Skip to main content

Belanja di Rot Fai Train Night Market Thailand, Awas Kalap!



Pedangang boneka di Roi Fat Train Night Market


Saya bangun pagi-pagi sekali pada Minggu (19/11/2017), lebih cepat dari biasanya. Pasalnya hari ini cukup spesial, karena perjalanan lain akan di mulai. Perjalanan yang berbeda dari rutinitas biasa. Yap, terhitung 19 November itu, saya mengambil cuti pertama di kantor tempat saya bekerja, tujuannya tentu saja, liburan. Maaf maaf sekali, tahun ini ambil cuti bukan tujuan nikah. (dua pimpinan saya di kantor, ketika saya meminta izin cuti, langsung bertanya apakah cuti ini saya ambil untuk menggelar pernikahan). Maaf juga untuk calon istri yang cuti tahun ini bukan untuk meminang atau mengucap ijab kabul. :D #baperdeh

Cuti kali ini untuk traveling ke negeri gajah putih, negeri yang tehnya begitu populer belakangan ini jika dilihat dari jumlah pendagang teh (Thai Tea) nya di tepi jalan sekitaran kampus, Thailand. Yes, akhirnya hari itu tiba juga. Maka pagi-pagi sekali saya sudah bangun dan bersiap, pukul 07.00 wib harus sudah tiba di terminal bus Damri, menuju ke Bandara Internasional Kuala Namu. Meskipun terlalu cepat, sebab pesawat baru take off pukul 10.00 WIB. Kayak orang kemaruk ya??

Walaupun bangun cepat, ternyata saya terlambat tiba di terminal, terlambat 5 menit saja. Tapi bus sudah jalan, karena memang jadwalnya berangkat setiap 30 menit. Bagus juga, pelajaran buat saya dan andai semua tertib begitu yah..

Singkat cerita, saya tiba di bandara dan masih menunggu beberapa menit sebelum take off. Setelah masuk ke pesawat dan terbang selama dua jam, akhirnya kami tiba di bandara Don Muang Bangkok. Tidak ada perbedaan waktu antara Medan dan Bangkok. Kami tiba pukul 12 lewat sedikit. 


Huuaaa...... negara kedua yang saya kunjungi setelah Jepang pada 2016 lalu. Stempel di paspor saya pun bertambah satu lagi. Saya bermimpi stempel itu bisa penuh suatu hari, dari berbagai negara di belahan dunia. Amin...

oh ya, sebelum keluar dari bandara, ada sedikit insiden. Salah seorang teman serombongan lupa mengisi custom declaration di pesawat. Ia sedikit kebingungan di bagian imigrasi. Bukan apa-apa, petugas imigrasi bicara dalam bahasa Thailand dengan nada marah-marah, tau sendiri kan bahasanya unik. Langsung saja teman serombongan saya itu tidak mengerti dan kebingungan. Rupanya ada bagian yang belum diisi. Bahkan untuk meminta ia kembali ke belakang antrean saja pakai bahasanya sendiri, ya mana orang ngerti lah. Dan si teman saya ini pun akhirnya merepet sendiri.

Selesai dengan perdebatan sedikit itu, kami melanjutkan perjalanan keluar bandara menunggu jemputan ke hotel. Tak lama kemudian, jemputan kami pun tiba dan perjalanan ke Kota Bangkok dimulai. Alih-alih melihat-lihat kota, kami rupanya dibawa melewati jalan tol yang panjang sekali. Ternyata hotel kami cukup jauh dari pusat kota tepatnya di Srinakarin. Berdekatan dengan Seacon Square. 

Tiba di hotel, kami pun di sambut oleh pemandu tur bernama Asman. Ia orang Thailand asli, tapi begitu fasih berbahasa Indonesia. Kami sempat berpikir ia orang Indonesia, tapi ia bilang bukan. Ia belajar bahasa Indonesia hanya dari orang-orang Indonesia yang sering ia bawa berkeliling Thailand. 

Hari itu, tidak ada jadwal tur kemana-mana. Bebas, semau tamu. Mereka hanya menjemput dari bandara ke hotel. Karena kami tiba di hotel sekitar pukul 1.30, otomatis masih sangat banyak waktu yang bisa dimanfaatkan ketimbang hanya tidur-tiduran di hotel sampai menunggu besok tiba. Tapi karena jaraknya ke pusat kota Bangkok cukup jauh dan membingungkan untuk berjalan-jalan sendiri, kami mencari tempat menarik di sekitar hotel untuk dikunjungi. 

