Oleh : Nur Akmal, Beberapa waktu lalu di beranda Facebook penulis berseliweran postingan
yang mengunggah foto mesra seorang artis dengan seragam SMP, foto tersebut
diambil dari salah satu adegan sebuah sinetron yang mereka perankan yang tayang
pada jam primetime. Dalam cerita tersebut ada unsur romansa antar dua pelajar
SMP di malam hari dan masih dengan seragam sekolah. Adegan tersebut dinilai tak
layak, sehingga banyak orang membagikan postingan tersebut dengan harapan agar
ada teguran dari KPI sebagai otoritas penyiaran kepada stasiun televisi yang
menayangkan sinetron tersebut.
Di jaman media sosial ini memang punya power yang besar dalam
menggerakkan massa untuk satu tujuan tertentu, dari mulai membantu orang lain
yang kesusahaan, membantu pembangunan sekolah dan sarana publik lainnya, atau
membully satu oknum tertentu, termasuk juga dalam menyebarkan ajakan untuk
memboikot suatu kelompok dan sebagainya. Apa yang dilakukan orang yang pertama
kali memposting foto-foto adegan sinetron yang dinilai tak layak itu juga
merupakan buah dari jaman media sosial.
Ini menjadi penting mengingat televisi saat ini sudah banyak mengambil
peran orangtua dan masyarakat dalam hal mendidik. televisi dengan segala macam
kontennya menjadi guru yang kemudian apa yang disampaikan dengan lebih cepat
diserap dan diterapkan oleh penonton. Tak jadi masalah jika konten yang
diberikan menanamkan nilai-nilai moral yang baik, namun akan jadi masalah besar
jika konten siaran televisi lebih banyak menyajikan acara-acara yang
mendegradasi moral masyarakat khususnya pemuda dan remaja.
Dalam kasus di atas, menunjukkan betapa pergeseran moral saat ini sudah
kian menjadi-jadi, ditambah lagi dengan menayangkan adegan tersebut di atas
seolah melegalkan atau membiasakan bahwa mengumbar kemesraan di kalangan para
remaja usia SMP sudah menjadi hal yang wajar. Padahal saat ini degradasi moral
pelajar sudah kian membuat kita merinding, dari banyaknya video asusila pelajar
yang beredar di internet, sampai kasus pembunuhan sadis yang bermula dari
kemesraan tersebut. malah ditambah dengan adegan sinetron yang seolah
mewajarkan hal itu.
Maka sebagai orang dewasa, maupun orangtua kita harus menjaga tontonan
anak-anak kita agar tidak menjadi racun bagi mereka sendiri. namun seiring
berjalannya waktu yang menyibukkan para orangtua sampai-sampai sering
mengabaikan pendidikan anak dalam keluarga dan menyerahkannya kepada televisi.
Akhirnya apa yang ditampilkan di televisi menjadi suatu pembiasaan bagi para
remaja saat ini dan berakhir pada tindakan amoral yang menentang nilai-nilai
norma sosial.
Di lain sisi, banyak pula orangtua yang sadar bahwa televisi sebagian
besar hanya berisikan racun-racun yang bakal merusak tatanan sikap dan moral
keluarga, oleh karena itu ada kelompok-kelompok keluarga yang “membuang”
televisi mereka dan menjadi apatis terhadap segala bentuk penyiaran.
Mengamankan diri sendiri dan keluarganya dari bentuk-bentuk racun amoral yang
ditayangkan siaran-siaran televisi dari beragam bentuk tayangan.
Sampai di sini penulis rasa perlu adanya perubahan. Menjadi apatis
terhadap siaran televisi bukan lah solusi terhadap masalah ini. Tidak menonton
televisi mungkin adalah salah satu pilihan untuk terhindar dari segala macam
bentuk siaran yang tidak mendidik, namun hanya seperti halnya melarikan diri
dari masalah. Banyak orang yang masih akan terus terjebak dalam lingkaran setan
siaran televisi.
Aktif Mengawasi
Sebagai warga yang baik yang peduli pada kondisi masyarakat khususnya
para generasi muda, menurut hemat penulis kita harus menjadi pengawas siaran
televisi itu sendiri. Jika menemukan siaran televisi yang tidak layak untuk
ditonton maka harus segera dilaporkan ke KPI, laporan bisa dilakukan dengan
mudah melalui websitenya dengan memastikan jam acara, alasan acara tersebut
dilaporkan, dan judul acaranya.
Menyebarnya di media sosial juga merupakan hal penting agar lebih banyak
orang yang turut melaporkan acara yang tidak layak tersebut sehingga besar
harapan akan diproses. Memang selama ini banyak acara yang tidak mendidik namun
masih terus tayang di televisi meskipun sudah beberapa kali mendapati surat
teguran. KPI seolah tak bertaji dalam menghadapi siaran-siaran televisi seperti
itu. Malah ada yang hanya mengganti judul tanpa merubah pola acara itu sedikit
pun.
Namun bukan tidak mungkin pula masyarakat dengan kekuatannya menarik
paksa sebuah siaran jika memang dinilai tak layak tayang. Misalnya yang terjadi
pada sebuah siaran lawakan beberapa waktu lalu yang dinilai menghina tokoh
betawi, Alm Benyamin. Seorang pengisi acara yang takut pada anjing lalu
dihipnotis melihat anjing itu sebagai tokoh Benyamin yang lucu. Akhirnya
pengisi acara memanggil-manggil anjing itu dengan Benyamin sambil tertawa-tawa.
Hal ini sontak membuat masyarakat geram dan mengamuk hingga acara
tersebut langsung dihentikan penyiarannya. Begitulah the power of public,
sekuar apa pun intervensi dari suatu kelompok, tak kan berdaya jika masyarakat
telah bersatu.
Hal yang sama juga pernah terjadi di Amerika. Sekelompok ibu rumah tangga
menggugat sebuah acara televisi yang penuh dengan kata-kata kotor, acara
tersebut diperuntukkan untuk anak-anak. Orangtua yang merasa resah dengan
keberadaan acara tersebut lalu menggugat stasiun televisi, namun rating acara
itu terlalu menguntungkan dan menghasilkan banyak iklan. Maka para ibu rumah
tangga itu lalu memboikot siaran dan menyatakan tidak akan membeli semua produk
yang beriklan untuk acara tersebut. Kekuatan itu lalu berhasil menutup siaran
yang dinilai tidak layak tayang tersebut.
Pesan yang ingin penulis sampaikan sebenarnya adalah melarikan diri dari
siaran tak layak tayang bukan lah jawaban. Kita harus membantu seluruh
masyarakat Indonesia untuk tidak terjebak racun siaran tak mendidik. Maka perlu
ada sikap untuk menjadi pengawas siaran yang tidak hanya marah-marah sendiri
maupun di media sosial. Tetapi aktif bergerak dan melawan dengan mengawasi dan
melaporkan segala bentuk pelanggaran yang terjadi. Semoga ke depannya kita
lebih banyak disuguhkan dengan beragam bentuk siaran yang mendidik dan
mencerdaskan. Bukan hanya hiburan semata yang miskin pendidikan dan pesan
moral. ***
Penulis adalah Alumni
FKIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Terbit di Harian Mimbar Umum, 28 Juli 2016