Satu
pemandangan yang tidak pernah saya lupakan adalah ketika saya melihat almarhum
ayah saya menangis karena tidak bisa menghadiri shalat ied fitri, saya lupa
entah kejadian ini tahun berapa, yang jelas saat itu saya masih SD antara kelas
5 atau 6.
Ayah saya sudah menderita sakit. Sesak nafas. Tidak bs jalan jauh. Kalau jalan jauh akan kumat. Jadi tahun itu tahun pertama ia tidak ikut serta shalat ied berjamaah. Juga shalat shalat 5 waktu sehari hari. Biasa shalat jamaah di mushalla dekat rumah.
Waktu itu ayah saya duduk di depan tv. Saat semua abang dan kakak saya berangkat shalat. Hanya tinggal saya, ayah dan mamak di rumah. Ia menyalakan tv memutar channel yg menayangkan shalat ied berjamaah di mesjid istiqlal. Gaung kumandang takbir yang indah membasahi hati siapa saya yang mendengarnya. Ternyata bagi alm ayah saya juga turut membuat matanya basah. Tak mampu ia bendung air mata yanh perlahan menetes di matanya yang kemerahan.
Ayah saya sudah menderita sakit. Sesak nafas. Tidak bs jalan jauh. Kalau jalan jauh akan kumat. Jadi tahun itu tahun pertama ia tidak ikut serta shalat ied berjamaah. Juga shalat shalat 5 waktu sehari hari. Biasa shalat jamaah di mushalla dekat rumah.
Waktu itu ayah saya duduk di depan tv. Saat semua abang dan kakak saya berangkat shalat. Hanya tinggal saya, ayah dan mamak di rumah. Ia menyalakan tv memutar channel yg menayangkan shalat ied berjamaah di mesjid istiqlal. Gaung kumandang takbir yang indah membasahi hati siapa saya yang mendengarnya. Ternyata bagi alm ayah saya juga turut membuat matanya basah. Tak mampu ia bendung air mata yanh perlahan menetes di matanya yang kemerahan.
Melihat itu mamak yang dari tadi di samping beliau memeluk mesranya dan turut meneteskan air mata.
"Sedihnya gak bisa ikut shalat tahun ini." Kata ayah. Aku tidak pernah lupa dialog itu. Yang juga membuat ku ikut menangis mendengarnya. Bahkan saat tuliskan ini aku tulis mata ku masih terasa basah.
Begitulah kerinduannya akan shalat berjamaah di mesjid. Di penghujung usianya karena sakit ia tidak bs melaksanakannya lagi.
Malam ini saya tergerak untuk menulis. Saya melihat seorang kakek yang menggotong kursi kecil ke mesjid. Itu untuk penyangganya berjalan. Kadang juga untuk ia shalat duduk kalau kalau tak sanggup berdiri. Meski tertatih tatih beliau sering terlihat ke mesjid. Dan selalu jadi yang paling akhir berdiri. Karena kesulitan. Harus memegang jeruji2 jendela mesjid yang besar.
di lain waktu saya melihat seorang bapak bertubuh gempal yang ada masalah di kakinya. Juga kesulitan dalam berjalan dan berdiri tapi tidak menyurutkan semangat nya dalam menunaikan shalat berjamaah. Ia bahkan nyaris harus berjongkok ketika duduk di antara dua sujud dan tasyahud. Dan butuh waktu lama untuk berdiri kembali.
di lain waktu lagi saya melihat seorang pria yang kakinya terpasang penyangga dari besi yang menancap langsung ketulang. Ia harus shalat duduk. Tapi tetap tidak mau meninggalkan shalat jumatnya. Subhanallah.
lantas bagaimana dengan kita? Yang masih diberi tubuh yang sehat dan bugar. Anggota badan yang lengkap tanpa penyakit. Masih sering lalai dan mengabaikan panggilan muadzin? Bersantai santai sedang Allah sudah memanggil. Shalat di akhir akhir waktu itu pun kalau tidak lupa. Astagfirullah.
Sebuah renungan bagi kita semua. Marilah ramaikan masjid masjid. Khusus para pemuda. Apakah kita akan menunggu sampai tubuh begitu sulit berjalan baru muncul keinginan untuk memakmurkan masjid masjid Allah? Sampai tubuh tak mampu lagi berjalan baru hati ini merindu untuk melaksanakan shalat di mesjid?
Yah.... insyaAllah aku jaga shalat ku seperti kau selalu menjaga diri mu tetap berada di antara shaf shaf orang orang yang rukuk. Memang kau tak pernah berpesan. Tapi sungguh aku malu jika tidak melakukan apa yang kau wariskan. :(
Tulisan ini aku tulis di teras mesjid selepas isya. Sembari menunggu hujan mereda.