Menarik
sekali membaca tulisan Saudara Eka Azwin Lubis yang terbit di media ini (Harian
Analisa) pada 21 Oktober 2013 lalu, yang mengulas tentang murahnya harga jasa
tenaga didik di Indonesia hingga saat ini. Terlebih lagi, ia berani
membandingkan jasa seorang tenaga didik (Baca: Guru) dengan penarik becak yang lebih
sejahtera ketimbang guru honor di sekolah-sekolah. Pernyataan Azwin tersebut
membuat saya berpikir betapa menjadi guru itu rasanya tidak enak. Lantas siapa
mau jadi guru?
Menjadi guru
mungkin memang bukan impian setiap orang, tapi setiap tahunnya angka pelajar
yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi baik itu PT yang khusus melahirkan
calon guru maupun yang memilih fakultas keguruan terus membludak. Di
universitas tempat penulis belajar misalnya, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP) setiap tahunnya selalu menampung calon mahasiswa terbanyak
dibandingkan dengan Fakultas lain. Dan tentu menghasilkan alumni yang lebih
banyak pula.
Setelah setiap
tahunnya banyak melahirkan alumni dengan latar belakang pendidikan atau gelar sebagai
Sarjana Pendidikan lantas akan kemanakah semua Sarjana Pendidikan tersebut?
Apakah semua akan terjun kedunia pendidikan dan mengabdi pada Negara untuk
mewujudkan salah satu cita-citanya yang tertuang dalam pembukaan Undang Undang
Dasar 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa? Jawabannya Tidak.
Dari ribuan
lulusan Fakultas Keguruan dengan gelar Sarjana Pendidikan, hanya segelintir
orang yang dengan tulus memilih jalan untuk mengabdi pada Negara melalui jalur
pendidikan, untuk menjadi tombak pembentuk karakter generasi masa depan bangsa.
Selebihnya jelas memilih perusahaan, hotel, bank, kantor dinas, birokrasi,
usaha dan semacamnya. Alhasil gelar sarjana pendidikan pun hanya sekadar gelar.
Ada beberapa
sebab kenapa banyak dari sarjana pendidikan yang enggan menjadi guru. Beberapa
alasan yang penulis rangkum dalam tulisan ini penulis peroleh sendiri dari
sesama teman yang baru saja memperoleh gelar sarjana tersebut. Di antaranya:
dianggap bukan karir yang gemilang, butuh waktu yang lama untuk naik jabatan,
gaji yang yang kecil, tidak bisa kaya dengan menjadi guru, kerjanya susah dan
melelahkan, tidak bisa sejahtera, dan tidak keren di mata calon mertua.
Guru kerap
kali dianggap bukan sebagai karir yang gemilang karena pemahaman masyarakat
tercap bahwa menjadi guru itu tidak mudah dan butuh waktu yang lama hingga bisa
memperoleh gaji yang layak. Seperti yang dituliskan saudara Azwin pula, seorang
guru honor dengan gaji hanya Rp. 700 ribu perbulan, itupun dibayar hingga 3
bulan sekali. Begitu miris kondisi nasib berkarik sebagai guru.
Sebab itu
pula kita sering melihat seorang guru yang mengajar seharian penuh, di lebih
dari 1 sekolah. Pagi di sekolah A, sorenya di sekolah B, demi menutupi
kebutuhan hidup. Juga tak jarang guru harus berbisnis pula sebagai sampingan.
Berjualan berbagai macam dagangan yang dibawa kesekolah. Ah..harus begitukah
menjadi guru? Tidak seperti bekerja dibidang lain yang cukup hanya dengan
pekerjaan itu saja?
Untuk
menjadi PNS pun tak mudah pula, butuh waktu hingga diangkat menjadi PNS. Atau
mengikuti semacam tes PNS yang tak kunjung jebol. Bahkan guru di tempat penulis
mengajar sudah berumur setengah abad masih berstatus sebagai honor. Hingga usia
pensiun belum PNS lantas kapan lagi? Memang jika sudah PNS gaji guru relatif
tinggi, hanya saja jalannya sangat terjal.
