Hasil
Programme for International Students’ Assessment (PISA) 2012 yang dirilis
Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) beberapa waktu
lalu menunjukkan kita sebuah fakta bahwa peringkat penilaian siswa-siswa kita
berada pada urutan ke-2 dari bawah (ke-64 dari 65 negara yang ikut serta). Hal
ini seperti cambuk yang menyayat dunia pendidikan kita, mengingat bahwa kita
tertinggal jauh dari negara-negara tetangga se ASEAN. Singapura sendiri menduduki
peringkat ke-2 terbaik di bawah China.
Namun ada
satu hal yang juga patut diperhitungkan, boleh dibilang kabar gembira, sebab
siswa-siswa Indonesia menduduki peringkat pertama dalam hal kebahagiaan.
Anak-anak Indonesia merasa paling bahagia berada di sekolah mereka, diikuti
Albania, Peru dan Thailand. Sedang yang paling tidak bahagia ditempati Korea
selatan.
Kedua
penilaian ini pun menjadi perbincangan, di satu sisi kebahagian siswa di
sekolah menunjukkan adanya perubahan pendidikan Indonesia dari tahun-tahun
sebelumnya. Bagi kita yang dihasilkan oleh kurikulum sebelum KTSP (2006 ke
bawah) pasti masih teringat jelas betapa sekolah itu terasa “kejam”, tidak
semua memang, tapi kebanyakan orang jika ditanya tentang pengalaman sekolah,
pasti yang teringat adalah ketika dilempar penghapus oleh guru karena rebut di
kelas, dicubit karena tidak siap pekerjaan rumah, dan berdiri di depan kelas
dengan kaki satu karena terlambat masuk.
Sementara
saat ini, melalui hasil PISA 2012, yang mengikutsertakan siswa berusia 15-16
tahun dari tingkat SMP/MTs/SMA/MA/SMK baik swasta maupun negeri dari katagori
baik hingga kurang, setidaknya sudah tidak merasakan hal yang sama. Dalam
survey PISA yang meminta siswa mengisi buku tes dengan waktu pengerjaan selama
dua jam itu, siswa menyebut diri mereka bahagia selama di sekolah.
Boleh
dibilang ini sejalan dengan apa yang pendidikan kita idamkan saat ini. Sistem
pendidikan yang katanya tidak lagi perlu mementingkan nilai-nilai kognitif
belaka, tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik. Serta menjadikan siswa
sebagai pusat pembelajaran, dan menerapkan sistem belajar sama dengan bermain.
Siswa tidak lagi mesti dijejali dengan kecapakan teknis seperti menghafal dan
berhitung ruwet serta lebih mementingkan aspek spiritual dan pembinaan karakter
untuk membangun moral bangsa.
Akan tetapi
yang menjadi perdebatan adalah, apakah kebahagiaan cukup untuk membuat
siswa-siswa memahami soal matematika, sains dan membaca—indikator penilaian
PISA—dengan baik? dari hasil yang
dirilis tersebut kita sudah bisa menyimpulkannya.
Doni
Koesoema, seorang praktisi pendidikan Indonesia dalam artikelnya di Harian
Kompas dengan jelas menyebutkan bahwa kebahagiaan semata tidak cukup untuk
membuat pendidikan Indonesia masuk dalam pertimbangan dunia, selama aspek
prestasi akademis seperti matematika dan sains masih terperosok di peringkat
terbawah, selamanya pendidikan Indonesia tidak akan dipandang negara-negara
lain.
Dilematis
Setidaknya
dalam dua penilaian siswa internasional anyar yang baru-baru ini merilis
hasilnya, yaitu PISA dan TIMSS, keduanya menunjukkan hasil yang tidak jauh
berbeda, keduanya tidak menunjukkan hasil yang baik. Kedua penilaian ini
diperoleh dari siswa dengan yang menerapkan kurikulum KTSP. Artinya
satu-satunya keberhasilan Kurikulum KTSP adalah berhasil membuat siswa merasa
bahagia di sekolah.
Selanjutnya
muncul kurikulum 2013 guna menutupi kekurangan dari KTSP. Meskipun K2013 ini
terkesan tidak matang dan menuai banyak kritik tentang visi dan implementasinya
dalam dunia pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Salah satu bagian penting
yang hendak diciptakan pemerintah dalam penerapan K2013 ini adalah kompetensi
siswa yang diarahkan pada bentuk-bentuk kerohanian dan keagamaan, serta
moralitas untuk membangun karakter baik siswa.
Ini
merupakan bagian dari upaya menurunkan angka tindakan negatif yang belakangan
ini menjadi masalah pendidikan. Seperti ramai diberitakan media-media nasional
beberapa waktu lalu tentang video porno siswa SMP, tindak perilaku pemerkosaan,
hingga tawuran yang berujung kematian.
Di satu sisi
kita memang membutuhkan bentuk-bentuk penerapan yang demikian, namun kita tidak
pula boleh lupa bahwa pendidikan memang juga harus membentuk manusia-manusia
yang berpikir logis dan nalar, punya kompetensia akademik akan disiplin ilmu.
Bukan semata-mata kebahagian dan moralitas. Ini lah kenapa penulis sebut
sebagai bagian dari dilematis dunia pendidikan.
Kita tidak
hanya harus mementingkan salah satu dari kedua aspek penting ini, melainkan
harus menciptakan keseimbangan di antaranya. Sehingga generasi emas yang hendak
kita ciptakan dalam beberapa tahun kedepannya tidak hanya orang-orang yang
cerdas secara membaca, sains, dan matematika, tapi juga cerdas secara emosional
dan spiritualnya.
Dalam
tulisannya, Doni Koesoema menyebutkan K2013 yang gejoloh kerohanian akan
mematikan fungsi kritis dan logika nalr individu yang akan mematikan daya
kritis dan menyemai benih kekerasa atas anama agama dan perbedaan. Ia berkaca
pada China yang negara komunis dan Singapura yang sekuler dan plural yang dalam
pendidikannya mementingkan proses belajar, bukan berdoa.
Tapi penulis
pikir, tidak ada salahnya jika menerapkan keduanya dalam satu bentuk kurikulum.
Untuk itu perlu ada cara agar keduanya bisa tersalurkan dengan baik pada siswa
tanpa mendegradasi salah satu aspek. Bagaimana caranya, tentu semua itu ada
pada tangan dingin guru yang menjadi ujung tombak terselenggaranya kurikulum.
Intinya
kualitas guru harus lebih ditingkatkan. Kemampuan bernalar dalm pembelajran
lebih bergantng pada pendekatan dan metode yang dipakai guru, bukan kurikulum
itu sendiri. seharusnya alokasi dana anggaran pendidikan difokuskan pada
peningkatan kualitas guru misalnya melalui pelatihan. Tapi bukan pelatihan
dalam hitungan hari saja, melainkan secara kontinyu alias berkelanjutan.
Serta
tentunya bernaung pada kesejahteraan para guru dalam menjalankan tugasnya,
sekolah yang baik adalah sekolah yang menyediakan pelatihan rutin bagi para
guru, dan guru yang baik juga merupakan
guru yang mampu menunjukkan bukti kerjanya.
Sebagai
penutup, hasil PISA kemarin memang bukan apa yang kita harapkan, menjadi posisi
tertinggi dengan predikat paling bahagia pun tak cukup pula untuk dibanggakan,
tapi setidaknya itu sebuah keberhasilan. Kedepannya kedua aspek penting ini
harus mengalami keseimbangan. Jayalah pendidikan Indonesia. ***
Penulis adalah Guru SD Azzakiyah, Alumnus
FKIP UMSU