Skip to main content

Ilusi Kesetaraan Pembangunan Daerah


Mencermati Indeks Tata Kelola  Pemerintahan Indonesia atau Indonesian Government Index (IGI) tahun 2012 yang dimuat Harian Kompas pada Kamis 29 Agustus lalu, memberitahukan kita bahwa paradox demokrasi dan kesenjagan kualitas pembangunan antarprovinsi di Negara ini semakin melebar. Beberapa provinsi malah menunjukkan rata-rata kinerja pemerintah masuk dalam kategori buruk, yakni mendapat angka dibawah 5 dari skala 10.

Data yang dirilis tersebut merupakan kelanjutan dari Partnership Governance Index pada 2008 guna mengukur kinerja tata kelola pemerintahan daerah di tingkat provinsi. Di posisi teratas ditempati oleh provinsi Yogyakarta dengan indeks tergolong baik (6,80) disusul Jawa Timur (6,43), DKI Jakarta (6,37), Jambi (6,24) dan Bali (6,23). Sedangkan diurutan terbawah dari 33 provinsi ditempati oleh Maluku Utara (4,45), di atasnya Papua Barat (4.48), Bengkulu (4,81), NTT (4,87) dan Papua di posisi 29 (4,88). Penulis ambil posisi 5 teratas dan terbawah.

Ada enam indikator utama dalam menentukan indeks tersebut, diantaranya akuntabilitas, transparansi, keadilan, efisiensi, efektivitas dan partisipasi pemerintah. Dari angka tersebut, dengan skala 10, kita dapat melihat bahwa antar provinsi masih terdapat ketimpangan distribusi pembangunan. Provinsi teratas merupakan provinsi yang memiliki daya saing yang lebih baik. Seperti Yogja, Jakarta dan Bali. Tak hanya itu, kesenjangan pun tercermin dari penyebaran sumber daya manusia, industry, perdagangan, infrastruktur, pendidikan dan lainnya.


Kesenjangan banyak terjadi di berbagai sektor, yang kemudian mempengaruhi pada pembangunan daerah itu sendiri. saat ini kesenjangan yang paling jelas terlihat ada antar kota dan desa, juga antar provinsi bahkan antar pulau. Berbicara soal antar pulau, maka pulau Jawa lah yang memiliki indeks pembangunan tertinggi. Ini dipengaruhi oleh infrastruktur yang baik, seperti jalan raya, bandara, pengadaan tenaga listrik dan lainnya, sehingga kegiatan ekonomi berjalan lancar.
Sekadar informasi, Sumatera Utara dalam IGI 2012 menduduki posisi ke 13 dengan indeks 5,94, ini sudah meningkat jauh dibandingkan tahun 2008 yang hanya mencapai 3,55. Namun jika dibandingan dengan DKI Jakarta masih terlihat timpang. Padahal Sumatera Utara punya kota Medan sebagai kota ketiga terbesar di Indonesia, juga punya banyak tempat wisata yang layak dikunjungi dunia. Namun kegiatan ekonomi dan investasi tidak  memadai, disebabkan kerana infrastruktur yang kurang baik diantaranya jalan rusak hingga listrik yang hampir setiap hari padam.
Selain itu, dari segi pendidikan pun universitas di Jawa masih menjadi favorit pemuda seluruh Indonesia, ini bukti bahwa ketimpangan kualitas pendidikan pun masih terjadi. Sehingga tiap tahunnya terjadi gelombang migrasi SDM-SDM berkualitas untuk menuntut ilmu di tanah Jawa. Di Sumatera Utara sendiri, universitas negeri pun hanya dua, tidak cukup untuk menampung SDM yang memiliki keinginan kuat untuk kuliah di PTN berkualitas. Sehingga banyak yang juga mencoba untuk belajar ke pulau Jawa sebagai pusat pendidikan.
Sayangnya, kebanyakan pemuda-pemudi yang ikut program “migrasi” tersebut setelah menyelesaikan studi enggap untuk kembali ke kampung halaman, dengan segala kemewahan dan fasilitas yang ada di kota (tempat belajar) maka kebanyakan memilih untuk tetap tinggal dan berkarir di sana. Khusus yang ini tidak saja di pulau Jawa, tapi juga di kota-kota. Banyak yang selesai belajar kemudian enggan kembali ke desa. Sehingga pembangunan pun tidak berjalan di desa, generasi-generasi emas lebih sering berkarir dan mengabdi di kota.
Rekonstruksi
Menurut Israr Iskandar, sejarawan Universitas Andalas Padang, pembentukan Jawa sebagai episentrum pemerintahan dan ekonomi merupakan warisan pemerintahan kolonial Belanda. Tapi sejak Indonesia merdeka, upaya untuk melakukan rekonstruksi menyeluruh tidak dilakukan. Pemerintahan Orde Baru di bawah “Bapak Pembangunan” pun abai terhadap aspek pemerataan, baik pemerataan daerah maupun antar wilayah. Padahal saat itu pemerintahan sedang ditopang politik dan pinjaman modal dari luarnegeri. Berpeluang besar untuk membentuk kesetaraan pembangunan.
Sejatinya tata kelola pemerintahan yang baik berawal bagaimana masyarakat sipil, pembuat kebijakan politik alias pemerintah, pelaksana kebijakan atau birokrasi, dan pelaku ekonomi bersinergi dalam membangun kehidupan yang baik, bebas, adil, aman dan sejahtera. Terkait pengukuran IGI di atas yang didasarkan pada realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanjar Daerah (APBD) tahun 2011 yang baru keluar pada Desember 2012. Hal ini menunjukkan ada persoalan transparansi sehingga tidak mudah mendapatkan data.
Nah, mendapati hal ini, sehubungan dengan akan diadakannya pemilu 2014, calon legislatif baik DPR, DPD atau DPRD masing-masing sebagai perwakilan rakyat mesti tahu betul permasalahan yang ada di daerah masing-masing. Sehingga lebih memudahkan dalam upaya memperjuangkan pembangunan dan kesejahterakan rakyat dan daerah. Agar tak terjadi jarak ketimpangan pembangunan yang menganga antar satu provinsi atau daerah dengan yang lain.
Kembali ke permasalahan kesenjangan pembangunan tadi, pertumbuhan ekonomi rata-rata selama 2010-2013 di berbagai daerah sangat rendah.  Dan bahkan beberapa daerah angka inflasinya lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi. Hal ini akan berpengaruh pada angka kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan antar daerah menjadi semakin melebar.
Daerah perbatasan lebih mengkhawatirkan lagi, perhatian pemerintah terhadap daerah perbatasan seolah tak sampai. Nyaris tak tersentuh. Dalam sebuah film besutan Dedi Mizwar berjudul Tanah Surga (Katanya), orang-orang daerah perbatasan Malaysia-Indonesia di Kalimantan malah lebih mengenal ringgit sebagai mata uang untuk kegiatan jual beli karena kegiatan ekonomi di sana lebih banyak berinteraksi dengan Malaysia.
Belum lagi masalah kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan ketahanan seolah tak tersentuh. Dalam film itu, warga pun tak mengenal bendera merah putih, apalagi lagu kebangsaan. Juga tak sedikit pula yang lebih memilih untuk hijrah dan pindah kewarganegaraan karena merasa lebih sejahtera menetap di sana. Pembangunan antar daerah memang patutnya mendapat perhatian penting. Bukan hanya perkara kesejahteraan, tapi juga menyangkut nasionalisme.
Sebagai penutup, penulis tuliskan puisi yang dibacakan Salman, pemeran utama film itu.
Bukan lautan hanya kolam susu, (katanya), tapi kata kakek ku hanya orang-orang kaya yang bisa minum susu..
Kail dan jala cukup menghidupimu, (katanya) tapi kata kakek ku ikan-ikan kita dicuri oleh banyak Negara.
Tiada badai tiada topan kau temui,(katanya) tapi kenapa ayahku tertiup angin ke Malaysia
Ikan dan udah menghampiri dirimu (katanya) tapi kata kakek awas ada udang dibalik batu
Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat dan kayu jadi tanaman,(katanya) tapi belum semua rakyatnya sejahtera banyak pejabat yang menjual kayu dan batu untuk membangun surganya sendiri.***

