataku percaya diri.
“Aku doakan kau diterima,” katanya.
“Terima kasih teman,”
***
Dua hari setelah telepon itu aku mulai bekerja, sebagai pekerja magang, aku punya banyak pekerjaan. Belum punya posisi tetap, aku berkerja ‘serabutan’. Menjadi  pegawai coffee shop, menjadi receptionist hingga kasir. Tapi yang paling aku senangi adalah menjadi pegawai coffee shop, entah kenapa aku pun tak tahu pasti. Tapi aku merasa nyaman bekerja di sana.
“Ini Ebi, udang goreng makanan khas Jepang, mau coba?” ujar Ihsan pada ku. Ia seorang koki. Tampan, tinggi, dengan senyumannya yang menggoda. Itu pertama kali ia menyapa.
“Untuk ku?” tanyaku.
“Ya, untuk siapa lagi, cobalah,” katanya.
“Wah, enak sekali. Pasti kamu sudah lama jadi koki.
“Baru dua tahun di tempat ini, 5 tahun di tempat lain,” ujarnya dengan senyumnya yang manis itu. Aku ikut tersenyum.
Sejak hari itu aku senang bekerja di coffee shop, ia rajin membuat makanan yang berbeda setiap harinya. Dan setiap hari pula ia suguhkan pada ku. Dengan senyumnya yang khas itu. dan setiap hari pula ia memaksaku untuk makan makanannya, terutama menu baru yang belum pernah ia buat sebelumnya.
Entah kenapa ada yang berbeda dari nya. Aku pun melihatnya berbeda. Tidak seperti pria kebanyakan. Ia rajin, tampan, dan pintar memasak. Aku sendiri tak sepintar ibu ku dalam hal masak memasak. Tapi sepertinya ia jauh lebih hebat.
Sejak saat itu pula aku ditetapkan menjadi pegawai coffee shop, sejak saat itu pula aku mulai dekat dengannya. Kali ini berbeda. Tak ada perasaan janggal atau tertekan. Aku merasanya nyaman berada di dekatnya, pun sedikit pun tak merasa bosan. Aku justru merasa…bahagia. ya, bahagia.
“Cieee, ada yang lagi PDKT,” Mita mulai meledek. Ia pegawai coffee shop yang lain. Sudah cukup lama bekerja di hotel Cherry.
“Udahlah, apalagi, jadikan terus,” ujarnya.
“Nantilah, aku tak mau buru-buru,” kata ku.
“Tapi kalian cocok loh, aku lihat juga mirip,” ujarnya. Aku melirik ke cermin yang tepat di arah jam 12 dari tempat aku berdiri.
“Hahah, langsung lihat cermin ya,” ia tertawa meledek.
“Kurang ajar, aku mau merapikan poni,” aku sampai tak sadar diri, malu dibuat seperti itu.
“Dia itu baik Rin, setia, rajin dan pintar memasak, tak suka kau padanya Rin?”
“Entahlah Mit, aku rasa aku tidak mau buru-buru dan tidak mau memaksa, tapi memang dengannya ada yang berbeda,”
“Cobalah, siapa tau memang kalian bisa lebih jauh,”
“Aku harap juga begitu Mit,” dua detik kemudian aku baru sadar kalau itu adalah sebuah pernyataan. Dan pernyataan itu membuat gadis 25 tahun yang imut di depan ku ini tersenyum sumringah sampai-sampai matanya menyipit seperti orang jepang.
“Apaan sihh?” aku risih melihatnya tersenyum.
“Aku akan kasi tahu bang Ihsan,” katanya.
“Jangan…..!!!” ia sudah lebih dulu berlari kedepan.
“Rin,” tiba-tiba Ihsan sudah berdiri di depan ku, aku terdiam kaku.
“Ihsan, ada apa?” aku rasakan pipi ku mulai memarah, aku yakin Mita belum sempat memberi tahunya. Sebab ia tadi langsung berlari ke dapur. Sedang Ihsan ternyata muncul dari gang tepat setelah Mita pergi.
“Aku dengar semuanya,” ah….sial, itu ternyata. Dia mendengar percakapan ku dan Mita.
“Aku juga merasa kau berbeda dari yang lain Rin, Rin, aku sayang kau Rin,” ia berterus terang, ia bicara seolah-olah bicara pada dinding.
“Haa? Kamu…kenapa…ah….” Aku tergagap.
“Aku sayang kamu,”
“ughh….” lagi-lagi aku tergagap.
“Tidak, kau tidak perlu jawab sekarang, aku Cuma ingin kau tau aku sayang kau. Dan aku dengar sendiri kau pun begitu bukan?” ujarnya.
Well¸but tidak secepat itu Ihsan,”
“Ya, memangnya aku minta apa Rin? Aku tidak meminta kau menjawab apa pun, kita jalani dulu,”
“Ya,” astaga, aku malu. Aku bicara begitu seolah-olah ia sudah minta aku jadi pacarnya saja. Aku malu.
