Skip to main content

Ketika Listrik harus Impor



Saya tercengang begitu membaca berita yang dimuat Harian Kompas edisi 11 November 2013 lalu, dengan judul “Indonesia Impor Listrik” yang dicetak dengan ukuran huruf judul yang besar, seketika mata saya tertuju pada berita tersebut. Entah itu tergolong berita baik atau buruk, tapi rasanya berita tersebut menyayat hati. Sungguh ironi Negara sebesar Indonesia, dengan sumber daya alamnya yang melimpah ini, yang diakui oleh seluruh dunia pula harus mengimpor pasokan listrik dari Negara tetangga, Malaysia.

Di satu sisi, kita khususnya warga Sumatera Utara yang merasakan langsung krisis listrik seperti merasakan angin segar bahwa pasokan listrik akan segera aman tapi di sisi lain hal ini menunjukkan betapa Negara kita ini terlalu lemah sampai-sampai segala sesuatunya tidak bisa dihasilkan sendiri dan untuk dipakai sendiri.

Menghadapi kurangnya daya listrik khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan belakangan ini, PT PLN Persero berupaya untuk menambah pasokan energi listrik melalui mengimpor pasokan tersebut sebesar 50 Megawatt dari Negara bagian Serawak, Malaysia pada tahun depan. PT PLN telah menandatangani kerja sama penyediaan energi listrik dengan Serawak Energy Berhad beberapa waktu lalu yang dibangun dari Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat hingga Mambong, Negara Bagian Serawak sejauh 122 Kilometer. PT PLN Sendiri membangun jaringan tranmisi di Indonesia sejauh 86 Km, sedang sisanya dibangun oleh Malaysia.


Sedangkan di wilayah Sumatera, PT PLN juga merencanakan melakukan kerjasama ekspor impor energi listrik dengan wilayah semenanjung Malaysia. Hanya saja terdapat perbedaan untuk daerah Sumatera, sebab kerjasama ini bersifat timbal balik, di mana secara bergantian Indonesia dan Semenanjung Malaysia akan mengimpor sekaligus mengekspor pasokan listrik sesuai dengan jadwal beban puncak penggunaan listrik yang kebetulan berbeda jam.
Bambang Dwiyanto, Manajer Senior Komunikasi Korporat PT PLN menjelaskan bahwa beban puncak di antara kedua Negara berbeda waktunya. Di Indonesia beban puncak terjadi pada pukul 18.00 hingga pukul 20.00, sedangkan di Malaysia terjadi pada pukul 13.00 sampai pukul 16.00. Jadi saat beban puncak di Sumatera, Malaysia akan mengekspor energi listrik, dan begitu pula sebaliknya (Kompas, 11 November 2013).
Ketergantungan Impor
Kalau lah perihal impor beras, produk hortikultura, industri dan yang lain sudah menjadi berita sehari-hari kita, yang tidak mengherankan lagi, akan tetapi rupanya ketergantungan kita pada pasokan dari asing tidak berhenti sampai di situ. Kita masih pula harus bergantung nasib pada asing dalam hal pasokan listrik. Coba bayangkan betapa Negara kita ini telah tertinggal jauh dari Negara lain, padahal Negara yang besar ini punya sumber daya alam yang luar biasa.
Lantas kenapa masih kalah dibanding dengan Negara yang luasnya jauh lebih kecil seperti Singapura dan Malaysia. Bagaimana Negara itu bukan hanya mampu mencukupi pasokan listrik sendiri, malah mengimpor untuk Negara lain.
Alih-alih berupaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas persediaan listrik, masyarakat justru dituduh sebagai yang bertanggung jawab atas kurangnya pasokan, atas kurangnya kesadaran diri dalam melakukan penghematan daya listrik. Padahal pemadaman listrik bergilir yang dilakukan PT PLN justru tidak mengubah apa pun selain menimbulkan rasa geram masyarakat karena kerugian yang diderita. Meningkatnya biaya produksi bagi pengusaha, memperlambat kinerja, kerusakan alat elektronik, hingga korban kebakaran dari lilin atau arus pendek yang terjadi.
Muncul pula isu yang mengatakan bahwa beberapa petinggi PLN terindikasi melakukan korupsi di perusahaan Negara tersebut. Dan yang paling mengejutkan baru baru ini pula tersiar kabar bahwa Menteri BUMN, Dahlan Iskan yang dulu menjabat sebagai Dirut PLN, disebut-sebut melakukan tindak pidana korupsi sebesar Rp. 37 Triliun dan sudah dilaporkan kepihak berwajib. Namun berita ini pun raib tak jelas kemana.
Kembali ke soal ketergantungan impor tadi, PT PLN berdalih hal ini dilakukan karena pasokan listrik selama ini dilayani oleh Pembangkin Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang memiliki biaya operasional yang tinggi sehingga opsi untuk lebih memilih mengimpor listrik yang lebih murah menjadi prioritas. Justru kita bertanya kenapa harus menggunakan Diesel padahal di Bumi Indonesia ini sangat banyak SDA yang bisa kita jadikan pembangkit listrik. Bukankah kita punya ribuan Sarjana Teknik yang diluluskan setiap tahunnya? Kenapa tidak berinovasi menciptakan Sumber tenaga listrik baru seperti di pedalaman Kalimantan beberapa waktu lalu?
Barangkali sudah saatnya swasta mengambil alih tugas penyediaan listrik ini. Melalui program swadaya listrik agar masyarakat tidak lagi frustasi dengan pemadaman listrik bergilir seperti sekarang yang tiada habisnya. Saya ingat betul janji PLN yang mengisyaratkan bahwa pemadaman listrik ini berakhir pada akhir Oktober, yang pada kenyataannya sampai tulisan ini ditulis—November—masih kerap terjadi pemadaman listrik. Lagi-lagi janji itu hanya isapan jempol belaka.
Tidak Merata?
Baru diketahui bahwa sebenarnya krisis listrik ini tidak terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Ada pula daerah yang justru pasokan listriknya mengalami surplus. Lha..kenapa bisa demikian? Di Jawa misalnya, tentu saja sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat investasi, tak boleh terjadi krisis listrik. Sebab akan mengurangi daya saing dan minat investor asing untuk menanam modal. Sehingga pasokan listrik di Jawa benar-benar diamankan. Begitupun Bali, bak anak kandung Indonesia yang harum namanya di dunia, bahkan melebihi Indonesia itu sendiri. tak boleh pula terjadi pemadaman listrik.
Beban tertinggi sebesar 22.174 Megawatt, sementara ketersediaan daya mencapai 23.002 Megawatt. Artinya pasokan listrik di kedua daerah tersebut mengalami surplus yang bahkan masih aman sebagai cadangan. Benar bahwa di Jawa, barangkali lebih banyak sumber daya alam yang bisa digunakan sebagai pembangkit listrik. Namun yang disayangkan adalah seharusnya perhatian pemerintah tidak melulu pada Jawa dan Bali, melainkan juga daerah lain yang juga merupakan bagian dari NKRI.
Listrik bukan semata-mata soal kebutuhan masyarakat, namun keberadaannya juga sebagai bagian penting dari tolak ukur kesetaraan pembangunan daerah yang sampai saat ini masih berupa ilusi belaka. Krisis listrik yang terjadi di daerah lain, seperti Sumatera Utara misalnya tentu berdampak pada dunia investasi di daerah tersebut, maka terjadi pulalah kesenjangan pembangunan daerah yang berdampak pada indeks pembangunan manusianya.
Untuk itu, urusan listrik bukan urusan main-main. Listrik sebagai kebutuhan primer di era modern ini patut mendapat perhatian khusus, upaya PT PLN untuk memasok energi listrik dari Negara tetangga memang kita hargai sebagai bentuk kepedulian pemerintah. Namun lagi-lagi kita akan dicap sebagai Negara kaya raya yang paling rajin mengimpor. Miris. ***
Penulis adalah Alumni FKIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU)