Dan Thailand selain terkenal dengan ladyboy-nya, juga terkenal sebagai surga belanja bagi orang Indonesia. Tidak sedikit orang Indonesia yang niatnya memang untuk berbelanja barang murah dan berkualitas bagus di Thailand, termasuklah rombongan saya ini. Saya pribadi kalau jalan-jalan lebih suka mengunjungi tempat-tempat yang bagus untuk foto-foto. Dan ujung-ujungnya tempat yang pertama kali kami kunjungi adalah pasar malam, namanya Rot Fai Train Night Market. 

Itulah yang muncul di google maps saya ketika itu, jaraknya cukup dekat dari hotel. Dengan tuk tuk (sejenis kendaraan bajaj khas Thailand) milik hotel kami pun diantar ke depan Seacon Square. Unfortunately, supir tuk-tuk yang membawa kami, meski pun masih muda (berumur 18-25 tahun) tapi tidak bisa berbahasa Inggris. Ini salah satu kendala di Thailand, bahkan petugas hotel tidak lancar berbahasa inggris. Saking sulitnya, terpaksa kami menggunakan Google Translate, mengalihbahasakan kalimat dari Bahasa Indonesia ke Thailand, dan ditunjukkan ke supirnya, baru dia paham. 

Yang kami tanyakan, bagaimana tips yang harus kami berikan? Dibayar langsung atau nanti? Dan bagaimana nanti kami pulang. Berbekal terjemahan dari Google itu, ia pun memberikan kami kartu nama, “Call” katanya sepatah. Maksudnya kalau sudah pulang tinggal telepon saja. Baiklah…. Thank you so much google translate, ternyata kau sangat berguna di sini. 
Suasana lalulintas di Bangkok

Dari Seacon Square menuju Rot Fai Train Night Market yang terletak di Jalan Srinagarindra ternyata tidak jauh, bisa ditempuh dengan berjalan kami sekitar 10-15 menit. Di tepi jalan banyak pedagang jajanan pasar, seperti bakso bakar, tapi tidak tahu terbuat dari apa, ada juga kepompong goreng. Teman saya beli, dan dia tidak tahu menggambarkan rasanya seperti apa. “Rasanya nyes, pas digigit keluar cairan,” begitu kira-kira gambarannya. Yang saya bayangkan, itu ulat dari dalam kepompongnya. Saya tidak berani makan. Geliii……

Jalan-jalan di Bangkok itu hampir sama seperti Medan, atau Jakarta lebih tepatnya. Mereka punya trotoar yang cukup besar, tapi banyak juga sepeda motor yang melintas di atas trotoar, banyak pedagang kaki lima dan juga macet pada jam-jam tertentu. Di tepi jalan juga banyak yang mengamen, tapi lebih parlente, sebagian berseragam sekolah. Di depan alat musiknya tertulis, for Schoolar. Mungkin untuk biaya pendidikan
Padagang jajanan pasar menjual kuliner ekstrem
.

15 menit kemudian kami tiba di Rot Fai Train Night Market, pukul 17.00 waktu Thailand. Masih banyak toko yang belum buka. Toko-toko baru buka pukul 19.00. sebagian ada yang sudah bersiap. Kami singgah membeli jus, jus buah delima menjadi pilihan saya. Karena tidak ada di sekitar tempat kos saya yang menjual jus seharta Rp 3500 itu. Di sini jus delima harganya 80 Bath, atau sekitar 30 ribuan. Lumayan mahal yaa… tapi ya gapapa. 

Berjalan kaki menuju pasar malam sambil menyeruput jus buah delima cukup asyik juga, sembari menunggu toko-toko buka. Kami mampir juga ke toko yang sudah buka, beragam dagangan dijajakan, sepatu, baju, tas, mainan, minuman, makanan dan banyak lainnya. Ada juga yang jual microphone, ia jual sambil berdemo menyanyi melalui mic nya. Suaranya, hmmm lumayanlah. 

