Membaca tulisan
Bhakti Dharma MT di Harian Ini (Harian Analisa, 17 Februari 2014) yang berjudul
“Sudahkan Kita Disiplin Berlalu Lintas?” mengingatkan saya betapa berlalu lintas
di kota Medan ini terasa tidak
nyaman. Betapa tidak, kemacetan dimana-mana, jalan yang ditutup karena
penggalian pipa, kedisiplinan pengendara yang tidak memperdulikan keselamatan
orang lain, angkutan umum yang berhenti di tengah jalan, hingga banyaknya jalan
berlubang membuat kenyamanan berkendara di kota Medan kian menghilang.
Padahal kondisi
lalu lintas berpengaruh besar pada emosi dan mood kita baik ketika berangkat
bekerja, atau pulang kerja juga bagi anak sekolah. Ketidaknyamanan yang
mempengaruhi emosi itu tentu akan berdampak pula pada kualitas kerja ketika
sampai di kantor misalnya. Belum lagi berbicara tentang kecelakaan lalu lintas
yang disebut Bhakti Dharma sebagai ‘Mesin Pembunuh’ yang menyumbang korban yang
tidak sedikit.
Tentu hal-hal
semacam ini bisa kita kurangi sehingga akan tercipta rasa kenyamanan dalam
berkendara, yang tentu saja untuk urusan infrastruktur dipegang penuh oleh
pemerintah, dan kita sebagai warga perlu pula menjaganya. Namun bukan berarti
kita tidak punya tanggung jawab dalam menciptakan kenyamanan berkendara, sebab
sebagai pengguna jalan tentu kitalah yang memegang kendali penuh dalam
menciptakan kenyamanan berlalu lintas.
Sederhananya,
kita cukup memperhatikan hal-hal kecil yang mengganggu kenyamanan berlalu
lintas dan menghindarinya. Sebagai pengendara kita pasti pernah merasakan
ketidaknyamanan tersebut, dan untuk menguranginya cukup kita mulai dari diri
sendiri dengan tidak melakukan hal yang sama.
Penulis sendiri
sering kali merasakan hal-hal kecil (diluar kerusakan infrastruktur) yang mengganggu
kenyamanan dalam berlalu lintas khususnya di kota Medan. Misalnya saja
kemacetan yang disebabkan panjangnya durasi lampu merah di persimpangan yang
tidak sebanding dengan lampu hijau. Hal ini membuat sebagian pengendara ‘naik
pitam’ sehingga sedetik saja lampu hijau menyala, ribuan klakson segera
berbunyi mengingatkan pengendara di depan untuk segera bergerak. Sedetik, ya,
padahal baru hanya sedetik.
Hal ini sangat
mengganggu tentu saja, polusi suara yang diciptakan klakson dari berbagai
kendaraan seketika memenuhi ruas jalan, belum lagi hardikan khas kota Medan
yang menambah volume darah naik ke otak. Tentu hal ini mempengaruhi emosi. Saya
kira
tidak perlu sampai harus membunyikan klakson hingga berkali-kali seperti itu,
sebab siapa saja yang berada di depan pasti pun ingin segera beranjak dari
antrian lampu merah. Bersabar lah sedikit.
Belok Kiri Jalan Terus (?)
Satu hal lagi
yang menjadi kebiasaan para pengendara yang sedang terjebak macet di
persimpangan adalah mengambil semua ruas jalan yang kosong agar segera bisa
melesat ketika lampu sudah hijau. Ruas jalan yang harusnya untuk pengendara
lain di serobot dengan alasan “Sibuk”.
Coba perhatikan
di setiap persimpangan jalan yang ada rambu “Belok Kiri Jalan terus” seperti di
Simpang Sei Sikambing, Ring Road, dan banyak lagi. Ruas jalan yang harusnya
digunakan oleh pengendara yang hendak berbelok ke kiri penuh sampai-sampai tidak ada jalan. Tentu hal itu memperlambat
orang lain pula. Dan tentu akan ada
puluhan klakson lain yang berdentang saling mengingatkan (Baca : Memarahi).
Untuk apa ada rambu “Belok Kanan Jalan Terus” tapi kita tidak bisa jalan karena
ketidakdisiplinan para pengendara lain.
Belum lagi
ketika lampu lalu lintas yang padam—mungkin Karena rusak atau karena pengaruh
pemadaman listrik, dan tak ada Polantas yang bertugas, seketika lalu lintas
lumpuh karena tak satu pun pengendara yang besar hati untuk mengalah. Ada pun
yang mengalah justru dibentak-bentak dari belakang karena dianggap memperlambat
jalan pengendara lain. Sungguh dilemma.
Karena tak satu
pun pengendara yang mengalah tersebut akibatnya justru lebih parah, kemacetan
bisa terjadi hingga setengah jam lebih, yang padahal biasanya bisa dilewati
dalam hitungan menit. Untungnya ada beberapa warga setempat berinisiatif untuk
mengaturnya, dan para pengendara harus sukarela menyumbang beberapa rupiah. Tak
masalah asal jalanan lebih lancar. Untuk ini tentunya koordinasi Polisi Lalu
Lintas sangat diperlukan. Meskinya ada nomor kepolisian yang mudah dihubungi
untuk memberi informasi tentang jalanan yang macet karena lampu lalu lintas
yang tidak berfungsi, atau mungkin bisa melalui twitter atau semacamnya yang
memudahkan pengendara. (Mungkin sudah ada tapi penulis yang tidak tahu).
Klakson Tabu
Bagi sebagian
negara berkembang dan maju, membunyikan klakson menjadi hal yang tabu dalam
berkendara. Seperti di Jerman misalnya, penggunaan klakson sebisa mungkin
dihindari dan hannya digunakan ketika ada pengendara yang melanggar tertib lalu
lintas dan dianggap membahayakan pengendara lain kalau tidak diingatkan. Atau Malaysia
misalnya, membunyikan klakson hanya seperlunya. Bahkan suara klakson nyaris tak
terdengar disana, menurut penuturan beberapa teman yang pernah kesana.
Berbeda dengan
Indonesia, Klakson mungkin menjadi bagian terpenting dalam berkendara bagi
sebagian besar pengendara. Selain kerap kali dibunyikan, bahkan klakson sering
pula dimainkan seperti ditekan berkali-kali sepanjang jalan yang mungkin untuk
mengatakan “Awass….Minggir…. aku mau lewat….” Hingga ditekan panjang seolah
Marah melalui klaksonnya. Ini terjadi setiap saat, tak ada jam sibuk, jam
lenggang pun entah kenapa para pengendara selalu asyik ‘bermain’ klaksonnya.
Sebagai sesama
pengendara hendaknya kita turut memperhatikan kenyamanan para pengendara lain.
Selain memperhatikan kenyamanan juga mengutamakan keselamatan dengan tidak
ugal-ugalan atau membudayakan antri bahkan dalam berkendara. Terlalu banyak
permasalahan lalu lintas di negeri ini khususnya di Kota Medan, yang tidak akan
habisnya untuk diulas. Menciptakan kenyamanan dalam berkendara sejatinya bukan
hanya untuk kita pribadi tapi juga demi kebaikan nama Kota dan Negara. Tentu
kita tidak mau Medan termasuk dalam kota dengan lalu lintas terburuk di dunia,
sama halnya dengan Jakarta bukan? ***
Penulis adalah Alumni FKIP UMSU
Dimuat di Harian Analisa