Skip to main content

Parade Diskon Jelang Lebaran



Akhir bulan ramadhan sudah di depan mata, lebaran pun akan segera tiba. Giliran para pebisnis mal dan swalayan untuk melakukan perang diskon dan obral besar-besaran demi mengambil hati para pembeli. Diskon yang ditawarkan tidak tanggung-tanggung, dari 10 % hingga 50 %, bahkan tak cukup, hingga perlu ditambah  lagi dengan tulisan +30%.

Tradisi ini sudah berlangsung sekian lama, tidak hanya menjelang lebaran, tapi juga perayaan natal, tahun baru dan perayaan hari besar lainnya. Demi menarik perhatian setiap orang yang lewat, perlu ada semacam strategi yang memberikan efek eyecatching, salah satunya ya dengan memberikan diskon yang begitu mempesona. Ada yang berbunyi, “Diskon besar-besaran”, “Banting harga”, bahkan ada “toko mau tutup, diskon segila-gilanya”. Siapa yang bakal tidak mampir jika membaca iklan macam di atas.

Maraknya “perayaan” diskon ini perlu dicermati oleh pelanggan. Ini memang salah satu strategi jitu pebisnis untuk mendapatkan pelanggannya, namun berhati-hatilah ketika strategi bisnis sudah mengarah pada penipuan. Penipuan melalui “obral” dan “diskon” yang ditawarkan.


Sering kali kita mendengar keluhan dari beberapa tetangga bahwa harga barang yang murah kualitas yang diberikan juga murah, dalam hal ini pakaian contohnya. Dalam obral sering kali kita jumpai barang yang harganya jauh lebih murah ketimbang barang yang dipajang di etalase. Mengapa demikian? Sebab barang obral kebanyakan merupakan barang display, barang yang sudah lama dipajang, namun tak kunjung terjual alias cuci gudang. Dari pada barang menumpung lebih baik di obral meskipun keuntungan yang didapat tidak sebesar biasanya.

Dalam membeli pakaian obral pun pembeli harus teliti melihat kualitas barang, agar jangan sampai tertipu dengan barang yang sudah rusak. Obral dijual tanpa ada pengawasan intensif dari penjual. Biasanya diletakkan dalam keranjang besar kemudian terserah pembeli mengabrek-abrek se isi keranjang. Jadi barang kali pakaian tadi sudah tidak karuan lagi bentuknya.

Selain pakaian, ada juga obral pada makanan. Ini lebih perlu diawasi dan lebih diteliti lagi. Sebab barangkali makanan yang diobral boleh jadi makanan yang sudah mendekati masa kedaluwarsa, atau mungkin sudah kedaluwarsa.

Sedangkan untuk iklan diskon “besar-besaran” bisa jadi harga barang sudah dinaikkan terlebih dahulu dan kemudian diberikan diskon sesuai dengan harga barang yang sudah dinaikkan tadi. Jadi sebenarnya tidak ada diskon sama sekali. Misalnya, pembeli sudah terkecoh dengan kata diskon 50 %. Harga barang semula 200 ribu, dinaikkan menjadi 400 ribu, dan diberi label diskon 50 %, alhasil harga kembali pada 200 ribu.

Cermat Memilih

Dalam episode ini, pembeli dituntut untuk cermat memilih barang dan harga. Sebelum berbelanja, hendaknya kita sudah tahu dulu berapa harga pasaran barang yang akan kita beli. Di zaman teknologi sekarang ini, mencari standar harga barang tak lah sulit. Kita punya internet, hanya perlu mengecek harga standar barang dari situs Search engine maka kita sudah punya bekal untuk berbelanja.

Kita pun perlu cermat dalam melihat peluang, jika tidak lihai menawar di toko yang memperbolehkan tawar menawar, lebih baik kita berbelanja di toko dengan harga pas. Tapi seperti yang penulis sampaikan di atas, perlu memiliki bekal sebelum berbelanja, dengan mencari tahu standar harga barang. Meskipun toko menggunakan sistem komputer bukan berarti model diskon seperti di atas tidak bisa dilakukan. Mengubah data-data komputer memang agak sulit dan makan waktu, tapi demi keuntungan bukan tidak mungkin para pebisnis “nakal” akan melakukannya.