Makanan, agar ragu membelinya, dimana-mana menjual daging babi. Jadi kami mencari yang halal tentu saja. Tapi sebelum itu jalan-jalan dulu mana tahu ada barang bagus. Teman serombongan saya memborong jeans yang katanya murah, belasan topi untuk oleh-oleh dan boneka. Ada juga yang membeli sepatu. Ada pula yang menahan-nahan diri. “Nanti saja di Bangkok, kan nanti ada jadwalnya ke Platinum mall atau ke MBK,” kata kak Yuni Naibaho, wartawan Medanbisnis. Tapi beberapa barang dia beli juga. Wajar, ini hari pertama, kalau sudah kalap di sini, nanti tak ada lagi yang mau dibeli. 
Anting-anting yang dijual murah di pasar malam

Saya sendiri membeli seadanya saja, dompet kulis seharga 290 baht, sekitar Rp 120.000, minta diskon dia beri 270 baht. Lumayan. Memang sudah niat saya mencari dompet baru di sini, dompet lama saya sudah jelek sekali. Tapi kalau kata orang dulu, dompet membawa rezeki. Kalau uangnya terasa banyak, dompet pun tak diganti-ganti. Tapi jangan percaya deh, itu bisa jadi syirik. 

Selain dompet, saya bikin cover passport seharga Rp 110 baht, sepatu untuk pacar tersayang seharga 150 baht. Itu saya barangkali. Selebihnya beli Thai Tea. Hehehe. Mau membedakan Thai Tea asli dan yang dijual di depan-depan kampus itu. Rasanya, 11 12 lah… hampir sama. 

Oh ya, dompet itu saya beli di toko Katangthong, tokonya cukup besar di antara toko-toko lain. Selain yang hanya bersekat-sekat tenda. Toko ini tampak lebih permanen. Di situ dijual beragam barang, mulai dompet, pakaian, tali pinggang, tas wanita, jaket dan lainnya. Barangnya cukup mahal, tapi kualitas premium. Keren…. Barang-barang bermerk juga banyak di sini. Monza punya pun ada loh…

Ada banyak sekali yang dijual di pasar malam ini. Kalau kita kelilingi semua, cukup bikin kaki pegal. Dari pukul 17.00 kami di sana, sampai 20.00 tak terasa. Jalan-jalan saya keliling-keliling walaupun tidak ada yang dibeli. Sampai lupa makan malam, tapi karena lapar mulai terasa akhirnya berburu makanan juga. Saya kira, mencari makanan halal di sini sulit. Rupanya cukup mudah kalau mau saja jalan-jalan sedikit. Memang ada banyak sekali yang menjual babi, tapi ada juga yang bertuliskan halal. Bahkan penjual ada yang berjilbab dan bercadar loh. 
Pedagang microphone di pasar malam menguji coba dagangannya dengan bernyayi langsung

Kami pesan kebab sapi, bertuliskan halal. Tapi di menu ada ham kebab. Saya pikir ham selalu identik dengan daging babi kan? Tapi saya tidak tahu ham yang dimaksud di sini. Ah, yang penting ada tulisan halalnya saja. Selebihnya wallahua’lam. Yang penting sudah usaha. Begitu saya pikir.
Minumnya kami pesan air kelapa yang dibelah langsung, tapi tidak dengan sabut kelapanya. Hanya tinggal tempurungnya saja. Bisa dibawa kemana-mana sambil jalan. “Manisnya, masyaAllah. Nikmat Allah,” kata kak Yuni. Kami lanjut berkeliling, hingga pukul 21.00. Oh ya, pasar ini hanya buka Kamis hingga Minggu loh. Jadi awal kecele kelen yaa….
Salah satu toko yang menjual barang-barang kualitas bagus di Rot Dai Night Market

Puas berbelanja, walaupun seadanya, kami kembali ke hotel. Menelpon tuk tuk dan singgah ke seven eleven untuk beli peralatan mandi seperti sikap gigi dan odol yang ternyata tidak disediakan pihak hotel. Sambil menunggu tuk tuk kami juga beli jajanan pasar lain yang halal, penjualnya hanya bilang itu roti. Ya, Roti, mungkin bukan bahasa Indonesia maksudnya. Hanya namanya saja Roti. Tapi bentuknya seperti martabak isi pisang. Adonan martabak telur yang didalamnya diisi pisang yang dipotong-potong dan susu kental.
“You from Malaysia or Singapure?” katanya. 

“Indonesia,” saya jawab. “Oh… Indonesia have no Roti?” sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, mungkin ia orang india, dari tampang memang agak mirip. Tapi saya tidak bisa pastikan.
“No,” saya jawab. “are you muslim?” saya Tanya, melihat dari tampangnya.
Anak-anak yang turut berdagang
“Yes, I am muslim,” jawabnya. “Masjid…Masjid,” katanya sambil menunjuk ke arah kanannya.
“Where is masjid?” saya Tanya. Dia hanya menunjuk-nunjuk saja. “Far from here?” saya Tanya lagi. Dan dia masih menunjuk-nunjuk. Mungkin sampai di sini kami bisa berkomunikasi. Hehehe.
Tuk tuk pun tiba, dan kami kembali ke hotel. Sebelum pada tengah malam kami keluar lagi, naik tuk-tuk yang sama, supir yang sama pula. Oh ya, tadi kami bayar tips 100 baht, tampak wajah supirnya senang. Jadi tiga kali kami minta antar, tapi tidak lagi memberikan uang tips lagi. Pelit apa hemat ya? Hehe. Habis susah sekali berkomunikasi. 


