Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD) melalui Programme for International Students Assessment
(PISA) baru baru ini merilis hasil pemeringkatan kemampuan siswa dari berbagai
negara, penilaian siswa internasional
tersebut mengukur siswa dari kemampuan siswa yang berusia 15 tahun dalam
matematika, sains, dan membaca serta dalam mengimplementasikan pengetauan yang
dimiliki siswa untuk menyelesaikan masalah-masalah dunia nyata.
Pada tahun ini, program ini diikuti oleh 65
negara, dan hasilnya sangat mengejutkan. Bahwa Indonesia berada pada peringkat
ke 64, setingkat di atas Peru yang menjadi juru kunci penilaian siswa
internasional tersebut.
Betapa mengejutkan “vonis” PISA untuk siswa
Indonesia ini, sebab dari 65 negara, kita berada pada posisi kedua paling
akhir. Melansir berita Okezone.com, penilaian ini terbagi dalam 3 literasi,
yakni literasi Matematika, literasi Sains, dan literasi membaca. Ketiganya
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam hasilnya. Untuk literasi
Matematika Indonesia berada pada peringkat ke 64 dengan skor 375, sedangkan
untuk literasi sains pun dapat peringkat serupa dengan skor 382. Paling tinggi
pelajar Indonesia memperoeh skor 396 untuk literasi membaca. Ketiga bidang itu
berada di bawah negara tetangga Malaysia (lagi-lagi).
Kesenjangan
Nah, hasil penilaian siswa internasional
ini patut menjadi bahan introspeksi dunia pendidikan kita, di satu sisi memang
beberapa siswa kita belakangan ini memenangkan olimpiade internasional. Juga
penelitian-penelitian dan karya mereka yang membanggakan. Tapi bukan berarti
kita harus puas dengan prestasi tersebut. “Vonis” PISA ini justru sebagai bukti
bahwa kesenjangan pendidikan masih lebar di negeri ini.
Pembaca pun pasti menyadari akan hal ini,
sekolah-sekolah yang dinilai memiliki reputasi tinggi khususnya dalam bidang
sains, selalu merajai olimpiade nasional. Jauh berbeda dengan sekolah-sekolah
negeri maupun swasta yang (maaf) banyak orang masih melihatnya sebelah mata. Bahkan
ada pula sekolah yang dianggap berisikan siswa-siswa paling bandel alias
‘buangan’.
Kembali ke persoalan penilaian siswa
internasional tadi, sepertinya ini akan menjadi PR besar bagi pendidikan
Indonesia yang dalam hal ini dinaungi oleh–tentu saja—Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Indonesia. Kita memang patut bangga atas prestasi beberapa siswa
yang memenangkan olimpiade bergengsi internasional, tapi kita juga harus ingat
bahwa sebagian siswa yang memenangkan olimpiade itu belum bisa menjadi gambaran
keseluruhan pelajar Indonesia.
Secara statistik presasi mereka merupakan
prestasi individual yang akan langsung tereduksi ketika dibandingkan dengan
prestasi global pelajar di seluruh Indonesia, seperti halnya PISA dan TIMSS.
Tentang kenapa hal ini bisa terjadi, tentu kita pun tidak bisa menyalahkan
siapa-siapa. Lagi pula yang saat terpenting saat ini adalah bagaimana
mengatasinya.
Tidak Terealisasi
Kemendikbud dalam hal ini sebagai orang
yang paling bertanggung jawab atas pendidikan Indonesia tentu saja sudah
memiliki prinsip-prinsip pengembangan pelaksanaan kurikulum yang mendukung pembelajaran,
mengubah model pembelajaran menjadi student center, serta menetapkan
kebijakan pembelajaran yang kreatif untuk merangsang kreatifitas siswa.
Namun sampai saat ini prinsip itu tidak
terealisasikan dengan baik. Sudah berulang kali kurikulum diganti, serta
penetapan kebijakan-kebijakan yang dianggap akan menjadi titik balik pendidikan
kearah yang lebih baik. namun faktanya tetap tidak ada perubahan yang signifikan
dari tahun ke tahun.
Bagaimana ini bisa terjadi, padahal ada
begitu banyak sekali pengamat pendidikan baik itu yang pro dengan pemerintah,
maupun kontra, yang tentu keduanya memiliki solusi atas masalah yang terjadi.
Juga Kemendikbud sudah kerap kali melakukan pelatihan kepada guru-guru guna
meningkatkan kemampuan mereka dalam mengajar.
Permasalahannya ada pada sampai sebatas apa
guru-guru menerapkan pelatihan yang diberikan oleh pemerintah. Hanya beberapa
guru saja yang menerapkan hal itu di sekolah. Selebihnya masih keukeuh dengan
model pembelajaran lama yang dianutnya. Boleh jadi karena apa yang diajarkan
tidak masuk dalam pikiran para guru, atau mereka mengganggapnya tidak masuk
akal. Terlebih lagi karena pelatihan yang diberikan tidak cukup mumpuni untuk
meningkatkan kualitas mengajar para guru. Disebabkan karena waktu yang terbatas
dan minimnya pelatihan.
Alhasil segala macam prinsip yang
digadang-gadang Kemendikbud untuk memperbaiki mutu pendidikan Indonesia hanya
menjadi lips service atau tertulis di atas kertas tanpa penerapan
langsung di lapangan. Banyak sekali buku-buku tentang teori mengajar yang baik,
yang sayangnya tidak banyak guru yang membaca pula.
Banyak Membaca
Guru seharusnya rutin membaca buku-buku
tentang teori pendidikan atau penelitian-penelitian tentang dunia pendidikan, untuk kemudian
menerapkannya di kelas. Tapi kesadaran untuk melakukan itu pun masih minim di
kalangan guru, termasuk guru-guru muda, yang baru lulus dari perguruan tinggi.
Sedikit sekali yang bahkan mengenal
pakar-pakar pendidikan baik dalam maupun luar negeri karena sedikitnya membaca.
Mungkin tulisan ini sedikit berlebihan dalam menilai para guru, tapi itu
penulis rasakan sendiri di kalangan teman-teman guru. Banyak yang hanya
beranggapan bahwa guru hanya bertugas untuk memberi materi pelajaran, tidak
lebih. Dan mengajar pun secara konvensional tanpa pendekatan khusus untuk siswa
berkebutuhan khusus pula.
Memang, tidak mudah menerapkan segala teori
yang tertera di buku-buku pendidikan di kelas, penulis pun merasakannya
sendiri. Akan tetapi tak ada salahnya mencoba model-model pendekatan yang
dilakukan oleh pakar-pakar pendidikan dunia. Tidak sedikit pula yang berhasil
penulis lakukan ketika mengajar.
Untuk itu kualitas guru memang mutlak
diperhatikan, pengelola sekolah harusnya memberikan pelatihan rutin untuk guru
serta pengawasan agar kualitas guru terus meningkat. Guru bukan hanya pengajar,
tetapi juga pembelajar. Kesetaraan pendidikan pun perlu betul untuk
diperhatikan agar tidak terjadi kesenjangan atau jurang lebar antara berbagai
daerah dalam hal pendidikan.
Sudah saatnya kita semua mengambil langkah
untuk menyelamatkan pendidikan kita. Sebagai penutup penulis jawab pertanyaan
atas judul di atas, Vonis PISA sebenarnya ditujukan untuk kita semua, para guru,
akademisi, pendidik, dan para pengambil kebijakan pendidikan, bukan semata-mata
untuk siswa. ***
Penulis adalah Alumni Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan UMSU