Oleh : Nur Akmal S.Pd, MEMASUKI tahun
ajaran baru 2016 yang dimulai Senin 18 Juli 2016, Pemeritah melalu Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan mengkampanyekan Hari Pertama Sekolah. Kampanye
tersebut mewajibkan orangtua untuk mengantarkan anaknya ke sekolah pada hari
pertama sekolah. Imbauan tersebut tertuang dalam surat edaran No 4 Tahun 2016 Tentang
Hari Pertama Sekolah yang beredar luas di media sosial baru-baru ini. Surat
tersebut ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tertanggal 11
Juli 2016. Surat edaran itu pula beredar cepat di media sosial.
Beragam komentar pun dituai imbauan
tersebut, mulai dari bentuk dukungan hingga hujatan yang entah bagaimana bisa
terjadi. Tanpa tedeng aling-aling imbauan itu dituding mengada-ngada, tidak
masuk akal dan sebagainya. Bahkan ada yang menuding Mendikbud membuat aturan
yang tidak penting, lebih baik mengurusi masalah kesejahteraan guru, fasilitas
pendidikan yang belum layak dan sebagainya. Tidak usah mengurusi
antar-mengantar anak. Seolah imbauan tersebut berlaku seumur hidup dan untuk
semua orang. Padahal hanya untuk hari pertama sekolah.
Mungkin bagi mereka yang mengutuk
kebijakan tersebut, mengantar anak ke sekolah boleh jadi suatu beban yang
berat, yang mungkin disebabkan karena padatnya jadwal pekerjaan atau mungkin
hanya sekadar sentimen terhadap pemerintah belaka sebab sudah terlanjur
mengklaim diri sebagai oposisi yang terus-terusan menentang segala bentuk
kebijakan. Tanpa perlu analisis panjang terkait suatu kebijakan, apapun bentuk
kebijakan yang dikeluarkan dirasa pantas dicemooh.
Kembali ke surat edaran tadi, dalam surat edaran
tersebut tertera tujuan kampanye hari pertama sekolah untuk meningkatkan
keterlibatan publik dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Surat itu
ditujukan kepada kepala daerah agar memberikan dukungan berupa dorongan
kepada aparatur sipil daerah untuk mengantar anak ke sekolah di hari pertama
masuk selain itu juga memberikan dispensasi agar aparatur sipil dapat memulai
kerja setelah mengantarkan anaknya ke sekolah.
Kepala daerah juga diminta menyampaikan pesan tersebut kepada instansi
swasta agar memberikan dispensasi bagi karyawan untuk dapat memulai kerja
setelah mengantarkan anaknya ke sekolah pada hari pertama masuk 18 Juli
mendatang serta menyampaikan pesan kampanye tersebut kepada publik. Kampanye
itu juga aktif disampaikan Kemendikbud melalui iklan layanan masyarakat
melalui video di Youtube dan akun media
sosial Facebook. (Analisa, 15 Juli 2016).
Jika saya melihat, kebijakan ini justru sebagai kemajuan dunia pendidikan
di Indonesia. Artinya Kemendikbud tidak lagi hanya memikirkan hal-hal teknis
dan birokrasi pendidikan semata, melainkan sudah menyentuh ranah pendidikan itu
sendiri. Hari pertama sekolah merupakan hari yang bersejarah bagi siswa,
karenanya iklim lingkungan sekolah yang nyaman sangat penting diciptakan.
Terlebih lagi dengan kesan negatif pelaksanaan MOS yang identik dengan
perplocoan (kini sudah berganti dengan MPLS yang dikendalikan guru).
Oleh karena itu Anies Baswedan ingin menggandeng orangtua siswa untuk
menciptakan lingkungan yang nyaman tersebut dengan mengimbau orangtua untuk
turut berpartisipasi dalam pendidikan anak. Adalah sebuah keniscayahaan bagi
orangtua untuk turut serta dalam mendidik anak termasuk di dalamnya bekerjasama
dengan sekolah. Selama ini banyak orangtua yang sepenuhnya menyerahkan pendidikan
anak mereka ke sekolah seperti menyerahkan cucian ke laundry. Orangtua tinggal
terima hasil bersih, jika dirasa kurang bersih orangtua berhak komplain ke
sekolah.