Sejak hari itu aku dan Ihsan semakin dekat, kemana-mana bersama, menghabiskan waktu kosong bersama hingga memasak bersama. Aku rasa aku benar-benar telah membuka hati ku, aku rasa karenanya aku sudah mampu mengobati luka di hati ku. Luka yang basah karena seorang lelaki brengsek di masa lalu ku.
“Rin, aku harus pulang, orang tua ku sakit, ia minta aku ada di sampingnya sekarang,” kata-kata itu seperti petir yang menyambar bagi ku. Rasanya baru sebulan bertemu, dan aku pun merasa sudah sangat dekat dengannya, aku pun sudah merasa sangat mencintainya, walaupun dalam waktu yang singkat ini. Tapi entah kenapa luka ku benar-benar terobati. Hati ku sembuh karena mu. Tapi, kenapa harus ada luka yang lain. Luka karena tak bisa memiliki mu.
***
31 Desember 2015, Medan, aku menunggu di Bandara Internasional Kualanamu. Hari ini aku akan berangkat ke Malaysia, untuk menemui keluarga ku di sana, dan untuk rekreasi saja. Dua tahun kau tinggalkan rasanya perih Ihsan. Sangat perih. Meski disana kau memberi kabar, tapi tetap diantara kita tidak ada hubungan apa pun. Aku bersikeras tidak mau menjalin hubungan jarak jauh. Tapi rasanya aku pun tak bisa melepas mu begitu saja.
Aku penat, aku sudah lelah menunggu mu, dan kau tak kunjung kembali. malam ini aku akan berangkat ke Malaysia, malam tahun baru. Ingat kau, dulu kita berpisah di malam tahun baru, dan aku berharap aku bisa kembali betemu dengan mu di malam tahun baru pula. Tapi entah kapan itu aku pun tak tahu.
Kembang api pun terlihat dari bandara ini, padahal belum pukul 12 malam. Sudah ramai warga bermain kembang api, merayakan gelegar kemeriahan pergantian tahun.
Tas sandang ku bergetar, aku tak memperhatikan, terlalu sibuk melihat kembang api yang menggelegar di langit malam. Tas itu bergetar kembali, getaran dari ponsel yang aku miliki. Tanpa mengalihkan pandangan, aku mengambil ponsel ku dan mengangkat telepon tanpa melihat siapa yang menelpon.
“Halo,”
“Dimana kau? Sudah berangkat?”
“Ini siapa?” Tanya ku.
“Tak kenal kau lagi pada ku?”
Aku terdiam sebentar, aku jauhkan ponsel dari telinga ku dan melihat siapa gerangan pemilik suara yang familiar ini, aku lihat nama penelponnya.
“Ihsan,” gumam ku
“Ya, Ihsan, kau dimana, sudah berangkat?” suaranya tergesa-gesa.
“Aku di Bandara, kenapa?”
“Dimananya? Aku segera kesana,”
“Gila, kau dimana sekarang,” aku memutar bola mata, menganggap leluconnya kali ini tak lucu.
“Aku di Bandara,”
“Bandara mana? Tempat tidur maksudnya?” ledek ku.
“Di bandara Kuala Namu,”
“Aku tak percaya, jangan bercanda, kau…” tiba-tiba seseorang menepuk pundak ku dari belakang.
“Aku kembali sayang,” ujar Ihsan dari belakang.
Aku sontak kaget bukan kepalang, kenapa tiba-tiba sipemilik senyum ini bisa ada dibelakangku?
“Kau, dari mana..” tiba-tiba ia memelukku erat.
Aku tak sanggup menahan tangis, aku rindu, aku rindu sekali pelukan hangat ini. Dan….. kecupan ini, ia baru saja mengecup kening ku.
“Ihsan, ibu mu?” Tanya ku.
“Ia sudah meninggal seminggu yang lalu, itulah kenapa aku jarang menelpon mu, aku sangat sibuk disana. Dan aku mengurus penerbangan ku untuk hari ini, apalagi setelah aku tahu dari Mita kau tak lagi bekerja di Cherry, dan hendak berlibur panjang ke Malaysia.
“Aku tak mau kau tinggalkan lagi Rindy, Tidak untuk selamanya, batalkan penerbangan ini. Dan kita kembali ke rumah mu malam ini juga. Aku ingin melamar mu Rin, melamar mu sesuai janji ku,”
Aku tak bisa lagi berkata apa-apa, aku hanya menangis terharu, sedih, rindu, senang semua bercampur aduk. Aku tak menjawab apa-apa selain.
“Kita nikmati dulu malam tahun baru kita sayang, malam tahun baru kedua kita berdua,”
“Ya, kita nikmati dulu malam ini, malam yang sudah kau tunggu selama ini,”
Ia mengecup keningku lagi dan mempererat pelukannya.
“Aku rindu padamu Ihsan,”
“Aku pun Rindy, Aku pun….”