Menurut pengamat hukum Sumatera Utara, Farid Wajdi SH, Mhum, perilaku penipuan konsumen dapat dihukum dengan pidana penjara 2 tahun atau denda 500 juta, sesuai dengan pasal 18 UU Perlindungan Konsumen. Namun dalam persperkti bisnis tidak mendudukkan sanksi pidana itu sebagai hukuman tapi lebih kepada etika bisnisnya, jangan sampai mengarah pada pelanggaran hukum. (Harian Analisa, 5 Agustus 2012).

Selain itu, penggunaan parade diskon ini menyebabkan pada pedagang tradisional semakin tergerus lahannya, orang tentu akan lebih senang ke toko, mal atau swalayan yang memberikan diskon ketimbang ke kios tradisional yang masih memberlakukan sistem bargaining. Karena tidak perlu repot harus menawar barang semurah-murahnya. Meskipun beberapa diantaranya sudah termakan oleh iklan diskon semata.

Pemerintah pun harusnya lebih giat lagi dalam melakukan pengawasan terhadap “perang” diskon ini, bukan hanya semata pada pengawasan terhadap tanggal kedaluwarsa dan izin edar barang saja. Tapi juga terhadap model penipuan diskon seperti di atas. Memang tidak semua diskon merupakan penipuan, ada juga diskon yang memang memberikan keuntungan di kedua belah pihak. Untuk itulah makanya perlu ada pengawasan yang lebih ketat. Diskon yang menyesatkan dan iklan yang tidak sesuai kenyataan juga perlu di prioritaskan.

Untuk itu kita perlu lebih cermat dan teliti dalam berkubang dengan “perang” diskon yang dilakukan oleh para pebisnis-pebisnis kita menjelang lebaran ini. Semoga kita tidak tertipu dengan iklan diskon yang dibesar-besarkan namun tidak memuaskan. Jangan hanya berpikir “kapan lagi dapat diskon sebesar ini” atau “nanti keburu diambil orang”. Lebih teliti lagi dalam memilih barang agar mendapatkan kepuasan dan tidak menyesal di kemudian hari.


Penulis adalah mahasiswa FKIP UMSU

Popular posts from this blog

Apa yang Dihasilkan Politik Kampus?

Bicara soal politik, rasanya ta k sedikit orang yang ingin terjun. Entah apa sebabnya, namun hal ini sudah menjadi rahasia umum. Meskipun persentase kemenangan kecil, tetap saja banyak calon legislatif yang rela mengeluarkan sedikit uang untuk kampanye. Tak hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau kalah dalam hal berpolitik. Politik masuk ke Universitas-Universitas. Spanduk bertebaran di gedung-gedung, mengajak masyarakat kampus untuk memilih dan mencoblos tuannya. Mahasiswa yang menilai dirinya sebagai aktifis cenderung terjun kedalam politik kampus. Dan berbondong-bondong mendirikan serta menjalankan partai politik mereka sendiri. Alasan yang dikemukakan tentunya alasan yang sama seperti yang kita dengar dari politikus-politikus handal di televisi. "Memperjuangkan aspirasi rakyat (dalam hal ini mahasiswa) ". 

Tak Ada Lagi Topi Kerucut dan Kalung Petai

Oleh: Nur Akmal IKUTI MPLS: Peserta didik baru SMK Negeri 1 Medan mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Seluruh peserta didik baru tak lagi memakai atribut berbau perploncoan sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa (Foto : Nur Akmal) Hujan  sejak subuh masih menyisakan awan gelap dan udara yang dingin, namun tak menggoyahkan semangat siswa-siswa baru untuk hadir pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Pakaian mereka putih bersih, rapi dan tampak masih baru. Mereka berbaris rapi menantikan satu persatu aktivitas Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang tahun ini dikendalikan sepenuhnya oleh guru. "Selamat datang di SMK Negeri 1 Medan, dalam sesi ini kita akan membahas budaya dan tata terbit sekolah," demikian SJ Simamora, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat dan Industri menyapa para peserta didik baru di lapangan SMK Negeri 1 Medan yang diberi tenda agar siswa tak terkena hujan.

Pagar Api dan Berita Titipan Media Massa

Jika dulu sering kita lihat dalam suatu scene sebuah film yang menampilkan gambar blur pada suatu merek dagang yang tanpa sengaja tertangkap kamera. Kini agaknya tak banyak lagi kita temui, malah secara terang-terangan pelbagai merek dagang terpampang jelas di hampir setiap scene film, bahkan merambah pada media massa seperti suratkabat. Iklan memang dibolehkan, tapi pagar api perlu diperhatikan.