Ketika musim pemilihan tengah melanda seantero negeri, sudah menjadi
kewajiban bagi para (calon)
pemimpin untuk memilih ‘komoditas’ yang diramalkan akan laris manis dijual. Dijual
dalam artian mampu menjadi mass getter dan vote getter, meminjam
istilah Premita Fifi Widhiawati, aktivis Rumah Kebangsaan, untuk menjaring
suara rakyat sebanyak-banyaknya agar memenangkan pemilihan. Untuk itu para
caleg perlu memikirkan secara matang isu seperti apa yang tengah banyak
dibicarakan dan diinginkan masyarakat luas, agar jangan sampai niat hati
memikat rakyat malah menjadi hujatan.
Misalnya, di negeri yang katanya beradat ini, sekali saja para politisi
menjual isu sensitif seperti kebebasan dalam beragama dan berekspresi yang
mendukung kaum minoritas dengan ramainya pandangan buruk masyarakat terhadap
golongan minoritas tersebut, atau menjual kebebasan berekspresi dengan mendukung
sekte lesbian ataupun gay serta pernikahan sesama jenis, maka alamat bukan simpati yang akan
didapat.
Ini jelas berbeda dengan Negara seberang yang isu moralitas seperti di atas
menjadi makanan sehari-hari dan terus menjadi perdebatan panjang. Di Negara
seberang, barang siapa yang berani mengangkat isu tersebut sebagai ‘komoditas’
yang layak dijual akan memperoleh dukungan.
Sederhananya, temukan hal paling menarik di Negara atau daerah
masing-masing dalam bisnis ini, sisi yang paling penting bagi pemilih—termasuk
jika itu memang isu Pernikahan Sejenis, atau isu pemerintahan
yang bersih, anti korupsi dan yang paling sering kita temukan belakangan ini
“Reformasi Birokrasi” maka para calon tersebut akan memiliki amunisi pamungkas
untuk memenangi pemilihan.
Di Indonesia sendiri, isu Moralitas, seperti pemerintahan yang bersih,
penegakan hukum yang tegas, ekonomi stabil, lapangan pekerjaan dan kesehatan
menjadi ‘komoditas’ dengan nilai jual yang tinggi dalam setiap pengadaan
pemilihan umum, baik itu Pilpres atau Pilkada. Seringkali masyarakat disuapi
dengan penguakan realitas tentang berbagai isu yang diusung tersebut secara
mendadak.
Kemudian lantas menyudutkan pemimpin sebelumnya yang boleh jadi masih
berjuang untuk kursi yang sama sebagai calon incumbent dalam setiap
program acara perdebatan yang digelar stasiun televisi yang belakangan ini
rajin sekali dilaksanakan untk setiap calon Kepala Daerah. Hingga tak jarang
menjadi debat kusir belaka.
Dalam dunia demokrasi modern saat ini, terutama di Negara maju, pemilih
lebih mementingkan angka-angka ukuran kuantitatif dunia. Tingkat pengangguran,
angka inflasi, dan angka-angka lain seperti harga kebutuhan pokok, BBM,
listrik, kenaikan Upah Minimum dan sebagainya. Siapa yang akan bicara tentang
pendidikan anak-anak terlantar jika perut sendiri kosong.
Tentu saja hal itu tidak terjadi di Negara ini. Isu moralitas menjadi kian
penting sebagai amunisi untuk memikat hati rakyatnya, meskipun sering kali
semua itu hanya janji tinggal janji. Di Negara beradat ini, pendidikan dan
kesehatan masih menjadi isu penting yang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan
masyarakat. Sayangnya, isu itu hanya menjadi isu politik belaka.
Bukan Bisnis ‘Omong Kosong’
Mengapa demikian? Terang saja, sebab isu moralitas tersebut hanya digunakan
ketika hendak bertarung dalam arena pemilihan saja.