Popular posts from this blog

Apa yang Dihasilkan Politik Kampus?

Bicara soal politik, rasanya ta k sedikit orang yang ingin terjun. Entah apa sebabnya, namun hal ini sudah menjadi rahasia umum. Meskipun persentase kemenangan kecil, tetap saja banyak calon legislatif yang rela mengeluarkan sedikit uang untuk kampanye. Tak hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau kalah dalam hal berpolitik. Politik masuk ke Universitas-Universitas. Spanduk bertebaran di gedung-gedung, mengajak masyarakat kampus untuk memilih dan mencoblos tuannya. Mahasiswa yang menilai dirinya sebagai aktifis cenderung terjun kedalam politik kampus. Dan berbondong-bondong mendirikan serta menjalankan partai politik mereka sendiri. Alasan yang dikemukakan tentunya alasan yang sama seperti yang kita dengar dari politikus-politikus handal di televisi. "Memperjuangkan aspirasi rakyat (dalam hal ini mahasiswa) ". 

Tak Ada Lagi Topi Kerucut dan Kalung Petai

Oleh: Nur Akmal IKUTI MPLS: Peserta didik baru SMK Negeri 1 Medan mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Seluruh peserta didik baru tak lagi memakai atribut berbau perploncoan sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa (Foto : Nur Akmal) Hujan  sejak subuh masih menyisakan awan gelap dan udara yang dingin, namun tak menggoyahkan semangat siswa-siswa baru untuk hadir pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Pakaian mereka putih bersih, rapi dan tampak masih baru. Mereka berbaris rapi menantikan satu persatu aktivitas Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang tahun ini dikendalikan sepenuhnya oleh guru. "Selamat datang di SMK Negeri 1 Medan, dalam sesi ini kita akan membahas budaya dan tata terbit sekolah," demikian SJ Simamora, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat dan Industri menyapa para peserta didik baru di lapangan SMK Negeri 1 Medan yang diberi tenda agar siswa tak terkena hujan.

Pagar Api dan Berita Titipan Media Massa

Jika dulu sering kita lihat dalam suatu scene sebuah film yang menampilkan gambar blur pada suatu merek dagang yang tanpa sengaja tertangkap kamera. Kini agaknya tak banyak lagi kita temui, malah secara terang-terangan pelbagai merek dagang terpampang jelas di hampir setiap scene film, bahkan merambah pada media massa seperti suratkabat. Iklan memang dibolehkan, tapi pagar api perlu diperhatikan.