Imbauan ini juga sebagai jawaban atas beberapa kasus yang belakangan ini
terjadi yang melibatkan orangtua siswa dan guru dalam kasus hukum. Sebenarnya
ini merupakan buah dari kurangnya komunikasi orangtua dan sekolah. Baik pihak
sekolah dan orangtua keduanya merasa sepenuhnya memiliki otoritas terhadap
pendidikan anak. Sekolah biasanya baru akan memanggil orangtua siswa jika
terlibat pelanggaran aturan sekolah, dan tentu saja masalah biaya sekolah.
Selebihnya mungkin masih sedikit sekali sekolah yang melibatkan komunikasi interaktif
antar kedua belah pihak.
Terlibat
Bayangkan apa yang ada dibenak orangtua ketika hanya dilibatkan sesekali
dalam proses pendidikan anaknya di sekolah. Dipanggil ketika anaknya sering
membolos, berkelahi dengan temannya, merokok dan sebagainya. Atau dihadirkan ke
sekolah hanya ketika pengambilan rapot dengan sedikit basa-basi perkembangan
belajar anak yang sering kali dimanipulasi (dikatakan baik padahal tidak sebaik
itu), dan jika itu tidak baik maka akan benar-benar disampaikan.
Praktis orangtua tidak terlibat dalam proses pendidikan di sekolah selain
hanya untuk membantu guru memarahi siswa yang kurang baik dalam moral maupun
akademis. Orangtua pun demikian merasa
tidak perlu mendengar apapun bentuk perkembangan pendidikan anaknya dari guru
atau memang menunggu saja tanpa inisiatif bertanya. Komunikasi guru/walikelas
dengan orangtua hanya terjadi sesekali pada saat-saat tertentu.
Hasilnya ketika guru memberikan hukuman fisik kepada siswa, orangtua yang
tak tahu menahu tentang kondisi anak mereka di sekolah, komplain besar-besaran
sampai melibatkan pihak kepolisian. Sungguh ini tak patut terjadi. Sekolah dan
orangtua sejatinya merupakan satu kesatuan dalam proses pendidikan. Tidak boleh
terjadi gesekan antar kedua belah pihak, seharusnya keduanya justru
berkolaborasi untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang efektif. Jika
keduanya sudah mendapatkan chemistry yang baik, tinggal menjaga lingkungan
sekitar sebagai lingkungan ketiga. Seorang anak mendapatkan pendidikan dari
tiga arah, keluarga, sekolah dan lingkungan.
Maka penulis sangat menyayangkan sikap masyarakat yang menghujat aturan
menteri yang satu ini, tidak lah mudah menciptakan lingkungan pendidikan yang
ramah anak, bahkan tidak mudah untuk menciptakan lingkungan yang mendidik itu
sendiri. Sekolah juga bisa menjadi lingkungan yang tidak mendidik, ketika
sekolah hanya menjadi lembaga pengajaran yang mengesampingkan aspek-aspek moral
dan karakter. Faktanya masih banyak sekolah yang demikian.
Justru yang harusnya dipertanyakan adalah kenapa sampai harus pemerintah
pusat yang turun tangan mengendalikan hal-hal seperti ini. Di mana inovasi dan
kreatifitas dinas pendidikan daerah yang seharusnya juga bisa merancang
program-program bermanfaat untuk pendidikan itu. Dan juga disayangkan sekolah
yang tidak membuat aktivitas dan interaksi apapun kepada orangtua pada hari
pertama sekolah, hal itu semacam menggagalkan tujuan utama kampanye hari
pertama sekolah. Mudah-mudahan ke depannya interaksi orangtua dan sekolah bisa
terus ditingkatkan, tidak hanya pada rapat-rapat komite sekolah atau ketika
siswa bermasalah. ***
Penulis adalah Alumni FKIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU)
Terbit di Harian Medan Bisnis, 26 Juli 2016