Setelahnya sudahlah, dilupakan. Jikalau pun ada yang konsisten dalam
menjalankan isu yang dijualnya, isu itu kemudian dilaksanakan tanpa
pertimbangan yang matang. Niat untuk membangun masyarakat tidak didukung dengan
sistem dan pembiayaan yang memadai. Yah, sudah terlanjur janji.
Akibatnya mutu layanan tetap buruk, seperti isu kesehatan yang merupakan
salah satu isu dengan nilai jual tinggi di masyarakat. Mengingat ingar bingar
“masyarakat miskin tak boleh sakit” seperti gaungan yang terdengar atau
teriakan yang menggelegar dari seluruh penjuru negeri. Celakanya, para pemimpin
politik gemar sekali mengkampanyekan program berobat gratis selama kampanye,
tanpa ditopang pendanaan dan sistem yang memadai. Akibatnya pelaksanaan di
lapangan menjadi kacau.
Mengutip berita harian Kompas (Selasa 21 Mei 2012), Presidium DIB Agung
Sapta Adi, mengatakan bahwa di Jakarta, sejak kartu Jakarta Sehat diluncurkan
Pemprov DKI Jakarta beberapa waktu lalu, beban dokter di Jakarta menjadi
teramat berat. Pasalnya seorang dokter bisa menangani 100-150 pasien setiap
harinya. Akibatnya penanganan pasien menjadi sangat singkat.
Selain itu, pendidikan untuk menciptakan dokter-dokter pun tak mendapat
perhatian yang besar. Menurut Data Badan Akreditas Nasional Perguruan Tinggi,
dari 65 Fakultas Kedokteran yang tersebar di seluruh Indonesia, 38 persennya masih berstatus akreditas C. Belum lagi berbicara tentang
penanganan pencegahan penyakit. Sejatinya pelayanan kesehatan yang baik tidak
hanya berorientasi pada pengobatan, melainkan juga pada pencegahan.
Selain itu, hal serupa juga terjadi dalam dunia pendidikan, pendidikan yang
sejatinya hak semua warga Negara pun masih belum bisa kita rasakan hingga
sekarang. Isu pendidikan gratis juga menjadi salah satu isu paling laris dalam
setiap agenda kampanye. Namun faktanya masih banyak anak-anak jalanan yang
tidak bersekolah, juga kesenjangan yang sangat lebar sangat terjadi di antara
sekolah-sekolah yang ada. Baik itu mutu pendidikan, sarana pembelajaran, guru,
hingga ruang kelas.
Belum lagi masalah ketenagakerjaan yang hingga kini pun masih menimbulkan
pelik permasalahan baik itu sistem outschorsing, upah minimum kota atau
propinsi, banyaknya angka pengangguran, hingga yang terakhir sempat menghebohkan,
masih ada perbudakan di negeri damai ini. Astaga.
Tentu saja kita berharap setiap isu yang diusung para calon pemimpin tidak
hanya menjadi janji-janji belaka, tapi juga ditepati dan dilaksanakan agar
tidak menyakiti hati rakyat, juga tidak membuat rakyat serta merta menjadi
apatis dan menimbulkan gelombang golongan putih yang bahkan melibihi pemilih
sendiri jumlahnya.
Tapi pelaksaan pun harus dilakukan dengan pertimbangan, sistem serta proses
yang baik pula. Perlu ada koordinasi yang erat antara pembuat kebijakan dengan
pelaksana lapangan dan tidak menimbulkan tumpang tindih kepentingan dalam
setiap program kebijakan.
Semoga saja para calon pemimpin
tidak menjadikan isu yang diusung hanya sebagai komoditas yang paling efektif
untuk dijual kepada pemilih dengan pengetahuan pemilih yang terbatas, apakah
itu isu moralitas, sebuah prinsip, atau emosional keberpihakan belaka,
sepanjang laris manis dibeli oleh pemilih. ***
Penulis adalah Mahasiswa FKIP UMSU, Alumni
Pers Mahasiswa Teropong