Tengah malam, kami mencari jajanan pasar lainnya. Jalan-jalan di situ tergolong kecil. Hampir-hampir seperti gang saja. Tapi cukup banyak yang berdagang meskipun tengah malam. Salah seorang pedagang bergaya melihat saya memegang kamera. Dia seolah minta diambil foto. Maka saya ambil sekaligus berhenti di depan gerobaknya yang menjajakan makanan laut. Ada udang dan kepiting.
Padagang narsis XD

Saya Tanya-tanya, dia juga kesulitan bahasa Inggris. Sudah tampak paruh baya. Akhirnya saya tunjuk udang. Saya kira akan digoreng, ternyata direbus setengah matang pula. Dicampur dengan mangga muda dan beberapa sayur lain, beberapa menit kemudian jadilah semangkuk…emmm… mereka bilang namanya Yam Het. 


Well, ini gak cocok di lidah saya. Dan tidak bisa saya habiskan. XD
Waw, tulisan ini empat halaman Microsoft Word ternyata. Padahal masih hanya hari pertama. Sudah dulu ya, nanti kalau ditulis semua di sini kasihan yang baca. Masih ada beberapa hari lagi perjalanan. Tunggu post berikutnya ya….. Khap Khub Kap (terimakasih)….eh, bener gak ya tulisannya?
Yam Het yang dijual pedagang narsis tadi

Popular posts from this blog

Apa yang Dihasilkan Politik Kampus?

Bicara soal politik, rasanya ta k sedikit orang yang ingin terjun. Entah apa sebabnya, namun hal ini sudah menjadi rahasia umum. Meskipun persentase kemenangan kecil, tetap saja banyak calon legislatif yang rela mengeluarkan sedikit uang untuk kampanye. Tak hanya masyarakat, mahasiswa pun tak mau kalah dalam hal berpolitik. Politik masuk ke Universitas-Universitas. Spanduk bertebaran di gedung-gedung, mengajak masyarakat kampus untuk memilih dan mencoblos tuannya. Mahasiswa yang menilai dirinya sebagai aktifis cenderung terjun kedalam politik kampus. Dan berbondong-bondong mendirikan serta menjalankan partai politik mereka sendiri. Alasan yang dikemukakan tentunya alasan yang sama seperti yang kita dengar dari politikus-politikus handal di televisi. "Memperjuangkan aspirasi rakyat (dalam hal ini mahasiswa) ". 

Tak Ada Lagi Topi Kerucut dan Kalung Petai

Oleh: Nur Akmal IKUTI MPLS: Peserta didik baru SMK Negeri 1 Medan mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Seluruh peserta didik baru tak lagi memakai atribut berbau perploncoan sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa (Foto : Nur Akmal) Hujan  sejak subuh masih menyisakan awan gelap dan udara yang dingin, namun tak menggoyahkan semangat siswa-siswa baru untuk hadir pada hari pertama masuk sekolah, Senin (18/7). Pakaian mereka putih bersih, rapi dan tampak masih baru. Mereka berbaris rapi menantikan satu persatu aktivitas Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang tahun ini dikendalikan sepenuhnya oleh guru. "Selamat datang di SMK Negeri 1 Medan, dalam sesi ini kita akan membahas budaya dan tata terbit sekolah," demikian SJ Simamora, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat dan Industri menyapa para peserta didik baru di lapangan SMK Negeri 1 Medan yang diberi tenda agar siswa tak terkena hujan.

Pagar Api dan Berita Titipan Media Massa

Jika dulu sering kita lihat dalam suatu scene sebuah film yang menampilkan gambar blur pada suatu merek dagang yang tanpa sengaja tertangkap kamera. Kini agaknya tak banyak lagi kita temui, malah secara terang-terangan pelbagai merek dagang terpampang jelas di hampir setiap scene film, bahkan merambah pada media massa seperti suratkabat. Iklan memang dibolehkan, tapi pagar api perlu diperhatikan.