Popular posts from this blog

Apa yang Dihasilkan Politik Kampus?

Bicara soal politik, rasanya ta k sedikit orang yang ingin terjun. Entah apa sebabnya, namun hal ini sudah menjadi rahasia umum. Meskipun persentase kemenangan kecil, tetap saja banyak calon legislatif yang rela mengeluarkan sedikit uang untuk kampanye. Tak hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau kalah dalam hal berpolitik. Politik masuk ke Universitas-Universitas. Spanduk bertebaran di gedung-gedung, mengajak masyarakat kampus untuk memilih dan mencoblos tuannya. Mahasiswa yang menilai dirinya sebagai aktifis cenderung terjun kedalam politik kampus. Dan berbondong-bondong mendirikan serta menjalankan partai politik mereka sendiri. Alasan yang dikemukakan tentunya alasan yang sama seperti yang kita dengar dari politikus-politikus handal di televisi. "Memperjuangkan aspirasi rakyat (dalam hal ini mahasiswa) ". 

Tak Ada Lagi Topi Kerucut dan Kalung Petai

Oleh: Nur Akmal IKUTI MPLS: Peserta didik baru SMK Negeri 1 Medan mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Seluruh peserta didik baru tak lagi memakai atribut berbau perploncoan sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa (Foto : Nur Akmal) Hujan  sejak subuh masih menyisakan awan gelap dan udara yang dingin, namun tak menggoyahkan semangat siswa-siswa baru untuk hadir pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Pakaian mereka putih bersih, rapi dan tampak masih baru. Mereka berbaris rapi menantikan satu persatu aktivitas Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang tahun ini dikendalikan sepenuhnya oleh guru. "Selamat datang di SMK Negeri 1 Medan, dalam sesi ini kita akan membahas budaya dan tata terbit sekolah," demikian SJ Simamora, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat dan Industri menyapa para peserta didik baru di lapangan SMK Negeri 1 Medan yang diberi tenda agar siswa tak terkena hujan.

Pagar Api dan Berita Titipan Media Massa

Jika dulu sering kita lihat dalam suatu scene sebuah film yang menampilkan gambar blur pada suatu merek dagang yang tanpa sengaja tertangkap kamera. Kini agaknya tak banyak lagi kita temui, malah secara terang-terangan pelbagai merek dagang terpampang jelas di hampir setiap scene film, bahkan merambah pada media massa seperti suratkabat. Iklan memang dibolehkan, tapi pagar api perlu diperhatikan.