Guru Sebagai Profesi ‘Terhormat’
Guru itu
profesi terhormat sering kali kita dengar di negeri ini, guru dielu-elukan
sebagai pekerjaan mulia, banyak politisi yang justru menjadikan profesi guru
sebagai bahan kampanye pula. Tapi semua
gelar itu hanya bersifat lips service yang bahkan berlaku sebelah
tangan, pada saat-saat tertentu. Maksudnya begini, di satu sisi, guru sebagai
pekerjaan mulia dianggap sebagai teladan semua orang, teladan masyarakat. Jadi
jika terjadi suatu hal negatif yang dilakukan oknum guru, semua mengutuk
bertubi-tubi.
Misalnya,
beberapa waktu lalu saat beberapa guru menggelar demonstrasi untuk menyampaikan
aspirasi dan menuntut hak mereka sebagai guru, tentang gaji atau sertifikasi.
Seantero negeri mengecam hal ini sebagai aksi yang tidak pantas dilakukan oleh
guru. Guru tak boleh berdemo, tidak sesuai dengan profesi mereka yang
‘terhormat’ itu. Padahal mereka hanya menuntut hak dan kesejahteraan sebagai
profesi ‘terhormat’.
Sementara
buruh setiap tahunnya berdemo meminta dinaikkan UMP tak ada masalah, di Sumut
saat ini UMP naik menjadi Rp. 1.505.850. di Jakarta hampir Rp. 3 juta. Tapi
gaji guru honor tetap segitu, dan tidak boleh menuntut pula.
Untuk hal
ini kita patutnya belajar dari Finlandia. Di Finlandia, guru menjadi profesi
favorit begitupun fakultasnya di perguruan tinggi. Sebab gaji guru di Finlandia
rata-rata mencapai $ 2.311 per bulan. Namun tidak mudah menjadi guru di
Finlandia, untuk dapat kuliah di jurusan pendidikan saja, seseorang harus
bersaing ketat. Rata-rata dari 7 orang peminat hanya 1 orang yang diterima di
fakultas keguruan.
Apa Solusi?
Konsultan
Pendidikan Indonesia, Munif Chatib, dalam bukunya “Gurunya Manusia” menyebutkan
bahwa ada 3 solusi perihal kesejahteraan guru. Solusi itu datang dari 3 oknum
pula. Pertama; pemerintah menjadi solusi, kedua; penyelenggara sekolah swasta
menjadi solusi dan terakhir guru menjadi solusi untuk penghasilannya sendiri.
(2012: 53)
Maksudnya
begini, solusi dari pemerintah menurut Chatib, Pemerintah harus mampu
memberikan ketetapan gaji untuk guru, khususnya guru swasta (honor) dalam angka
yang tidak jauh beda dari guru PNS dengan mengeluartan dana sebesar yang diperlukan
untuk gaji guru melalui anggaran yang disepakati.
Kedua,
penyelenggara sekolah swasta hendaknya juga memikirkan status karyawannya
(dalam hal ini guru), perlu anggaran yang besar untuk gaji guru sehingga
keuangan sekolah dengan keuntungan surplus tidak dipakai hanya untuk
pengelolaan infrastruktur sekolah. Penyelenggara sekolah membuat kebijakan yang
berpihak pada guru, sehingga guru akan merasa memiliki sekolah dan tak segan
untuk memajukan sekolah pula.
Yang
terakhir, guru menjadi solusi untuk penghasilannya sendiri dengan menjadi guru
professional. Jadilah guru yang kreatif dalam mengajar. Menciptakan
pendekatan-pendekatan belajar baru yang kemudian dijadikan sebagai bahan
tulisan ilmiah seperti penelitian atau bahkan menulis buku tentang metode mengajar
sendiri. Nah dari kreatifitas tersebut
tidak hanya menghasilkan income untuk pribadi tetapi juga membantu banyak guru
yang lain.
Sebagai
penutup, sebenarnya menjadi guru benar merupakan cita-cita mulia. Hanya saja
untuk berkarir sebagai guru menjadi pilihan yang membingungkan. Sehingga banyak
sarjana pendidikan yang enggan menggeluti bidangnya sendiri. Semoga saja suatu
saat kelak guru benar menjadi profesi yang ‘terhormat’ tidak hanyak sekadar
gelar semata. ***
Penulis adalah Guru, Alumni Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan UMSU