Penulis adalah Mahasiswa FKIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU)

Popular posts from this blog

Apa yang Dihasilkan Politik Kampus?

Bicara soal politik, rasanya ta k sedikit orang yang ingin terjun. Entah apa sebabnya, namun hal ini sudah menjadi rahasia umum. Meskipun persentase kemenangan kecil, tetap saja banyak calon legislatif yang rela mengeluarkan sedikit uang untuk kampanye. Tak hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau kalah dalam hal berpolitik. Politik masuk ke Universitas-Universitas. Spanduk bertebaran di gedung-gedung, mengajak masyarakat kampus untuk memilih dan mencoblos tuannya. Mahasiswa yang menilai dirinya sebagai aktifis cenderung terjun kedalam politik kampus. Dan berbondong-bondong mendirikan serta menjalankan partai politik mereka sendiri. Alasan yang dikemukakan tentunya alasan yang sama seperti yang kita dengar dari politikus-politikus handal di televisi. "Memperjuangkan aspirasi rakyat (dalam hal ini mahasiswa) ". 

Tak Ada Lagi Topi Kerucut dan Kalung Petai

Oleh: Nur Akmal IKUTI MPLS: Peserta didik baru SMK Negeri 1 Medan mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Seluruh peserta didik baru tak lagi memakai atribut berbau perploncoan sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa (Foto : Nur Akmal) Hujan  sejak subuh masih menyisakan awan gelap dan udara yang dingin, namun tak menggoyahkan semangat siswa-siswa baru untuk hadir pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Pakaian mereka putih bersih, rapi dan tampak masih baru. Mereka berbaris rapi menantikan satu persatu aktivitas Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang tahun ini dikendalikan sepenuhnya oleh guru. "Selamat datang di SMK Negeri 1 Medan, dalam sesi ini kita akan membahas budaya dan tata terbit sekolah," demikian SJ Simamora, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat dan Industri menyapa para peserta didik baru di lapangan SMK Negeri 1 Medan yang diberi tenda agar siswa tak terkena hujan.

Pagar Api dan Berita Titipan Media Massa

Jika dulu sering kita lihat dalam suatu scene sebuah film yang menampilkan gambar blur pada suatu merek dagang yang tanpa sengaja tertangkap kamera. Kini agaknya tak banyak lagi kita temui, malah secara terang-terangan pelbagai merek dagang terpampang jelas di hampir setiap scene film, bahkan merambah pada media massa seperti suratkabat. Iklan memang dibolehkan, tapi pagar api perlu diperhatikan.